Opini
Pilkada dan Kebangkitan Masyarakat Sipil
Pembangunan gerakan masyarakat sipil yang tangguh itu tidaklah mudah. Butuh perjuangan puluhan tahun pula untuk menggeser Orba.
Lalu dalam praktik politik, masyarakat sipil menjadi judul besar pula.
Pemilu 2004 dengan sistem pemilihan langsung Presiden/wakil presiden untuk pertama kalinya diterapkan.
Sistem ketatanegaraan kita dalam politik berubah drastis. Masyarakat sipil menjadi penentu pokok dalam pemilihan presiden/wakil presiden.
Setahun kemudian, yakni tahun 2005, pemilihan kepala daerah pun digelar dengan dipilih langsung oleh masyarakat.
Tentu ini moment penting bagi masyarakat sipil dalam mencari calon pemimpinnya di daerah-daerah.
Ditaraf ini, masyarakat sipil menjadi penentu pula—sebagaimana dalam pilpres—dalam menjaring calon pemimpin-pemimpin di daerah. Urgensitas masyarakat sipil tetap utama.
Namun, politik yang bergerak pelan-pelan menggerus kekuatan masyarakat sipil di daerah-daerah.
Pilkada yang digelar berefek pada terfragmentasinya kelompok masyarakat sipil. Mereka terpolarisasi mengikuti polarisasi kandidat-kandidat kepala daerah.
Kelompok masyarakat sipil di desa-desa tak lagi seikat dalam perhelatan pilkada—sebagaimana tahun 1998 silam.
Kelompok masyarakat sipil perkotaan juga tak lagi se-visi dalam gerak pilkada.
Kekuatan kedaulatan terbelah-belah. Pemecahnya, salah satunya maraknya politik uang.
Kandidat yang massif mendistribusi uangnya, sebagian besar memenangkan pilkada.
Maka kekuasaan lokal adalah kekuasaan yang membeli kedaulatan rakyat dengan lembaran uang.
Selama lima tahun, bahkan berlanjut hingga periode kedua dikelolah dengan perspektif kapital pula.
Lantas apa yang terjadi? Pemerintahan dilevel lokal tak lahir sebagai pelayan masyarakat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.