Kolom Ngopi Akademi
Demokrasi Dekorasi Kotak Kosong
Diskusinya merebak ke mana-mana menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun ini.
Oleh: Rahmat Muhammad
Ketua KPS S3 Sosiologi Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Frasa "kotak kosong" kembali mencuat dan viral menjadi perbincangan hangat belakangan ini bagi para pengamat politik dan demokrasi.
Diskusinya merebak ke mana-mana menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun ini.
Sebenarnya fenomena ini telah menjadi perhatian khusus dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia.
Munculnya kotak kosong ketika hanya ada satu pasangan calon (paslon) yang bertarung dalam Pilkada, membuat pemilih diberi pilihan antara mendukung paslon tersebut atau memilih kotak kosong sebagai bentuk protes atau ketidaksetujuan.
Meskipun fenomena ini bisa terjadi, keberadaannya sebenarnya mencederai esensi demokrasi, menjadikannya semacam dekorasi politik belaka.
Fenomena ini menunjukkan bahwa partai politik telah gagal dalam melakukan rekrutmen dan melahirkan tokoh yang siap bertarung pada semua level kontestasi.
Demokrasi seharusnya tidak hanya menjadi dekorasi, tetapi menjadi wadah kompetisi sehat antar berbagai calon yang berkualitas.
Kehadiran kotak kosong menandakan proses demokrasi yang belum sepenuhnya ideal, di mana seharusnya ada kompetisi yang sehat antara beberapa kandidat.
Keberadaan kotak kosong dapat mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih.
Beberapa pemilih mungkin merasa tidak memiliki pilihan yang sebenarnya dan memilih untuk tidak berpartisipasi.
Selain itu, kemenangan paslon tunggal melawan kotak kosong dapat menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi mereka.
Meskipun mereka menang, dukungan dari pemilih mungkin tidak sekuat jika mereka mengalahkan lawan dalam persaingan yang ketat.
Beberapa Pilkada di Indonesia yang pernah mengalami fenomena kotak kosong antara lain Pilkada Makassar 2018, di mana pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi kalah melawan kotak kosong, yang mengakibatkan terjadinya pemilihan ulang.
Pilkada Kota Tangerang 2018 juga mencatatkan fenomena ini, di mana pasangan calon tunggal Arief R. Wismansyah-Sachrudin berhasil menang melawan kotak kosong dengan meraih sekitar 85 persen suara.
Demikian pula, pada Pilkada Kabupaten Pati 2017, pasangan calon Haryanto-Saiful Arifin menang melawan kotak kosong dengan perolehan lebih dari 70 persen suara.
Fenomena kotak kosong dalam Pilkada di Sulawesi Selatan, misalnya, tidak seharusnya terjadi.
Sulsel tidak kekurangan figur yang layak bertarung di Pilkada gubernur.
Dengan banyaknya tokoh potensial yang ada, partai politik seharusnya bisa melakukan rekrutmen yang lebih baik dan melahirkan calon-calon yang siap berkompetisi secara sehat.
Fenomena kotak kosong ini menunjukkan bahwa demokrasi kita masih memerlukan banyak perbaikan.
Meski mencerminkan beberapa kekurangan dalam sistem politik dan pemilihan, fenomena ini juga menunjukkan bahwa pemilih memiliki suara yang signifikan dalam menentukan masa depan daerah mereka.
Dengan upaya bersama dari pemerintah, partai politik, dan masyarakat, diharapkan fenomena kotak kosong dapat diminimalisir, sehingga demokrasi yang sehat dan kompetitif dapat terwujud di Indonesia.(*)
Rahasia Mesin Awet: Jadwal Ganti Oli Motor Matic yang Sering Terabaikan |
![]() |
---|
Bloedus Padel Battle Ajang Silaturahmi, Tim Munafri Arifuddin Lawan Solihin Kalla |
![]() |
---|
RT RW Garda Terdepan Urban Farming, Siap Sukseskan Pertanian Kota dan Pengelolaan Sampah |
![]() |
---|
Mr Qodari: No Guts No Glory |
![]() |
---|
Jadi Idaman di Sulawesi, Toyota Agya Bikin Gen Z Tampil Lebih Kece |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.