Opini
Membangun Toleransi Sejak Dini Melalui Keluarga
Namun tidak dapat dinafikkan kemajemukan tersebut berpeluang menciptakan perbenturan sosial yang tidak dapat dihindari hingga resiko konflik.
Oleh: Nita Amriani
Alumni Studi Agama -Agama UIN Alauddin Makassar
Sebagai bangsa yang plural dan lahir dari kemajemukan sosial, persahabatan antar masyarakat Indonesia kiranya perlu diciptakan. Kemajemukan adalah kekuatan sosial
dalam membangun sebuah bangsa.
Namun tidak dapat dinafikkan kemajemukan tersebut berpeluang menciptakan perbenturan sosial yang tidak dapat dihindari hingga resiko konflik yang cukup tinggi.
Sebagai contoh, kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama hingga hari ini masih ditemukan.
Seperti peristiwa pembubaran peribadatan kembali terjadi yang menimpa Mahasiswa Katolik Universitas Pemulang (UNPAM) yang saat itu sedang melaksanakan Ibadah Rosario.
Sementara itu, hasil temuan dari riset Setera Institute menunjukkan bahwa kasus intoleransi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di tahun 2022 masih terbilang tinggi dengan 175 kasus.
Stevanus seorang pendeta sekaligus akademisi di Sekolah Tinggi Teologi Tawangmangu menegaskan bahwa isu SARA dan keragaman lainnya di kehidupan masyarakat berpotensi menimbulkan sikap fanatisme yang ekstrim, intoleransi hingga radikalisme.
Salah satu pemicu intoleransi di atas karena lemahnya karakter toleransi, tengang rasa dan mudah terprovokasi yang berujung pada sikap anarkis.
Sejalan dengan ungkapan Askar Ahmad dalam tulisannya “Refleksi Historis Pendidikan Rasulullah : Potret Untuk Pendidikan Karakter Anak Bangsa” bahwasanya generasi anak bangsa mengalami degradasi moralitas, sehingga sering kali muncul kepentingan tertentu yang mengatasnamakan agama.
Hal ini menyebabkan mereka kehilangan identitas dan karakter positif, serta memicu ketidakharmonisan dalam hubungan sosial di masyarakat.
Peran dan Tanggung Jawab keluarga
Pada akhirnya, tanggung jawab atas kualitas moralitas anak tidak hanya terletak pada institusi pendidikan formal saja, tetapi juga pada lembaga pendidikan informal terutama
keluarga memiliki peran sentral dalam membentuk moralitas-karakter yang toleran.
Pertama, membangun keluarga atas dasar kasih. Kasih adalah bahasa universal yang memungkinkan orang untuk menerima kelebihan dan kekurangan orang lain.
Apabila kasih ditanamkan dalam sebuah keluarga, anak-anak yang tumbuh di lingkungan ini akan mampu mencintai orang lain dalam interaksi sosial mereka.
Ini membantu mereka memandang perbedaan sebagai sesuatu yang indah, bukan sebagai sumber konflik, tetapi sebagai aspek yang memperkaya pengetahuan mereka.
Kedua, menunjukkan sikap terbuka, saling menghormati dan menghargai.
Jika setiap anggota keluarga memahami peran dan posisi masing-masing, rasa saling menghormati akan tumbuh.
Ini sangat penting sebagai bekal individu untuk berinteraksi di masyarakat.
Keterbukaan dalam berbagai aspek juga sangat dibutuhkan.
Leah Adams dan Marjory Ebbeck seorang dosen di Eastern Michigan University dan University of South Australia menulis sebuah karya The Early Years and Development
of Tolerance.
Pada tulisan tersebut keduanya mengungkapkan bahwa orang tua sepatutnya menanamkan pemahaman moral kepada anak-anaknya sejak usia 2 tahun.
Di mana mereka berupaya menciptakan situasi yang mendukung.
Orang tua bersedia mendengarkan, peka terhadap perasaan anak, memberikan jawaban yang logis serta melontarkan pujian.
Sebaliknya, orang tua yang menceramahi, mengancam, atau melontarkan komentar sinis tidak akan merubah sikap anak.
Unsur ketiga, sikap saling menghargai. Menerapkan sikap ini memang tidak mudah.
Seringkali dalam keluarga, kita cenderung mengharapkan seseorang untuk menjadi seperti yang kita inginkan, serta mengendalikan dan membatasi kebebasan mereka.
Di dalam keluarga, orang tua dan akan harus saling menghormati keinginan dan prinsip masing-masing.
Pada dasarnya, manusia tidak pernah merasa puas dengan sesuatu yang dimiliki.
Karakter ini akan membawa kita pada sebuah perasaan kecenderungan untuk menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan. Lambat laun kita akan menuntut lebih tanpa mempetimbangkan keterbatasan orang lain.
Penting untuk sadari bahwa kesempurnaan adalah hal yang mustahil di dunia ini.
Menghargai adalah nilai penting yang harus diajarkan dalam keluarga, sehingga ketika kita mampu menghargai keluarga sendiri, kita cenderung bisa menghargai orang lain, masyarakat, dan bangsa lain.
Semua faktor ini memengaruhi lahirnya kualitas moralitas-karakter yang toleran dan seiring berjalannya waktu, anak-anak belajar memperlakukan orang lain dengan penuh
rasa hormat sehingga mereka merasa perbedaan bukan sebuah ancaman melainkan sesuatu yang perlu dirayakan.
Lebih lanjut yang perlu disuburkan adalah sikap terbuka dan toleran terhadap mereka yang berbeda.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.