Opini
Ambiguitas Parpol di Pilkada Serentak
Tak main-main, sirkulasi kekuasaan nasional di semua jenjang, dirampungkan dalam rentang waktu hanya setahun ini.
Meski manfaatnya signifikan, tapi sisi lain ditataran praksisnya ketika diterapkan, tak seenteng dan tak sesederhana seperti sebelumnya dikira.
Bahwa syarat sah pencalonan kontestan pilkada, sejatinya lewat dukungan parpol -- sendiri-sendiri atau gabungan koalisi -- atas dasar raihan jumlah kursi, atau jumlah suara diperoleh masing-masing parpol pada Pileg sebelumnya.
Namun, karena ini kali pilkada dihelat masif cara serentak, tak hanya di tingkat provinsi, tapi disaat yang sama pilkada juga dihelat di kabupaten dan kota.
Dan di titik inilah, parpol mau tak mau dihadapkan pada perangkap yang menjerat mereka di posisi ambigu.
Permasalahannya pada dua opsi. Opsi satu, apakah persekutuan koalisi parpol di pilkada provinsi guna mengusung pasangan calon Gubernur dan wakilnya, linier tetap konsisten bersekutu di pilkada kabupaten/kota untuk mengusung pasangan calon Bupati/Walikota dan wakilnya.
Atau sebaliknya dipilih opsi kedua, sikap ditempuh masing-masing parpol tak linier. Bersekutu di pilkada provinsi, tapi berseberangan di pilkada kabupaten/ kota. Dan atau sebaliknya.
Andai koalisi parpol konsisten di opsi satu, titik krusialnya diduga sedikit sederhana.
Tapi jika dipilih opsi dua, titik soalnya jadi lain. Tak terkira krusialnya, bila dua atau lebih parpol bersekutu di pilkada provinsi, mengusung pasangan calon Gubernur dan wakilnya.
Tapi di pilkada kabupaten/kota, mengusung pasangan calon Bupati/Walikota dan wakilnya, malah justru berseberangan.
Krusialnya pada tataran praksis saat diterapkan. Lokasi garapan pasangan calon Gubernur dan wakilnya guna meraup dukungan, tentu di wilayah kabupaten dan kota, dimana saat sama, di sana juga berlangsung pilkada.
Mitra yang diharap bekerjasama, tentu pada pasangan calon Bupati/Walikota dan wakilnya, dari usungan koalisi parpol yang sama. Tapi naifnya, andai usungan parpol masing-masing tak linier.
Pada pilkada provinsi bersekutu, tapi di pilkada kabupaten/kota justru berseberangan.
Meski faktanya, antara pasangan calon di pilkada provinsi versus pasangan calon di pilkada kabupaten/kota tak bersaling urus.
Tapi apapun itu, justru di ranah inilah suasana kebatinan politik yang kini menjerat para pimpinan parpol dan berada di simpang jalan yang ambigu. Lalu, sekira opsi mana mereka tempuh kelak, sama-sama semua kita menanti.
Entah opsi satu, koalisi parpol linier mulai pilkada provinsi hingga kabupaten/kota.
Ataukah terjadi sebaliknya dipilih opsi dua, masing-masing parpol menentukan dukungannya cara sendiri-sendiri. Sekutu di pilkada provinsi, tapi berseberangan di pilkada kabupaten/kota.
Dan jika dipilih opsi dua, dapat dipastikan pesta politik terakbar tahun ini, bakal berlangsung meriah, sengit dan seru.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.