Opini
Ambiguitas Parpol di Pilkada Serentak
Tak main-main, sirkulasi kekuasaan nasional di semua jenjang, dirampungkan dalam rentang waktu hanya setahun ini.
Oleh: Armin Mustamin Toputiri
Praktisi dan Pengamat Sosial Politik
Tahun ini, merupakan tonggak bersejarah dalam perjalanan demokrasi di Indonesia.
Inilah kali pertama, diselenggarakan pesta politik yang masif dan benar-benar akbar.
Tak main-main, sirkulasi kekuasaan nasional di semua jenjang, dirampungkan dalam rentang waktu hanya setahun ini.
Sebelumnya 14 Februari lalu, Pilpres dan Pileg dihelat serentak.
Selanjutnya, pada 27 November nanti, dihelat lagi Pilkada Serentak.
Tak hanya di 37 provinsi, tapi pada hari dan waktu yang sama, juga dihelat di 508 kabupaten/kota.
KPU telah menetapkan jadwal pendaftaran pasangan peserta pilkada, serentak 27-29 Agustus 2024.
Pertanda, sisa sebulan lagi kantor KPUD di seluruh tanah air, berduyun-duyun akan didatangi pasangan kontestan yang akan berlaga.
Hanya saja, di sisa waktu pendaftaran kian kasip, mereka yang berhasrat berlaga pada pesta politik terakbar ini, mayoritas belum menggenggam surat dukungan resmi dari parpol.
Baik sendiri-sendiri maupun koalisi. Meski mereka telah sekian bulan tunggang langgang -- di sela banyak makelar politik berseliweran -- berburu dukungan, tetapi hasilnya masih nihil.
Sekira gerangan apa terjadi? Asal tahu, di balik banyak nilai positif diraih dari pilkada yang dihelat serentak, namun andai ingin dicermati kadarnya di tataran praksis saat diterapkan, kasat mata dapat ditemukan keunikannya yang sedikit pelik dan rumit.
Malah lebih sengit dibandingkan pilkada serentak yang sebelumnya dihelat parsial.
Hampir dipastikan, faktor musabab itulah kenapa seluruh pimpinan parpol, hingga saat ini berada di posisi ambigu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.