Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Kebakaran di Bone

Kronologi Rumah Bangsawan Bugis Dibakar Akibat Cekcok di Acara Mappaci di Bone, Warga Murka

Ia mengungkapkan, rumah panggung tersebut merupakan rumah milik Andi Patiroi Petta Tinno dibakar oleh massa yang berasal dari acara mappacci keluarga

|
Penulis: Wahdaniar | Editor: Ansar
Tribun-Timur.com
Potret rumah panggung yang terbakar di Kecamatan Ajangale akibat dibakar massa rata dengan tanah 

Dikutip dari jurnal Muhammadiyah Makassar yang berjudul 'Transformasi NilaI-Nilai Gelar Kebangsawanan Masyarakat Bugis Kelurahan Wiringpalennae Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo' disebutkan bahwa Petta merupakan gelar bagi bangsawan lapisan Ana'karaeng.

Hanya saja darah bangsawannya sudah tak kental atau memudar karena perkawinan tak sekasta.

Kaum bangsawan tinggi maupun menengah ketika menikah dengan perempuan dari golongan masyarakat biasa maka darah bangsawannya akan kabur.

Dalam masyarakat bugis dikenal istilah 'Malawi'.

3. Datu

Datu merupakan gelar bangsawan tertinggi dalam masyarakat Wajo. Gelar ini disematkan pada nama seseorang yang memang berasal dari lapisan Ana'mattola, yaitu anak yang telah dipersiapkan menjadi raja dalam negerinya.

Gelar Datu bagi seorang Ana'mattoala hanya biasa dipakai ketika ayahnya sebagai seorang raja telah meninggal atau turun tahta.

Namun, jika raja memiliki anak lebih dari satu maka hanya satu yang bisa dipilih dan dipersiapkan sebagai Datu.

4. Bau

Gelar Bau merupakan gelar yang dipakai untuk seseorang yang dianggap tinggi derajatnya dari bangsawan biasa.

Gelar ini juga kerap digunakan sebagai pengganti istilah Andi.

Secara historis, gelar bau merupakan bentuk pengaruh dari Kerajaan Melayu yang banyak menggunakan istilah yang sama dalam kerajaannya.

Arti 'Bau' itu sendiri secara harfiah adalah 'harum' atau 'yang diharumkan'.

Bagi masyarakat Wajo, gelar bangsawan ini hanya bisa digunakan oleh anak raja atau lapisan anak sangaji (hasil perkawinan anak raja Bugis dan Makassar).

Oleh karena itu, gelar Bau juga kerap digunakan oleh masyarakat Makassar.

5. Daeng

Dikutip dari jurnal Universitas Airlangga yang berjudul 'Makna Daeng Dalam Kebudayaan Suku Makassar', gelar Daeng merupakan panggilan terhadap orang-orang yang dianggap dari keluarga bangsawan oleh masyarakat Bugis-Makassar.

Gelar ini seyogyanya ditujukan pada orang-orang dengan stratifikasi sosial atas.

Dalam kebudayaan suku Makassar, gelar Daeng memiliki makna yang beragam.

Daeng dapat dimaknai sebagai nama yang diberikan orang tua kepada anaknya sebagai bentuk penghambaan kepada Allah, serta wujud doa dan harapan agar anak-anaknya kedepan bisa menjadi pribadi yang baik.

Julukan Daeng juga ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kelebihan atau prestasi dalam kehidupan sosial masyarakat.

Selain itu, juga ditujukan bagi keluarga bangsawan, orang-orang yang dihormati atau dituakan.

6. Karaeng

Dikutip dari jurnal Universitas Alauddin Makassar yang berjudul 'Gelar Karaeng di Kabupaten Jeneponto', sebelum tahun 1945, Karaeng dikenal sebagai orang yang terpandang dalam kalangan masyarakat Makassar.

Karaeng merupakan sebutan bagi seseorang yang memimpin dan memerintah suatu wilayah atau kerajaan.

Setelah penamaan Karaeng digunakan untuk raja lokal, maka muncullah gelar Karaeng ini sebagai strata sosial.

Penggunaan nama ini hanya diperuntukkan bagi keturunan dari Tomanurung sehingga penggunaan Karaeng dilihat dari aspek keturunan.

Dalam faktor keturunan, hanya laki-laki atau yang dapat mewariskan gelar Karaeng kepada anak-anaknya.

Dengan demikian, apabila seorang perempuan yang berdarah Karaeng menikah dengan orang biasa, maka dia tidak biasa mewariskan gelar bangsawan tersebut.

7. Kare

Kare merupakan gelar untuk pemimpin kerajaan lokal sebelum dikenal istilah Karaeng.

Munculnya gelar ini menjadi awal terbentuknya pemerintahan kerajaan yang disebut Kekaraeng-ang dan dijadikan sebagai strata sosial tertinggi.

Kare diberi kekuasaan oleh oleh Raja Gowa (Sombayya Ri Gowa) untuk mengatur pemerintahan di Butta Turatea, kini dikenal Jeneponto.

Kare pertama yang ditunjuk di Turatea pada saat itu adalah Indra Baji.

8. Puang

Dikutip dari jurnal Universitas Borneo Tarakan yang berjudul 'Strata Sosial Gelar Adat Suku Bugis Pattinjo di Kalimantan Utara (Kajian Sosiolinguistik)', Puang adalah gelar tertinggi sebelum adanya kedudukan raja dalam adat.

Kemunculan gelar ini pun tidak terlepas dari sejarah berdarah.

Sejarah Puang berasal dari peristiwa sekelompok masyarakat yang saling membunuh.

Dari peristiwa tersebut muncullah seseorang yang menjadi penengah dalam pertikaian tersebut.

9. Arung

Arung adalah seseorang yang memegang jabatan dalam pemerintahan adat.

Jabatan yang dimaksud yaitu raja, sehingga Arung disamakan dengan Raja.

Arung yang menjabat sebagai raja harus berasal dari keluarga Puang.

Sehingga seorang Arung dalam masa kerajaannya juga biasa disebut Puang.

10. Iye

Iye merupakan gelar bagi orang yang mempunyai keturunan yang bergelar raja.

Turunan darahnya tergolong jauh namun masih dalam silsilah keturunan raja tersebut.

Biasanya keturunan raja yang disandang hanya berasal dari salah satu pihak keluarga.

Seperti keturunan raja dari salah satu orang tua atau nenek moyang.

11. I dan La

Dikutip dari buku yang berjudul 'Sejarah Kebudayaan Sulawesi' dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 'I' dan 'La' merupakan gelar kebangsawanan yang sejak dahulu digunakan masyarakat bangsawan Bugis-Makassar.

Keduanya memiliki makna yang sama, namun yang menjadi pembeda antara keduanya yaitu suku yang menggunakannya.

Gelar 'I' kerap dipakai oleh masyarakat Makassar sedangkan gelar 'La' dipakai oleh masyarakat suku Bugis.

Penggunaan kata 'I' dan 'La' dalam Galigo memberikan makna kepemilikan orang Bugis-Makassar terhadap kesusastraan tersebut.

Berdasarkan penetapan bangsa Portugis kala itu, wilayah Bugis berada pada Sulawesi bagian tengah sedangkan Makassar berada di Sulawesi bagian Selatan.

12. Opu

Dikutip dari laman resmi Dinas Kebudayaan Yogyakarta, gelar Opu bagi masyarakat Luwu adalah sebuah titulatur kebangsawanan yang diberikan kepada seseorang yang telah menikah.

Secara struktur, Opu telah menduduki jabatan dalam birokrasi kerajaan.

Seseorang yang bergelar bangsawan ini akan mendapatkan tempat tersendiri dalam masyarakat seperti para bangsawan tinggi lainnya.

Dengan demikian, dengan gelar Opu yang disandang, maka seseorang akan menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat.

13. Sombaya

Dikutip dari Jurnal Universitas Hasanuddin yang berjudul 'Perlawanan Masyarakat Adat Terhadap Pemerintah Kabupaten Gowa', sombayya adalah julukan raja yang memerintah kerajaan Gowa.

Gelar ini hanya untuk orang yang berasal dari keturunan raja dan menduduki posisi tertinggi dalam pemerintahan Gowa.

Sombaya sendiri dalam bahasa Makassar berarti (raja) yang disembah.

Di Sulawesi Selatan, dikenal sebutan Sombaya Ri Gowa yang artinya yang disembah di Gowa. (*)

Sumber: Tribun Timur
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved