Opini
Kartu Merah Hasyim Asy’ari
skandal perselingkuhannya dengan seorang anggota PPLN Belanda, merupakan pelanggaran etik keenam yang terbukti di hadapan sidang majelis DKPP.
Oleh: Damang
Advokat Pemilu dan Alumni Magister Hukum UMI
DALAM berbagai liris media cetak dan media elektronik, Hasyim Asy’ari “dikartu merah” sebagai Ketua merangkap anggota KPU RI.
Rata-rata memberitakan, bahwa skandal perselingkuhannya dengan seorang anggota PPLN Belanda, merupakan pelanggaran etik keenam yang terbukti di hadapan sidang majelis DKPP.
Hasil penelusuran di website DKPP, ternyata secara berurutan jumlah pelanggaran etik ketua KPU RI itu, bukan sebanyak enam kali, tetapi sebanyak tujuh kali.
Diantaranya: (1) kasus pernyataan Ketua KPU di media tentang pemilu akan menggunakan proporsional tertutup (Perkara Nomor 14/PKE-DKPP/II/2023).
(2) Kasus wanita emas Hasnaeni Moein (Perkara Nomor 35 – 36/PKE-DKPP/II/2023), (3) Kasus pembulatan ke bawah kuota caleg perempuan (Perkara Nomor 110-PKE-DKPP/IX/2023).
(4) Kasus meloloskan Gibran tanpa mengubah PKPU Pencalonan (Perkara Nomor 135 – 136 – 137 – 141-PKE-DKPP/XII/2023), (5) Kasus Kebocoran data pemilih (Perkara Nomor 4-PKE-DKPP/I/2024).
(6) Kasus Irman Gusman diloloskan ke DCS sebagai mantan narapidana (Perkara Nomor 16-PKE-DKPP/I/2024), (7) Kasus pelecehan seksual kepada anggota PPLN Belanda (Perkara Nomor 90-PKE-DKPP/V/2024).
Putusan DKPP yang “mengkartu merah” Hasyim Asy’ari, bukan karena sudah dua kali mendapatkan sanksi etik berupa peringatan keras terakhir.
Akan tetapi, disebabkan pelanggaran etiknya terkualifikasi sebagai peristiwa yang sejenis, antara kasus wanita emas dengan kasus pelecehan seksual kepada seorang anggota PPLN Belanda.
Kendatipun kemudian, persyaratan semacam itu tidak diatur dalam Peraturan DKPP, baik dalam kode etik penyelenggara pemilu maupun dalam hukum acara DKPP.
Syarat-syarat semacam itu hanya bisa dimaknai sebagai preseden yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sebab dahulu Evi Novida Ginting (anggota KPU periode 2018 – 2022) justru diberhentikan secara permanen oleh DKPP, bukan dengan pelanggaran etik karena peristiwanya sejenis.
Boleh kita mengapresiasi putusan DKPP tersebut. Tetapi ada satu kritik yang harus menjadi renungan bagi seluruh anggota DKPP.
Dengan selalu memberikan permakluman atas pelanggaran etik, masih diberikan kesempatan sebagai penyelenggara, apalagi kasus yang berhubungan dengan pelecehan seksual, sama saja DKPP telah membuka kesempatan kepada yang bersangkutan untuk mengulangi perbuatannya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.