Opini
Politik dan Romantisme Orde Baru
Hasil Pemilu dan Pilkada juga ternyata kurang memunculkan sosok pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas dan berintegritas
Oleh : Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh Makassar / Dewan Pakar Alumni Unhas Gowa
ADA kegelisahan elit politik di Jakarta terkait dengan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada, demikian juga rasa kesal akademisi di berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia terkait dengan pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45).
Pemilu dan Pilkada yang mengeluarkan dana pemerintah yang demikian besar, ternyata hanya menghasilkan pemimpin yang menang karena ditopang money politic, oleh ASN dan pejabat pemerintah yang tidak netral, ditopang oleh penyalahgunaan bansos, dan sebagainya.
Hasil Pemilu dan Pilkada juga ternyata kurang memunculkan sosok pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas dan berintegritas, demikian juga UUD 45 yang begitu mudahnya dirubah untuk kepentingan dan kemenangan sekelompok orang dan golongan.
Rasa gelisah dan kesal itu juga seringkali diselingi dengan canda, “ ah, kalau begini lebih baik kembali ke jaman orde baru”, dimana pemilihan dilakukan melalui wakil-wakil kita yang ada di MPR dan DPRD.
Canda seperti ini amat sering kita dengar saat kita berinteraksi, berkomunikasi, berdiskusi di ruang publik atau di rumah dan lingkungan keluarga.
Inilah yang mungkin disebut sebagai “Politik dan romantisme orde baru”.
Kenapa kita amat sering bernostalgia ? ya, karena itu tadi, kita gelisah dan kesal melihat fenomena dan realitas politik saat ini yang umumnya berfikir pragmatis-empiris ketimbang subtansial dan ideal-normatif.
Pemilu dan pilkada yang sudah dilaksanakan berkali-kali ternyata hanya memperhatikan “hasil” tetapi tidak memperhatikan “proses”.
Dimasa orde baru, meskipun banyak pelanggaran, tetapi tidak pernah ada perubahan pasal dalam UUD 45 demikian juga peraturan turunannya ke bawah, hanya karena kepentingan sesaat.
Di masa Orde Baru pemilu dilaksanakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1999. Pemilu ini untuk memilih anggota DPR dan DPRD.
Wakil-wakil rakyat itulah yang kemudian memilih presiden, gubernur, bupati dan walikota yang dikenal dengan istilah demokrasi perwakilan.
Enam kali orde baru melaksanakan pemilu dengan sistem perwakilan, ternyata telah menghasilkan pemimpin-pemimpin nasional dan daerah yang berkualitas, tidak dengan money politic dan dilakukan dalam kerangka stabilitas politik yang mantap dan
terkendali, orientasinya pada pertumbuhan ekonomi yang waktu itu ditarget 7 persen pertahun.
Bandingkan saat reformasi, terutama saat pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2004, 2008, 2014, 2019 dan 2024 untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kota/Kabupaten.
Pemilu ini penuh dengan money politic, berbiaya tinggi (high cost) dan cenderung menimbulkan ketidak stabilan politik.
Mudahnya UUD 45 dirubah oleh mahkamah konstitusi, demikian pula Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait dengan usia calon presiden dan wakil presiden adalah bukti kuat betapa pelaksanaan pemilu, termasuk pemilu tahun 2024 begitu buruk, khususnya calon wakil presiden yang disamping kurang pengalaman juga belum cukup umur.
Bandingkan dengan wakil presiden di masa orde baru pada saat sistem perwakilan.
Sebagaimana diketahui bahwa wakil presiden dimasa orde baru benar-benar merupakan pilihan rasional (public choice), bukan saja dari segi umur, tetapi juga dari aspek pengalaman.
Seperti ditulis oleh Syafril Sjofyan yang tersebar di media sosial dengan judul “Legenda Wakil Presiden RI dan lahirnya Anak Haram Konstitusi .“
Disitu nampak sekali betapa wakil presiden dimasa orde baru, memang luar biasa dan melagenda.
Sebut saja Sri Sultan Hamengku Buono IX dan Adam Malik.
Wakil presiden Kedua dan ketiga ini usianya 61 tahun dan punya mengalaman sebelum menjabat sebagai wakil presiden, baik sebagai Sultan Jogyakarta kesembilan maupun sebagai gubernur Jogyakarta, demikian juga Adam Malik sebagai menteri luar negeri, Ketua umum MPR, Presiden Majelis Umum PBB.
Bahkan beliau juga adalah inisiator kelahiran ASEAN. Selanjutnya adalah Wakil presiden keempat, yaitu Jenderal TNI Umar
Wirahadikusuma yang berusia 59 tahun, sebelum menjabat sebagai wakil presiden, beliau adalah KSAD dan pernah menumpas G30 S/PKI.
Wakil presiden kelima Letjen TNI H. Soedarmono SH berumur 61 tahun dan sebelumnya sebagai ketua umum Golkar , Menteri
Sekretaris Negara selama 16 tahun.
Letnan Jenderal Tri Sutrisno wakil presiden keenam di usia ke 58 tahun, sebelumnya menjabat sebagai panglima Angkatan Bersenjata RI. Demikian juga, Wakil presiden ketujuh, Prof Dr Ing Bacharuddin Jusuf Habibie, menjadi wakil presiden ketika berusia 62 tahun.
Beliau adalah satu-satunya orang Asia yang pernah menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat di Jerman.
Wakil presiden ke delapan adalah Megawati Soekarno Putri 52 tahun, sebelumnya adalah pendiri PDI Perjuanan , Wakil presiden ke Sembilan Prof Dr Hamzah Haz menjadi wakil ketika berusia 61 tahun, pernah menjabat sebagai ketua umum PPP, sebelumnya
pernah menjabat sebagai menko dimasa pemerimtahan Abdul Rahman Wahid.
Dan menteri Negara dan investasi kepala BKPM pada masa pemerintahan Habibie.
Wakil presiden ke sepuluh adalah Drs. H. Jusuf Kalla, menjadi wakil presiden pada usia 62 tahun, beliau seorang pengusaha dan pernah menjadi ketua KADIN, pernah menjabat sebagai ketua umum Golkar.
Selanjutnya adalah wakil presiden ke sebelas Prof. H. Boediono, B.Sc., M.Ec., Ph.D berusia 66 tahun ketika menjadi wakil presiden. Sebelumnya pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia, menteri keuangan, menteri Negara perencanaan dan pembangunan
nasional/kepala Bapenas.
Lagenda wakil presiden lintas masa di atas memberi indikasi bahwa mereka dipilih oleh presiden tanpa jalur kekeluargaan, mereka punya kompetensi dan pengalaman dan tentu saja historis, bukan a-historis karena turunan, ayah atau pamannya.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/Amir-Muhiddin-Dosen-Fisip-Unismuh-Makassar-Dewan-Pakar-Alumni-Unhas-Gowa.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.