Opini
Pilpres, Pilkada dan Amandemen UUD 45
Seperti diketahui bahwa beberapa waktu yang lalu, ketua MPR RI, Bambang Soesatyo melakukan safari politik ke pimpinan partai politik
Oleh: Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh Makassar/Sekretaris Devisi Politik Pemerintahan ICMI Sul-Sel
Ada kemungkinan bahwa Pilpres dan pilkada 2029 tidak lagi dilaksanakan secara langsung, akan tetapi dilaksanakan melalui perwakilan, dimana presiden akan dipilih oleh MPR dan gubernur, bupati/walikota dipilih melalui DPRD, baik propinsi maupun kabupaten/kota.
Seperti diketahui bahwa beberapa waktu yang lalu, ketua MPR RI, Bambang Soesatyo melakukan safari politik ke pimpinan partai politik, termasuk ke Nasdem menemui Surya Paloh.
Sebelumnya Amin Rais , juga melakukan hal yang sama, dimana beliau sengaja menemui ketua MPR RI Bambang Soesatyo untuk membicarakan kemungkinan amandemen UUD 1945.
Selama ini Amin Rais memang kelihatan selalu gelisah melihat dan menyaksikan bagaimana UUD 45 dilaksanakan yang menurut beliau sudah jauh menyimpang.
Mantan ketua MPR ini menilai bahwa UUD 45 dalam implementasinya sudah berada diijalan yang salah, bahkan nyaris disorientasi.
Kegelisahan segelintir elit politik di Jakarta, mungkin saja mewakili suara yang sama di berbagai daerah.
Bahwa UUD 45 dalam pelaksanaannya sudah berbeda dengan amanah reformasi dan perlu diluruskan kembali.
Kegelisahan masyarakat terutama dalam lima bulan terakhir antara lain karena mudahnya pasal-pasal UUD 45 dirubah hanya karena kepentingan sesaat dan untuk peribadi dan kelompok.
Tentu saja kita masih ingat ketika presiden Jokowi cawe-cawe dalam pemilu Tahun 2024 bahkan memanfaatkan mahkamah konstitusi untuk merubah pasal UUD 45, dan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait dengan usia calon presiden dan wakil presiden.
Bukan hanya itu, pemilu presiden, termasuk juga Pilkada langsung untuk memilih gubernur, bupati dan walikota, ternayata juga mengecewakan.
Pemerintah sudah mengeluarkan dana yang sangat besar, tetapi ternyata presiden, gubernur dan walikota yang terpilih seringkali jauh dari kualitas yang dinginkan masyarakat.
Belum lagi bicara tentang money politic, netralitas ASN dan pejabat pemerintah, penyalahgunaan bansos, manipulasi suara dan sebagainya.
Seperti kita ketahui bahwa semenjak reformasi, UUD 45 sudah empat kali dimandemen yang meliputi Pembatasan kekuasaan Presiden. Perluasan otonomi daerah dan desentralisasi. Penegakan hak asasi manusia. Demokratisasi proses pemilihan.
Pemisahan struktur TNI dan Polri, dan Pembentukan lembaga-lembaga baru seperti DPD, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi.
Pembatasan kekuasaan merupakan amandemen pertama yang dilakukan, ini beralasan sebab ketika orde baru berkuasa, Soeharto nyaris tak tersaingi dan menjadi presiden selama hampir enam periode (27 Maret 1968-21 Mei 1998).
Ini adalah realitas politik dan dianggap masalah, terutama dalam hal keadilan politik.
Itu sebabnya amandemen pertama yang dilaksanakan pada Sidang Umum MPR dari tanggal 14 - 21 Oktober tahun1999 berfokus pada pembatasan kekuasaan Presiden yang sebelumnya kurang jelas berapa lama kemudian dirubah menjadi selama dua periode.
Amandemen kedua berlangsung dalam Sidang Tahunan MPR pada tanggal 7- 18 Agustus tahun 2000, membawa perubahan terkait berbagai aspek, seperti wewenang dan posisi pemerintah daerah, peran dan fungsi DPRD, serta penambahan mengenai hak asasi manusia.
Amandemen ini mencerminkan pentingnya otonomi daerah dan pengakuan terhadap satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, serta hak-hak tradisional masyarakat hukum adat.
Selain itu, amandemen ini mengatur lebih lanjut mengenai NKRI sebagai negara kepulauan, perluasan jaminan konstitusional hak asasi manusia, sistem pertahanan dan keamanan negara, pemisahan struktur dan fungsi TNI dengan Polri, serta pengaturan bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan.
Implementasi hasil amandemen kedua, terutana terkait dengan wewenang dan posisi pemerintah daerah serta peran dan fungsi DPRD, memang kini dalam sorotan terutama fungsi DPRD yang tidak lagi memilih gubernur, bupati dan walikota tetapi dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan langsung atau derect election.
Sorotan ini sama dengan pemilu yang dianggap mengecewakan karena tidak berbanding lurus antara biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan kualitas pemimpin yang terpilih.
Dalam kaitan ini muncul gagasan agar pilkada tidak lagi dilaksanakan secara langsung akan tetapi dikembalikan lagi ke DPRD.
Amandemen ketiga berlangsung dalam Sidang Umum MPR dari tanggal 1 - 9 September tahun 2001.
Dalam amandemen ini, terdapat 23 pasal perubahan atau tambahan dan tiga bab tambahan.
Perubahan mendasar melibatkan penegasan bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang berdasarkan hukum konstitusional, restrukturisasi dan perubahan wewenang MPR.
Pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden oleh rakyat, mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, pembentukan Dewan Perwakilan Daerah, pemilihan umum, perubahan di Badan Pemeriksa Keuangan, pengaturan kewenangan dan proses pemilihan hakim agung, serta pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Tiga dari empat kali amanden yang jadi sorotan akhir-akhir ini tetntu saja perlu dikaji lebih jauh dan mendalam.
Sebab amandemen UUD 1945 adalah salah satu upaya penting untuk memastikan bahwa konstitusi Indonesia tetap relevan, dapat mengakomodasi zaman yang berubah begitu cepat dan tetap mencerminkan semangat demokrasi, hak asasi manusia, dan otonomi daerah. Semoga.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.