Haji 2024
Murur di Perhajian Indonesia: Antara Moderasi dan Rekonstruksi
Jika seluruh jamaah haji diturunkan di Muzdalifah dan mabit di saat yang bersamaan, maka space tempat untuk setiap orang hanya kurang lebih 0,29 m2.
Oleh: Afifuddin Harisah
Konsultan Ibadah Sektor Mekkah 2024
TRIBUN-TIMUR. COM - Berhaji bagi muslim Indonesia masih menempati posisi tertinggi tingkat minat masyarakat berkunjung ke tanah suci.
Meski arus pemberangkatan ibadah umrah terus meningkat, tetapi berhaji tetap menjadi prioritas.
Berbagai fasilitas yang menarik, bahkan bisa dibilang “wah”, brand umrah sesuai Sunnah dan harga yang bersaing, ditawarkan para biro penyelenggara ibadah umrah.
Namun meski demikian, jika ditanya setiap muslim di Indonesia pilih mana, haji atau umrah, pilihan mereka adalah berhaji.
Tetapi apakah fasilitas kenyamanan berumrah sama dengan berhaji? Tentunya jawabannya kembali kepada niat dan motivasi berhaji setiap orang yang tidak sekedar destinasi ibadah, tetapi menyempurnakan kewajiban selaku muslim.
Menarik apa yang diutarakan Bapak Direktur Bina Haji Kementerian Agama RI, Dr H Arsad Hidayat Lc MA pada Bimtek PPIH Arab Saudi 2024 lalu, bahwa perhajian di Indonesia dan pelaksanaannya di Arab Saudi, terkhusus di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna) tidak pernah terlepas dari persoalan-persoalan, baik dari sisi manasik maupun teknis pelayanan ibadahnya.
Setiap tahun senantiasa diupayakan optimalisasi perhajian, tetapi selalu saja ada persoalan dan kasus baru yang terjadi di setiap tahun.
Hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah dan sekaligus keunikan yang ada pada manajemen perhajian.
Mengapa? Oleh karena perhajian atau perjalanan ibadah haji, tidak hanya urusan Kementerian Agama, tetapi melibatkan Kementerian-kementerian lain, pihak pemerintah Arab Saudi, organisasi masyarakat Islam, akademisi dan tentunya jamaah haji dengan berbagai latar belakang etnis, tingkat pendidikan, status sosial dan ekonominya.
Kompleksitas yang luar biasa ini tidak terjadi di berbagai event-event nasional dan internasional kecuali di perhajian.
Moderasi Manasik sebagai Keniscayaan
Perlu digarisbawahi bahwa manasik haji itu ada dua macam, yaitu manasik haji teoretis dan manasik haji praktis.
Manasik haji teoretis adalah hukum dan tata cara pelaksanaan ibadah haji yang bersumber dari fikih murni dan bersifat normatif.
Kajiannya lebih kepada pemahaman tentang bagaimana pelaksanaan ibadah haji agar hukumnya sah dan mabrur sesuai syariat.
Pemanasik dari tingkat nasional sampai tingkat kecamatan menyampaikan manasik haji teoretis ini dalam bentuk bimbingan dan praktek dalam kondisi calon jamaah haji masih di kampung masing-masing.
Rukun dan wajib haji digambarkan sedetail mungkin, ditambah dalil dan syarat sahnya. Namun, pemanasik hanya memberikan gambaran kepada jamaah, baik dengan cara orasi maupun visualisasi.
Manasik haji praktis sedikit berbeda tetapi sangat urgen untuk memberhasilkan jamaah haji melaksanakan rangkaian ibadah dalam kondisi riil di Arab Saudi, di Mekkah, Madinah dan Jeddah.
Sebab tidak dapat dipastikan pelaksanaan ibadah haji di lapangan nyata semudah yang dibayangkan saat disampaikan di manasik haji di tanah air.
Ibadah tawaf, misalnya, mudah digambarkan dalam manasik haji teoretis, tetapi dalam pelaksanaannya di lokasi tawaf di area utama Masjid Haram dengan kondisi kepadatan yang beresiko kepada keselamatan jamaah akan berbeda.
Memaksakan kondisi teoretis ke kondisi riil praktis akan mengakibatkan kesulitan tersendiri bagi jamaah haji, dan bahkan membahayakan khususnya jamaah lansia dan beresiko tinggi.
Oleh karena itu, Kementerian Agama, dalam hal ini Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah, bekerja sama dengan MUI dan ormas Islam, menyepakati untuk menerapkan moderasi dalam manasik haji, baik pada ranah teoretisnya maupun praktisnya.
Penerapan moderasi manasik haji yang berlangsung dinamis dan progresif dipastikan menjamin keberlangsungan pembinaan, pelayanan dan perlindungan terhadap jamaah haji Indonesia dapat optimal dan memberi dampak kepuasan yang tinggi.
Moderasi manasik haji tidak bertujuan mereduksi, apalagi mendekontruksi, bangunan normatif ajaran syariat Islam. Nilai-nilai moderasi yang diterapkan justru akan menjamin setiap jamaah memperoleh haji yang mabrur, lancar dan selamat dari resiko yang mengancam kesehatan, apalagi kematian.
Murur dan Rekonstruksi Perhajian Indonesia
Ada persoalan baru di perhajian tahun 2024 ini yang sempat dipertanyakan secara serius oleh masyarakat dan netizen sosmed, yaitu kebijakan murur yang merupakan mandatory (instruksi) pimpinan Kementerian Agama pada penyelenggaraan ibadah haji.
Lagi-lagi ini adalah kasus moderasi manasik haji yang berdampak massif. Murur adalah perlakuan khusus kepada jamaah lansia yang memiliki kelemahan fisik, sakit dan disabilitas dalam melaksanakan manasik haji mereka, yaitu melewatkan mereka dari Arafah langsung ke Mina dan tidak singgah mabit di Muzdalifah, meskipun secara teoretis-normatif wajib haji yang satu ini berakibat dam jika ditinggalkan.
Pertanyaannya, mengapa harus murur dan meninggalkan wajib haji, tetapi tidak kena dam?
Perlu dipahami, dengan bertambahnya kuota haji tahun 2024 sebanyak 241 ribu, semestinya diiringi bertambahnya volume dan kapasitas sarana ibadah di Masya’ir (Armuzna).
Namun kenyataannya, tingkat kepadatan dan daya tampung serta pelayanan di tiga lokasi, khususnya di Muzdalifah, sangat tidak berbanding.
Area Muzdalifah semakin sempit dan sesak dengan pembangunan toilet-toilet umum.
Jika seluruh jamaah haji diturunkan di Muzdalifah dan mabit di saat yang bersamaan, maka space tempat untuk setiap orang hanya kurang lebih 0,29 m2.
Dapat dibayang bagaimana risiko bagi lansia dan disabilitas harus berada di tempat tersebut selama berjam-jam, dengan risiko keterlambatan penjemputan sebagaimana yang terjadi di tahun 2023?
Maka dasar hukum pelaksanaan murur di Muzdalifah adalah kaidah-kaidah fikih yang berbasis maqashid, pendapat para imam mazhab yang mu’tabar dan mempertimbangkan bahaya yang bakal terjadi pada sisi kemanusiaan.
Di antara kaidah tersebut adalah dar’u al-mafasid muqaddam ala jalb al-mashalih (menyelamatkan jamaah lansia dan risti lebih diutamakan dari pada memperoleh keutamaan mabit, dengan alasan uzur), mura’at akhaff al dlararain ( Jika ada dua risiko bahaya, yaitu risiko kesehatan atau keselamatan jiwa dan ketidaksempurnaan ibadah, maka kebijakan yang diambil adalah risiko yang lebih ringan) dan kaidah al-dlarar yuzalu (setiap bahaya dan risiko berat yang diprediksi kuat terjadi harus dihindari, meskipun dalam pelaksanaan ibadah).
By the way, jika keterbatasan lokasi dan sarana tidak bisa ditambah atau dikembangkan (seperti kasus perluasan Mina), maka sangat perlu melakukan upaya rekonstruksi pada manasik haji teoretis dan praktis untuk memitigasi jamaah dari risiko beribadah.
Ke depan nantinya shalat arbain tidak lagi menjadi target ibadah di Madinah, murur disiapkan dan diberlakukan secara terstruktur dan sistematis sejak sebelum pemberangkatan ke tanah suci dan jamaah tidak lagi menempati tenda-tenda Mina, tetapi kembali ke hotel pemondokan, mabitnya dihukum sunnah dan cukup melontar jamaraat selama nafar awal dan nafar tsani. Wallahu a’lam.(*)
Masjid Bir Ali Tak Pernah Sepi, 84 Ribu Jemaah Indonesia Sudah Miqat di Sana |
![]() |
---|
Makkah Mulai Padat, Jamaah Lansia dan Baru Tiba Diimbau Salat Jumat di Masjid Dekat Hotel |
![]() |
---|
Cuaca Ekstrem di Arab Saudi, KKHI Imbau Jamaah Haji Jaga Stamina dari Madinah ke Mekah |
![]() |
---|
Menteri Agama Titip Empat Pesan ke Petugas Haji, Termasuk Jangan Pernah Marah |
![]() |
---|
Kementerian Agama RI: Asrama Haji Makassar dan Kanwil Kemenag Sulsel Terbaik Melayani Haji Reguler |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.