Opini
Cukup Sudah Dinasti Politik di Tanah Para Daeng
Di tanah yang dikenal sebagai “Tanah Para Daeng,” praktik dinasti politik telah lama menjadi isu yang mengakar.
Cukup Sudah Dinasti Politik di Tanah Para Daeng
Oleh: Muh Alfian MPA
Tenaga Ahli DPR RI / Pengamat Politik dan Kebijakan Publik
TRIBUN-TIMUR.COM - Di tanah yang dikenal sebagai “Tanah Para Daeng,” praktik dinasti politik telah lama menjadi isu yang mengakar.
Fenomena ini, di mana kekuasaan politik diwariskan dalam lingkup keluarga atau kelompok tertentu, kerap menimbulkan masalah serius.
Dinasti politik tidak hanya mengancam prinsip demokrasi, tetapi juga membuka jalan bagi berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Dinasti politik sering kali membawa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang merajalela.
Transparency International mencatat bahwa negara-negara dengan praktik dinasti politik yang kuat cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi.
Di Indonesia, laporan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sering menunjukkan adanya keterlibatan anggota keluarga dalam kasus-kasus korupsi besar.
Ketika kekuasaan terkonsentrasi pada satu kelompok atau keluarga,
mekanisme check and balance menjadi lemah, memungkinkan korupsi tumbuh subur tanpa pengawasan yang memadai.
Sebuah studi dari KPK pada tahun 2020 menunjukkan bahwa dari 1.180 kasus korupsi yang ditangani, sekitar 30 persen melibatkan dinasti politik.
Salah satu contohnya adalah kasus Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten, yang bersama keluarganya terlibat dalam beberapa kasus korupsi, termasuk suap dan penyalahgunaan wewenang.
Atut divonis empat tahun penjara pada 2014 karena terbukti menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, untuk mempengaruhi hasil sengketa Pilkada Lebak.
Stagnasi pembangunan adalah masalah lain yang sering muncul dari dinasti politik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.