Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Intip Keindahan Desa Wisata Dolli Bungaeja, Wisata Andalan Warga Tukamasea Maros

Pasalnya jika mengunjungi tempat ini, Wisata akan dimanjakan dengan pemandangan eksotis hamparan sawah dan pegunungan karst.

Penulis: Nurul Hidayah | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM
Wisata Dolli Bungaeja, Desa Tukamasea, Kecamatan Bantimurung, Maros, dewasa ini menjadi primadona di kalangan wisatawan.   

TRIBUNMAROS.COM, MAROS -  Wisata Dolli Bungaeja, Desa Tukamasea, Kecamatan Bantimurung, Maros, dewasa ini menjadi primadona di kalangan wisatawan.

Pasalnya jika mengunjungi tempat ini, Wisata akan dimanjakan dengan pemandangan eksotis hamparan sawah dan pegunungan karst.

Terletak di Desa Tukamasea, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, wisata ini mulai dirintis sejak 2017 oleh Pemerintah Desa dan Bumdes Karya Bersama.

Kepala Desa Tukamasea, Makmur menjelaskan perencanaan pembangunan Wisata Dolli dimulai sejak tahun 2017.

Namun baru dibangun menggunakan Dana Desa, 2019-2020.

Makmur menjelaskan, mulanya lokasi Kolam Dolli hanya dijadikan tempat pengambilan tanah untuk menahan air ke sawah.

"Awalnya disini adalah tempat pengambilan tanah oleh nenek moyang kami, untuk menahan air, karena dulu kan belum ada semen atau semacamnya," katanya.

Seiring berjalannya waktu, oleh masyarakat setempat, lokasi tersebut diubah menjadi irigasi untuk mengairi sawah.

Pada tahun 2017 muncullah ide untuk membuat tempat wisata.

"Sejak ada dana desa, 2019, muncullah pemikiran untuk membuat tempat wisata oleh pemerintah desa, melihat sumber air dari pegunungan yang melimpah dilokasi ini, kemudian dibuatlah kolam Dolli ini," tambahnya.

Sumber air kolam Wisata Dolli, berasal dari atas pegunungan, sehingga terasa lebih segar, apalagi lokasinya memang berada di kaki gunung.

"Daya tarik dari Wisata Dolli ini adalah pemandangan alamnnya. Kalau hanya kolam kan sudah biasa, tapi disini posisi kolamnya berdampingan langsung dengan gunung dan area persawahan," terangnya.

Selanjutnya, 2023 kembali dilakukan pengembangan dengan menambahkan spot wisata galung atau sawah.

Terdapat sebuah wahana jembatan sepanjang 70 meter yang dibangun di atas sawah dan sangat cocok sebagai latar berfoto.

"Kita kembangkan lagi wisata galung sebagai tempat selfie pengunjung dan Wisata Dolli ini mulai dioperasikan untuk umum pada tahun 2021," terangnya.

Untuk bisa menikmati Wisata Dolli Bungaeja, pengunjung tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam, sebab harga tiket sangat terjangkau.

"Awalnya, sesuai dengan Perdes nomor 8 tahun 2020 tanda masuk karcis untuk dewasa Rp7000 dan anak2 Rp3000.  Namun kebutuhan biaya operasional agak mahal, maka Perdes itu sudah 2 kali perubahan sehingga biaya karcis saat ini untuk dewasa Rp12.000, dan anak-anak Rp.6.000," tutupnya.

Profil Desa Tukamasea

Desa Tukamasea, merupakan desa yang terletak di Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. 

Desa ini berjarak kurang lebih 41 km dari pusat kota Makassar.

Dari data yang berhasil dihimpun Desa Tukamasea memiliki luas wilayah 20,19 km2.

Secara geografis, sebelah utara Desa tukamasea berbatasan langsung dengan Kabupaten Pangkep, di sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Leang-leang, sebelah barat berbatasan dengan Desa Mangeloreng sementara sebelah selatan berbatasan dengan Desa Baruga.

Secara administrastif Desa Tukamasea berdiri dari lima dusun, yakni Bontokappong, Bungaeja, Pajjaiang, Amessangeng, dan Manarang, Desa Tukamasea.

Jumlah penduduk Desa Tukamasea mencapai 4.368 jiwa dan mayoritas berprofesi sebagai petani.

Pembentukan Dessa Tukamasea sarat akan sejarah.

Pada mulanya, Desa Tukamasea ini masuk dalam wilayah kerajaan Bone. Petta Cella adalah tokoh penting dari kerajaan Bone dalam pemberian nama Tukamase.

Petta Cella pernah menguasai Desa Tukamasea (Belum menjadi Desa ketika itu) selama bertahun-tahun. Selama dia berkuasa, orang Belanda tidak pernah berani masuk ke Tukamasea untuk mengganggu dan mengusik ketenangan warga. 

Penamaan Desa Tukamasea berawal dari kunjungan Petta Cella ke kampung Pajjaiang dekat Pannampu. Di sana, Petta Cella melihat Bulu’ Kamase yaitu gunung yang tidak ditumbuhi pepohonan dan tidak hidup satupun binatang di sana. 

Firasat Petta Cella pun mengatakan kelak gunung itu akan ditumbuhi pepohonan dan akan hidup banyak binatang di sana. 

Selanjutnya ia menyampaikan kepada warga yang hadir dalam kunjungan itu bahwa jika Bulu’ Kamase itu sudah ditumbuhi pohon dan ditempati binatang maka daerah ini sudah tidak akan di kuasai oleh orang luar.

Ia pun berharap sesuai arti dari Kamase-ToKamase Kamase yang dalam bahasa Bugis yang berarti Kasih, daerah ini dapat dikasihi oleh tuhan yang maha Esa karena keuletannya bekerja keras untuk merubah kondisi kehidupannya yang sangat sederhana dan serba kekurangan. 

Maka mulailah daerah ini dikenal dengan nama To-kamase atau orang yang dikasihi sang pencipta.

Sejumlah adat istiadat pun dapat ditemukan di Desa Tukamasea ini, seperti Mattoana Tao Riolo.

Mattoana Tao Riolo ini dilakukan sekelompok masyarakat yang menonjolkan karakter orang-orang terdahulu. Seperti penggunaan 

payung, orang-orang terdahulu meyakini bahwa kalangan yang menggunakan payung berasal dari kalangan bangsawan.

Ada pula penggunaan arajang atau alat yang terbuat dari bahan dasar besi yang dahulu orang-orang percayai bahwa alat ini  digunakan oleh para pejuang. 

Tradisi ini sebagai bagian dari rangkaian prosesi pernikahan dan dilakukan saat malam hari.

Kemudian ada pula Mappano Salo. Tradisi ini  dalam bentuk ritual yang dilakukan oleh masyarakat bugis dengan menggunakan walasuji.

Ritual ini dapat ditemukan di Desa Tukamasea. Masyarakat percaya bahwa mappano salo adalah cara untuk menghormati leluhur dengan menurunkan sesajian berupa sokko, manu (ayam), tello (telur). 

Namun kini warga yang masih merawat tradisi Mappano Salo, sudah mulai berkurang.

Kemudian, Mangope Bine/ Mattampu bine  atau proses perendaman bibit padi selama sehari semalam. 

Setelah Mattampi Bine, biasanya akn dilanjutkan dengan tradisi Ma’doja Bine atau berjaga atau begadang di malam hari untuk menunggui rendaman padi sebelum disemai dikeesokan harinya.

Namun, sama seperti tradisi Mappano Salo, Mattampi Bine pun sudah jarang dilakukan oleh warga setempat.

Tak sampai disitu, adat yang masih bertahan hingga kini yakni Ma’baja atau prosesi membersihkan kuburan dari tumbuhan liar yang mengganggu. 

Terakhir Mannampu Ase lolo atau perayaan hasil tani dengan acara besar-besaran yang dilakukan oleh sekelompok Wanita dan pria yang melakukan gerakan menumbuk padi menggunakan lesung (palungeng) dan 

Penumbuk (alu) yang menciptakan irama tertentu, sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan hasil pertanian.

Belakangan ini, Desa Tukamasea mengalami perkembangan yanh cukul pesat.

Berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM), Desa Tukamasea saat ini berstatus sebagai Desa Mandiri.

Artinya Desa Tukamasea memiliki kemampuan melaksanakan pembangunan desa untuk menyejahterakan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya dengan ketahanan sosial, ketahanan ekonomi dan ketahanan ekologi yang berkelanjutan. 

Salah satu transformasi ekonomi desa yang dilakukan adalah mengalokasikan sebagian penggunaan Dana Desa sebagai penyertaan modal bagi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Karya Bersama Tukamasea

Potensi desa di bidang pariwisata, dimanfaatkan dengan mengelola Wisata Kolam Dolli Bungaeja.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved