Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ngobrol Politik Tribun

Hasrullah Nilai Program Bansos Sukses Dongkrak Dukungan untuk Prabowo-Gibran  

Selain itu, cawe-cawe Presiden Jokowi dianggap mempengaruhi dinamika dukungan untuk paslon Capres-Cawapres nomor urut 2.

Penulis: Erlan Saputra | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM
Pakar Politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Hasrullah dalam Podcast Tribun Politik, Senin (22/4/2024).   

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pengamat Politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas) menilai program bantuan sosial (bansos) telah memainkan peran signifikan dalam mendapatkan dukungan masyarakat bagi pasangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024. 

Selain itu, cawe-cawe Presiden Jokowi dianggap mempengaruhi dinamika dukungan untuk paslon Capres-Cawapres nomor urut 2.

Meskipun aturan melarang penggunaan bansos untuk tujuan politik.

Namun, penggunaan bansos pemerintah sebagai alat untuk mendapatkan dukungan publik menjadi realitas yang sulit diabaikan dalam dinamika politik saat ini.

"Kita jangan lupa dengan kelompok-kelompok pragmatis dan marginal dipakai (memenangkan Prabowo-Gibran), makanya bansos itu digunakan," kata Hasrullah dalam Podcast Tribun Politik, Senin (22/4/2024).

Dr Hasrullah berpendapat bahwa dalam dunia politik, terkadang segala cara mungkin terjadi, meskipun tidak selalu etis. 

Namun, pengaruh faktor-faktor seperti program bansos dan koneksi keluarga Jokowi tidak dapat diabaikan dalam mempengaruhi persepsi dan dukungan masyarakat terhadap pasangan Prabowo-Gibran.

Tingkat Pendidikan Masyarakat Rendah, Sehingga Rentan Tergiur Politik Pragmatis

Tingkat pendidikan di masyarakat Indonesia saat ini mengkhawatirkan. 

Harullah menyatakan bahwa sekitar 65 hingga 70 persen dari total populasi memiliki tingkat pendidikan di bawah standar yang diharapkan.

Namun, yang lebih memprihatinkan adalah bahwa hanya sekitar 30 persen dari anak milenial yang memiliki akses dan tingkat pendidikan yang memadai. 

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat rentan terhadap kurangnya kesadaran politik dan pemahaman yang mendalam tentang proses politik yang sehat.

Dia menggarisbawahi dampak dari rendahnya tingkat pendidikan di kalangan masyarakat, terutama dalam konteks politik. 

Menurutnya, hal ini memicu munculnya kecenderungan politik pragmatis yang memanfaatkan ketidaktahuan dan ketidakpahaman masyarakat terhadap isu-isu politik yang sebenarnya.

"Jadi ini sebenarnya kondisi sosial sudah dibangun, sehingga tidak usah terlalu ngotot. Bahwa bagaimana bisa memenangkan itu (Pilpres), saya kira itulah cara orang," katanya.

"Yang namanya panggung politik, ini bukan panggung akademik. Jadi cara-cara yang sifatnya menikung kiri-kanan itu hal biasa," tambahnya.

Lebih jauh, Harullah lantas mengingatkan kepada Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, bahwa politik tidaklah abadi dalam memenangkan pertandingan. 

Dalam pernyataannya, Harullah menegaskan bahwa hubungan politik, sebagaimana yang dialami oleh Jokowi dan Megawati Soekarnoputri, bisa berubah secara tak terduga.

Hubungan politik antara Presiden Joko Widodo dan Ketum PDIP, yang dahulu erat namun akhirnya merenggang. 

Kenyataan ini menggambarkan bahwa politik adalah dinamis dan bisa mengalami perubahan yang signifikan dalam waktu yang relatif singkat.

"Bayangkan, dia dipelihara sejak tahun 2007, tiba-tiba membelot. Jadi kalau saya ditanya siapa yang menang di Pilpres ini, ya tentu Jokowi," tandasnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved