Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pilpres 2024

8 Hakim MK Tangani Sidang Sengketa Pilpres 2024, Intip Profil dan Jejak Kariernya! Ada dari Makassar

Hakim MK tangani sengketa Pilpres 2024 diantaranya Suhartoyo, Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, M Guntur Hamzah.

Editor: Alfian
TRIBUN-TIMUR.COM
Delapan Hakim MK tangani sengketa Pilpres 2024 yakni Ketua MK Suhartoyo, Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh, Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. 

Saldi Isra merupakan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028. Pria kelahiran Solok, Sumatera Barat 20 Agustus 1968 merupakan anak dari pasangan Ismail dan Ratina.

Usai lulus SMA, Saldi sempat memutuskan untuk ingin menjadi teknokrat atau ilmuwan. Namun, impian itu kandas karena dia tidak diterima dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru jurusan geologi Institut Teknologi Bandung pada 1988 dan 1989.

Saldi akhirnya memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu pindah ke Jambi. Pada 1990, Saldi akhirnya menempuh pendidikan sarjananya dengan jurusan ilmu hukum di Universitas Andalas, Padang dan berhasil lulus pada 1994 dengan predikat Summa Cumlaude.

Pada tahun yang sama, Saldi bekerja sebagai dosen di Universitas Bung Hatta hingga Oktober 1995. Kemudian, dia kembali menempuh pendidikannya dan berhasil mendapatkan gelar Master of Public Administration, Universiti Malaya atau Universitas Malaya, Malaysia pada 2009.

Sembari menyelesaikan pendidikannya, Saldi bekerja di Universitas Andalas sebagai dosen. Selanjutnya, dia kembali bersekolah dan mendapatkan gelar doktoral ilmu hukum dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 2009. Setahun kemudian, Saldi diberikan gelar sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas.

Selain menjadi dosen, Saldi menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas. Selain itu, Saldi dikenal aktif menyuarakan anti korupsi dalam tulisan maupun lisan dan sering memberikan keterangan dalam persidangan uji materi sebagai ahli.

Saldi berhasil melaporkan kasus korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat sejak 1999. Atas keberanian tersebut, Saldi diberikan penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award pada 2004 dan Megawati Soekarnoputri Award kategori Pahlawan Muda Pemberantasan Korupsi pada 2012.

Pada 2017, Presiden Joko Widodo melakukan proses seleksi Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2017-2022 secara terbuka dan Saldi memutuskan untuk mendaftarkan diri. Pada seleksi tersebut, Saldi berhasil terpilih dan resmi dilantik pada 11 April 2017.

Pada 15 Maret 2023, Saldi memenangkan pemungutan suara rapat pleno pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK periode 2023-2028 dengan perolehan sebanyak lima suara.

3. Arief Hidayat

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menjadi salah satu hakim yang turut mengambil keputusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim terkait batas usia capres-cawapres minimal 35 tahun dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Seperti diketahui, pada hari ini, Senin (16/10/2023), Mahkamah Konstitusi atau MK membacakan putusan terkait batas usia capres-cawapres tersebut.

Selain Arif Hidayat, delapan hakim Mahkamah Konstitusi atau MK lain yaitu Anwar Usman selaku ketua merangkap anggota, Saldi Isra, Manahan Sitompul, Daniel Yusmic, Enny Urbaningsih, Guntur Hamzah, Suhartoyo, dan Wahiddudin Adams.

Lalu siapakah sebenarnya Arif Hidayat? Melansir laman resmi www.mkri.id, Arif pertama kali dilantik sebagai hakim konstitusi pada 1 April 2013 di Istana Negara oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Arief menggantikan Mahfud Md yang mengakhiri masa jabatan yang telah diembannya sejak 2008.

Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tersebut mengaku tak pernah sekali pun terlintas untuk menjadi hakim MK. Ia mengaku hanya memiliki satu cita-cita, yakni menjadi seorang pengajar.

Arief Hidayat lahir di Semarang, Jawa Tengah pada 3 Pebruari 1956 dan mengenyam pendidikan di kota kelahirannya dari SD sampai SMA. Ia menuntaskan pendidikan Sarjana S1 Fakultas Hukum di Universitas Diponegoro (Undip) pada 1980.

Sepanjang kariernya, Arief fokus di dunia pendidikan dengan tujuan untuk mencerdaskan generasi muda. Tak hanya itu, ia bercita-cita untuk menyebarkan virus-virus penegakan hukum kepada generasi muda.

Arief menamatkan pendidikan S2 di Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Airlangga (Unair) pada 1984 dan S3 di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (Undip) pada 2006.

Arief menikah dengan Tundjung Herning Sitabuana dan sudah dikaruniai 2 anak yaitu Adya Paramita Prabandari dan Airlangga Surya Nagara. Ia juga telah memiliki 3 cucu yaitu Indrasta Alif Yudistira, Diandra Paramita Surya Nagara, dan Darajatun Herjendra Surya Nagara.

4. Enny Nurbaningsih

Enny Nurbaningsih dilantik menjadi hakim MK pada 13 Agustus 2018.

Perempuan kelahiran 27 Juni 1962 ini dipilih sebagai hakim MK secara langsung oleh Presiden Jokowi.

Untuk bisa duduk di level hakim konstitusi, perjuangan Enny Nurbaningsih tentu tak mudah.

Profesor hukum ini mulanya tak berencana menaikan level kariernya ke Mahkamah Konstitusi.

Melansir dari laman resmi Mahkamah Konstitusi RI, Enndy Nurbaningsih mendaftarkan diri menjadi hakim MK berkat dorongan dari teman-temannya.

Ia mencari peluang menjadi 'Srikandi' hukum perempuan yang bisa duduk menjadi hakim konstitusi.

“Waktu itu karena dibuka peluang untuk keterwakilan perempuan, banyak teman-teman yang mendorong saya mendaftar. Jadi, saya mencobanya,” ujar Enny Nurbaningsih.

Sebelumnya, Enny Nurbaningsih menjabat sebagai kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).

Ia menyadari, antara pekerjaannya sekarang dan sebelumnya sangat beda jauh.

Sebagai kepala BPHN, ia dituntut untuk berinteraksi.

Sementara kini, sebagai hakim MK interaksinya pun terbatas.

Ia tak boleh berinteraksi dengan orang yang berperkara.

Enny Nurbaningsih, perempuan hakim MK satu-satunya. (Fabian Januarius Kuwado via Kompas)
Oleh karena itu, ruang komunikasi Enny Nurbaningsih pun semakin sempit.

"Seorang hakim konstitusi tidak boleh berinteraksi dengan orang yang berperkara."

"Semakin banyak orang sekelilingnya yang berperkara di MK berarti mempersempit ruang hakim untuk banyak berhubungan," katanya.

Untuk menjaga independensi dan integritasnya, Enny Nurbaningsih pun bekerja dalam 'kesunyian'.

Ia mengaku, hakim MK hanya berbicara melalui putusan.

“Menjadi hakim konstitusi itu ibaratnya saya berada dalam silent position."

"Hakim konstitusi merupakan satu jabatan yang tidak banyak berbicara keluar dan cukup berbicara lewat putusan, maka ia tidak boleh terpengaruh dan dipengaruhi siapapun,” ujarnya.

Baginya, menjadi hakim MK itu memiliki tantangan berat.

Ia harus bisa menempatkan diri agar bisa terhindar dari konflik kepentingan.

Jejak Enny Nurbaningsih di dunia hukum memang tak bisa diremehkan.

Ia adalah guru besar Ilmu Hukum di perguruan tinggi ternama di Indonesia, Universitas Gadjah Mada (UGM).

Ia memang mengenyam pendidikan hukum di kampus tempatnya mengajar.

Sejak awal, Enny Nurbaningsih memang bercita-cita sebagai guru.

Setelah lulus sarjana hukum, ia pun melanjutkan studinya, sekaligus menjadi dosen.

Saat menjadi dosen di kampus almamaternya, Enny Nurbaningsih mendirikan organisasi di bidang hukum, Parliant Watch.

Organisasi itu bergerak di bidang yang ditekuninya, yakni hukum tata negara.

Tak sendiri, Enny rupanya mendirikan organisasi tersebut temannya yang juga pakar hukum tata negara.

Ia adalah mantan Ketua MK Mahfud MD.

“Pada masa reformasi itu, melalui diskusi-diskusi, kala itu kami merasa dibutuhkan organisasi yang berfungsi sebagai watch dog parlemen,” katanya.

Kemudian, kariernya pun semakin moncer dan tepercaya berkat pendalaman ilmu hukum perundang-undangan dan konstitusi.

Ia bahkan terlibat dalam penataan regulasi di Indonesia.

Mulai dari tingkat daerah hingga nasional.

Sejak saat itu, ia kerap menjadi narasumber sebagai staf ahli.

Dari situ pula, keahliannya di bidang hukum kemudian mengantarnya duduk sebagai kepala BPHN.

5. Daniel Yusmic P Foekh

Dr. Daniel Yusmic FoEkh menjadi putra Nusa Tenggara Timur (NTT) pertama yang menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Dia menjadi hakim MK periode 2020-2025, menggantikan posisi I Dewa Gede Palguna. 

Sebelumnya, dari delapan kandidat yang mengikuti seleksi, Daniel Yusmic FoEkh bersama dua orang lainnya dinyatakan lolos seleksi, yaitu Supardan Marzuki, dan Ida Budhiati. Daniel Yusmic menjadi hakim MK mewakili unsur pemerintah/eksekutif.

Dr. Daniel Yusmic Pancastaki FoEkh lahir di Kupang, NTT, 15 Desember 1964. Daniel merupakan putra ke-5 dari tujuh bersaudara. Ia lahir dari pasangan Esau Foekh dan Yohana Foekh-Mozes.

Daniel menikah dengan Sumiaty. Pasangan ini mempunyai tiga orang anak yaitu Refindie Micatie Esanie FoEkh, Franklyn Putera Natal FoEkh, dan Abram Figust Olimpiano FoEkh.

Daniel Yusmic mengeyam pendidikan SD GMIT 2 di Kabupaten Kefamenanu pada 1970. Kemudian melanjutkan studi SMP Negeri II Kupang hingga lulus SMA Negeri 1 Kupang pada tahun 1985.

Pada tahun 1985, Daniel Yusmic kemudian mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) untuk pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Universitas Nusa Cendana (Undana), Kupang. Pada saat itu, Daniel Yusmic memilih jurusan hukum dan lulus pada tahun 1990. Sejak mahasiswa di Undana, ia pun tercatat aktif sebagai anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Kupang.

Usai lulus dari Undana,1990, ia mengungkapkan niatnya untuk mengikuti tes wartawan profesional pada 1991 di Yogyakarta. Namun, ia tidak lolos dalam tes tersebut.

Kemudian, Daniel Yusmic melanjutkan studi pascasarjana di Universitas Indonesia pada tahun 1995 dan lulus pada 24 Juni 1998. Tidak puas pada tingkat pascasarjana, Daniel Yusmic terus belajar dan kemudian melanjutkan pendidikan hingga meraih gelar doktor (S3) pada tahun 18 Juli 2011 dari Universitas Indonesia. Judul disertasi yang menghantarkan gelar doktornya tersebut adalah “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU): Suatu Kajian dari Perspektif Hukum Tata Negara Normal dan Hukum Tata Negara Darurat”.

Selama menjalani pendidikan, pengajar yang tinggal di daerah Salemba Tengah, Jakarta Pusat, ini dikenal sebagai figur yang cerdas, sangat gemar berorganisasi, namun sederhana dalam kesehariannya. Dia pernah menjadi Ketua Dewan Ambalan Pramuka Gugus Depan 03/04 RRI Kupang (1989-1990), Sekretaris Filateli Cabang Kupang, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). 

Di GMKI, Daniel Yusmic tidak hanya menumpangkan nama, namun terus belajar dan mengikuti pergerakan mahasiswa. Tidak tanggung-tanggung, keaktifan Daniel Yusmic di GMKI menjadikannya sebagai Pengurus Pusat GMKI pada periode 1992-1994 sebagai Wakil Sekretaris Umum dan 1994-1996 sebagai Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan (Kabid AP).

Daniel Yusmic juga pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua DPD Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) DKI Jakarta, Ketua Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo) Cabang Jakarta Pusat, Wakil Ketua Asosiasi Pengajar HTN-HAN DKI Jakarta, Sekretaris Badan Pengurus Perwakilan GMIT (Gereja Masehi Injili Timor) di Jakarta, Ketua Bidang Hubungan Kerjasama Asosiasi Pengajar Mata Kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (APHAMK) DKI Jakarta, dan Pengurus Nasional Perkumpulan Senior (PNPS GMKI).

Pada tahun 2008 di saat gejolak tanah Salemba PGI-GMKI dengan pihak PT. Kencana indotama persada (KIP), Daniel Yusmic juga dipercaya sebagai kuasa hukum GMKI.

Sebelum diangkat menjadi hakim konstitusi, putra NTT ini pernah menjadi dosen di Fakultas Hukum UKI dan dosen tetap di Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta dengan jabatan fungsional sebagai asisten ahli. Selama menjadi dosen di Unika Atma Jaya, beliau pernah dipercaya sebagai wakil dekan fakultas hukum.

Memiliki segudang ilmu tentang hukum, Daniel sering diundang oleh berbagai lembaga dan organisasi sebagai pemateri seminar, focus group discussion, maupun sharing.

Soal cita-cita ke depan, Daniel mengatakan sudah saatnya MK menjadi lembaga yang berhak untuk menilai sesuatu kegentingan dalam undang-undang. Dia menilai saat ini MK tak punya kewenangan seperti itu.

Daniel mengambil contoh sistem hukum negara Belanda yang bisa mengubah dari sistem tata negara subjektif menjadi objektif.

Daniel Yusmic juga menginginkan keterlibatan MK dalam menilai kapan Perppu layak dikeluarkan. Sehingga dengan adanya penilaian MK, maka bisa dijadikan Presiden sebagai rujukan.

6. M Guntur Hamzah

Hakim konstitusi M. Guntur Hamzah dinyatakan melanggar kode etik dan asas integritas karena terbukti mengubah substansi putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022. Majelis Kehormatan (MK) mengganjar sanksi teguran tertulis kepada M. Guntur Hamzah. Seperti apa profil M. Guntur Hamzah?

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menegaskan bahwa Guntur terbukti dan telah mengakui bahwa dirinya yang mengusulkan perubahan frasa “dengan demikian” menjadi “ke depan” dalam putusan tersebut. Guntur mengusulkan hal itu kepada panitera beberapa menit sebelum frasa tersebut dibacakan oleh hakim konstitusi. 

MKMK mengatakan bahwa memang belum ada prosedur baku terkait usulan pengubahan semacam itu. Namun pengusulan frasa yang dilakukan oleh Guntur dianggap fatal. Seiring terungkapnya polemik ini, publik pun penasaran dengan profil M. Guntur Hamzah.

M. Guntur Hamzah lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 8 Januari 1965. Masa kecil Guntur dilalui di tanah kelahirannya. Ia mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD) di Kota Makassar dan lulus pada tahun 1976. Guntur menempuh bangku SMP Irnas di Makassar tahun 1980. Kemudian dia melanjutkan di SMA Negeri 1 Makassar pada 1983. 

Guntur kemudian melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di Jurusan Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Hasanuddin, Makassar. Ia berhasil mendapat gelar Sarjana Hukum tahun 1988. Setelah itu, Guntur mengambil program magister HTN di Universitas Padjajaran, Bandung. Pendidikan S2 ia selesaikan pada tahun 1995. 

Tangga pendidikan M. Guntur Hamzah tak hanya berhenti disitu. Guntur menempuh pendidikan program doktor Ilmu Hukum di Universitas Airlangga, Surabaya. Ia berhasil lulus dengan predikat  Cum Laude pada tahun 2002. Guntur pun menduduki jabatan akademik Guru Besar di bidang Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Unhas sejak Februari 2006. 

Sebelum terjun di dunia hukum atau kehakiman, M. Guntur Hamzah justru memulai karier sebagai akademisi di perguruan tinggi. Guntur pernah menjabat tugas-tugas akademik di Universitas Hasanuddin, seperti Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara (HAN) Fakultas Hukum, Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unhas, Ketua Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana, dan Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Unhas.

Selain berkecimpung di dunia akademik, Guntur juga berkarier di luar kampus. Ia pernah mengemban tugas sebagai Legislative Drafter pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 2003. Pada tahun 2010, Guntur menjadi anggota Tim Ahli Unit Pengelola Reformasi Birokrasi nasional (UPRBN).

Pada tahun 2011-2012, Guntur memegang jabatan sebagai Tenaga Ahli di Direktorat Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri. Selain itu, ia juga menjadi reviewer jurnal, buku ajar, dan penelitian pada Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (DP2M) DIKTI Kementerian Pendidikan Nasional pada 2007-2015. 

Guntur juga pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi (MK). Jabatan lain yang pernah ia emban adalah sebagai Kepala Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara, dan Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi. 

Pada tahun 2015, Guntur diangkat sebagai Sekretaris Jenderal MK. Selama perjalanan kariernya, Guntur pernah menerima beberapa penghargaan. Perhargaan yang ia dapatkan, seperti Satya Lencana Karya Satya pada 17 Agustus 2009 dan Satya Lencana Karya Satya pada 2 Mei 2013. 

7. Ridwan Mansyur

Menurut website Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur adalah putra asli Lahat, Sumatera Selatan yang lahir pada 11 November 1959.

Ridwan Mansyur mengawali kariernya sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bekasi pada tahun 1986. Beliau menjadi hakim resmi di Pengadilan Negeri Muara Enim pada tahun 1989.

Pada tahun 1998 menjadi hakim di Pengadilan Negeri Cibinong. Empat tahun kemudian, Mansyur dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hingga pertengahan tahun 2006.

Pada tahun 2006, beliau dipercaya menjadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri Purwakarta, dan pada tahun berikutnya menjadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri Batam.

Pada tahun 2008, beliau diangkat menjadi Ketua Pengadilan, dan pada tahun 2010 diangkat menjadi Ketua Hakim Pengadilan Negeri Palembang Kelas Khusus IA.

Pada tahun 2012, Mahkamah Agung mengangkat beliau menjadi Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung.

Pada pertengahan tahun 2017, Ridwan Mansyur dipercaya menjabat Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bangka Belitung. Jabatan tersebut dijabatnya hingga akhir tahun 2018.

Ia kemudian dipromosikan menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Semarang pada tahun 2020, dan pada tahun 2021 menjadi Panitera Mahkamah Agung.

8. Arsul Sani

Arsul Sani lahir di Pekalongan, 8 Januari 1964. Sebelum menjabat Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2016-2024, Arsul pernah mengenyam bangku pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 

Wakil Ketua MPR RI 2019-2024 ini dikenal hobi berorganisasi. Terbukti sejak di bangku kuliah, Arsul Sani pernah menjabat Ketua Komisariat HMI Fakultas Hukum UI  tahun 1985 dan Sekretaris Umum Korkom UI 1986-1987. 

Seakan tidak puas menyandang magister komunikasi di STIKOM pada 2007, Arsul kemudian melanjutkan pendidikan ke School of Law & Legal Practice, University of Technology, Sydney-Australia; Glasgow School of Business & Society; dan Glasgow Caledonian University di tahun 2011.

Kemudian pada Pemilu 2019, Arsul kembali terpilih sebagai Anggota DPR. Dia duduk di Komisi III. Pada Pemilu 2024 ini, Arsul sempat menjadi bakal calon legislatif PPP untuk daerah pemilihan Jawa Tengah 10. Namun, ia mengundurkan diri karena terpilih menjadi calon hakim konstitusi.

Arsul Sani terpilih sebagai hakim konstitusi berdasarkan hasil uji kelayakan dan kepatutan yang digelar di Komisi III DPR, yang kemudian disahkan lewat rapat paripurna. Awalnya, ada tujuh calon hakim yang dilakukan fit and proper test. Adapun nama Arsul keluar sebagai usulan DPR menjadi hakim konstitusi. Arsul Sani mengatakan sudah mengundurkan diri sebagai calon anggota legislatif dari PPP.(*)


 
 

 

(*)

 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Delapan Hakim MK Tangani Sidang PHPU Presiden, Besok, https://www.tribunnews.com/mata-lokal-memilih/2024/03/26/delapan-hakim-mk-tangani-sidang-phpu-presiden-besok.

Editor: Malvyandie Haryadi

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved