Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Hak Angket, Pemberontakan Setengah Hati

Para penggiat hak angket di DPR, data dan faktanya sudah ada di penegak hukum dan dengan gampang akan dibuka jika dianggap membahayakan.

Editor: Sudirman
Tribun Timur
Amir Muhiddin Dosen Fisip Unismuh dan Sekretaris Devisi Politik Pemerintahan ICMI Sulsel 

Oleh: Amir Muhiddin

Dosen Fisip Unismuh Makassar / Sekretaris Devisi Politik Pemerintahan ICMI Sul-Sel

Apa kabar hak angket ? itu pertanyaan yang saat ini sedang ditungu-tunggu jawabannya oleh masyarakat, namun demikian, jika melihat fenomena yang terjadi di DPR, nampaknya akan layu sebelum berkembang.

Seperti itu yang dikemukakan oleh sahabat saya Aswar Hasan di kolom opini Tribun Timur (13/4/2024).

Kenapa demikian ?, salah satu penyebabnya karena banyak diantara mereka sedang tersandra oleh kasus hukum .

Para penggiat hak angket di DPR, data dan faktanya sudah ada di penegak hukum dan dengan gampang akan dibuka jika dianggap membahayakan.

Disinilah masalah utamanya sebab penggiat hak angket nyaris punya salah dan dosa.

Sehingga rasa takut lebih besar dibanding keinginan untuk menggunakan hak angket mengusut dugaan kecurangan pemilu tahun 2024.

Maksud hati ingin memeluk gunung namun apa daya tangan tak sampai, ini mirip apa yang digambarkan oleh Barbara Silars Harvey (1984). Permesta : “Pemberontakan Setengah Hati”.

Ganjar Pranowo adalah salah seorang yang pertama kali menggelindingkan hak angket.

Calon Presiden nomor urut 3 ini malah sedang dilaporkan ke KPK atas dugaan penerimaan gratifikasi, dan kasus ini akan menggelinding terus jika upaya hak angket terus dipermasalahkan.

Secara kelembagaan, di tubuh PDIP sendiri yang merasa sangat sakit hati, juga mengalami resistensi politik sebab tidak sedikit diantara kadernya diselimuti oleh kasus korupsi, selama ini belum diungkap.

Tetapi jika mereka macam-macam, maka akan dibuka kasusnya dan akan diseret ke lembaga peradilan.

Adakah diantara mereka yang mau berurusan dengan hukum ?, tentu saja tidak ada, oleh sebab itu hak angket adalah ilusi dan disebut oleh Dr. Muhammad Al Hamid tidak akan mungkin bergulir di DPR.

Mantan Ketua Bawaslu RI dan DKPP ini sebagaimana diungkap oleh Aswar Hasan, bahwa sangat muda untuk menggoda dan merebut anggota DPR RI yang semula Pro pada hak angkep menjadi akhirnya tidak mendukungnya.

Apa yang diungkap oleh Guru Besar Fisip Unhas ini mengandung makna bahwa anggota DPR sebagian tidak punya kekuatan untuk menggunakan haknya karena mereka juga tidak bersih dan tentu sangat gampang di seret ke pengadilan.

Bagaimana sikap Megawati Soekarnoputri, menurut Mahfud MD, Ibu Mega enggan terburu-buru mengambil keputusan soal desakan mendukung wacana hak angket terkait pilpres 2024.

Menurutnya Ibu Mega masih mempertimbangkan berbagai hal sebelum mengambil keputusan, bulan oktober nanti mungkin ada banyak dinamika sehingga tidak mau terburu-buru, bukan tidak mau bersikap, kata Mahfud kepada awak media saat mengunjungi kediaman Budayawan Butet Kartaredjasa di Bantul Jogyakarta senin 11/3/2024 seperti dikutip dari kanal YouTube Kompas.com.

Sikap Megawati ini tentu saja bisa dimaknai bahwa beliau juga sangat hati-hati terkait dengan hak angket.

Padahal Ibu Mega sangat diharapkan menentukan sikap sebab suara PDIP di DPR besar dan tentu punya bargaining position yang kuat, mendongkrat hak angket yang kelihatan sedang layu.

Apa yang dialami oleh Ganjar dan PDIP, itu juga terjadi pada diri Muhaimin Iskandar dan PKB. Seperti diketahui bahwa pasangan wakil presiden nomor urut satu ini juga sedang dililit masalah hukum.

Ia telah diperiksa, bahkan pernah disebut-sebut telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 14 Oktober 2023 atas dugaaan kasus korupsi sistem perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri Tahun 2012 saat dirinya menjadi menteri tenaga kerja dan transmigrasi.

Fenomena yang terjadi di DPR, khususnya terkait dengan hak angket mengajarkan kepada kita bahwa menegakkan demokrasi memang sulit sebab ternyata demokrasi, khususnya pelaksanaan check and balances yang selama ini ingin dibangun, hanya bisa dilakukan jika ada keseimbangan kekuatan (balance of power) antara eksekutif dan legislatif.

Nampak dalam kasus hak angket memperlihatkan betapa lemahnya kekuatan legislatif.

Bahkan bukan saja terjadi dalam kasus hak angket, pada kasus-kasus lain pun demikian halnya.

Perhatikanlah perilaku Jokowi yang seenaknya dan semau-maunya, ikut serta dan cawe-cawe dalam pemilu Tahun 2024.

Memanfaatkan mahkamah konstitusi untuk melicinkan anaknya untuk menjadi wakil presiden mendampingi Prabowo, memberi akses atas perubahan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait dengan usia calon presiden.

Memberi akses bagi keluarga dan menantunya untuk menjadi walikota dan ke depan menjadi gubernur dan beberapa hari terakhir tersiar lagi berita dimana istri Kaesang Erina Gudono akan dicalonkan menjadi Bupati Sleman.

Fenomena seperti ini tentu saja tidak bisa berlangsung terus menerus, diperlukan upaya untuk mencegah agar demokrasi benar-benar ditegakkan, pemilu benar-benar dilaksanakan dengan jujur dan adil serta bermartabat.

Cukuplah orde baru menjadi pembelajaran bagi kita bahwa presiden yang menguasai semua cabang-cabang dan sumber kekuasaan tidak sejalan dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Oleh sebab itu DPR sebagai lembaga legislatif perlu diendors dan dikembalikan marwah dan pada posisinya sebagai wakil rakyat yang berfungsi membuat Undang-undang, merancang anggaran dan mengawasi pemerintah.

Jangan sebaliknya DPR menjadi wakil dan suara presiden, lembaga yang dikontrol presiden dan lembaga yang melegitimasi berbagai kepentingan presiden termasuk yang bertentangan dengan undang-undang.

Kalau presiden manjadi sangat dominan dan sebaliknya DPR menjadi sangat lemah, maka pemerintah akan menjadi sewenang-wenang dan fenomena inilah yang terjadi sekarang.

Kenapa terjadi demikian sebab DPR sendiri sebagian tersandra dengan kasus-kasus korupsi, oleh sebab itu sulit kiranya bahwa hak angket akan terlaksana.

Ini artinya DPR ingin memberontak tetapai tidak punya kekuatan, maksud hati ingin memeluk gunung namun apa daya tangan tak sampai. Kalau demikian halnya maka inilah yang disebut “Pemberontakan setengah Hati”.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Rakyat Terluka

 

Firasat Demokrasi

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved