Opini
Puasa dan Pendidikan Karakter
Bahkan merata di semua jenjang pendidikan mulai tingkat dasar hingga pendidikan tinggi tidak lepas dari fenomena bullying ini
Oleh: Tolawati Ummu Athiyah
Pemerhati Masalah Sosial, Makassar
KASUS perundungan di institusi pendidikan masih saja terus terjadi.
Bahkan merata di semua jenjang pendidikan mulai tingkat dasar hingga pendidikan tinggi tidak lepas dari fenomena
bullying ini.
Dengan beragam jenis kasus, mulai perundungan verbal, penghinaan, body shiming, pemaksaan, pelecehan, kekerasan dan penganiayaan, bahkan diantaranya menelan korban jiwa.
Mirisnya lagi, lembaga pendidikan yang berbasis agama seperti pesantren atau madrasah pun tidak luput dari aksi-aksi oknum pelajar tidak beradab ini.
Hal ini patut dipertanyakan karena tidak sedikit upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini pihak kemendikbud, dengan meramu kebijakan dan kurikulum pendidikan yang diharapkan mencetak generasi yang unggul dan berkarakter.
Bahkan Presiden Joko Widodo pernah mencanangkan Gerakan Nasional Revolusi Mental yang menjadi dasar lahirnya Perpres
Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Namun, kebijakan-kebijakan yang digagas berbanding lurus dengan banyaknya kasus kejahatan yang melibatkan pelajar.
Jadi tidak bisa dibantah jika banyak pihak berpendapat bahwa output pendidikan kita, terutama menyangkut etika, moral, dan akhlak berada pada level sangat rendah.
Seolah dunia pendidikan hanya berorientasi pada kecerdasan akademik tanpa memberi pengaruh pada kepribadian peserta
didik secara utuh.
Padahal setiap satuan pendidikan berkewajiban untuk membentuk karakter peserta didik di sekolah masing-masing.
Dampak Sekularisasi Pendidikan
Jika ditelaah, maka akan didapati bahwa salah satu penyebab dari dekadensi moral pelajar adalah kurikulum pendidikan yang disusun berdasarkan asas sekularisme, yaitu memisahkan agama dari semua aspek kehidupan masyarakat termasuk dalam aspek pendidikan.
Akhirnya peserta didik jauh dari agama.
Meskipun ada mata pelajaran agama, tapi metode pengajaran yang sebatas transfer ilmu dan teoritis membuat anak didik tidak paham ajaran agamanya, tidak membekas, apalagi terdorong untuk mengamalkan.
Sekularisme ini juga melahirkan ide kebebasan. Kebebasan berbicara dan bertingkah laku menjadikan remaja berbuat sekehendak hatinya, memenuhi keinginannya dengan cara apa saja, mencari kepuasan meski merugikan orang lain.
Tanpa tuntunan agama yang mengarahkan, remaja cenderung meluapkan emosinya ke arah negatif.
Senggol sedikit, tersinggung, marah, dan akhirnya melakukan tindak kekerasan.
Maraknya kekerasan di kalangan remaja juga dipengaruhi oleh massifnya tontonan yang menyuguhkan budaya kekerasan.
Sedikit banyak apa yang mereka lihat melalui film, game, internet, sosial media, dsb., lambat laun mempengaruhi pemikiran dan tertarik untuk menirunya.
Dari begitu banyaknya persoalan yang menjerat remaja dan ketidakmampuan sistem pendidikan hari ini dalam mengatasi masalah yang ada, maka dibutuhkan evaluasi mendasar terhadap solusi-solusi pragmatis yang selama ini dijalankan
Sekularisasi pendidikan ternyata tidak mampu menjawab tantangan zaman.
Tidak akan lahir darinya generasi unggul dan berkarakter. Yang dominan muncul generasi yang bobrok.
Bukan generasi pemimpin tapi generasi yang diperbudak hawa nafsunya.
Sudah saatnya kita meninggalkan sistem pendidikan sekuler.
Beralih ke sistem pendidikan Islam.
Karena kurikulum pendidikan Islam dibangun diatas akidah Islam yang terpancar dari wahyu.
Setiap manusia yang berpegang teguh kepada tuntunan agama, pasti hidupnya akan terarah.
Memetik Hikmah dari Puasa
Alhamdulillah, kita akan memasuki bulan Ramadan. Bulan mulia penuh berkah.
Bulan yang diwajibkan berpuasa di dalamnya. Ramadan merupakan momentum terbaik untuk melakukan perubahan diri menjadi hamba yang lebih baik.
Pelaksanaan ibadah puasa dalam bulan ini bisa menjadai ajang latihan untuk konsisten melakukan kebaikan dan menghindari keburukan.
Allah SWT berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan pada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).
Dalam ayat ini Allah SWT menyebutkan hikmah disyari’atkannya puasa yaitu agar kita bertakwa.
Takwa ini akan terbentuk dari ketaatan. Di dalam bulan Ramadan, kita berpuasa sebagai wujud ketaatan.
Tidak makan, minum, dan berhubungan suami-istri pada siang hari, serta hal lain yang bisa membatalkan puasa karena taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Begitu pula orang yang berpuasa melatih dirinya untuk semakin dekat pada Allah.
Ia mengekang hawa nafsunya padahal ia bisa saja menikmati berbagai macam kenikmatan tanpa diketahui
orang lain.
Ia tinggalkan semua itu karena ia tahu bahwa Allah selalu mengawasinya.
Remaja muslim tentu lebih bisa mengendalikan emosinya ketika puasa sehingga terhindar dari perbuatan kekerasan atau tindakan merugikan orang lain.
Orang yang berpuasa juga akan berusaha mengisi waktunya dengan amal salih dan menjauhkan diri dari perkara yang sia-sia.
Sehingga di akhir Ramadan nanti akan terbangun karakter takwa dalam diri setiap muslim.
Untuk menjaga keimanan dan ketakwaan tetap terjaga. Agar bukan cuman dalam Ramadan ia taat, tapi berkelanjutan hingga sepanjang hidupnya.
Maka dibutuhkan support sistem, yaitu penerapan Islam secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan.
Karena Islam merupakan aturan hidup yang sempurna.
Sistem pendidikan Islam menjadikan Islam sebagai landasan membuat kebijakan pendidikan.
Dari landasan itu, lahirlah kurikulum Islam. Tujuannya membentuk anak didik berkepribadian Islam, yaitu punya pola pikir dan pola sikap islami.
Menjadikan hukum syara sebagai standar berperilaku.
Sehingga mereka akan memahami mana yang benar dan salah. Maka akan lahir generasi berkualitas, yang bukan saja menguasai iptek tapi juga berakhlak mulia. Wallahu a’lam bisshawab.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.