Opini
Oposisi dalam Bingkai Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Sekaligus mengungguli kedua rival politiknya Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Dr Abror Bahari, MA
Komisi Fatwa MUI Kabupaten Bulukumba
RAKYAT Indonesia telah melaksanakan hajatan demokrasi lima tahunan, pemilihan umum (pemilu) legislatif dan presiden pada Rabu (14/2/2024).
Hasil hitung cepat versi quick count sudah dirilis dan menunjukkan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenangnya.
Sekaligus mengungguli kedua rival politiknya Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo - Mahfud MD.
Tetapi publik masih harus bersabar menanti siapa pemimpin baru Indonesia setidaknya hingga pengumuman real count resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Partai koalisi pengusung paslon capres yang menang dipastikan akan bergabung dan membentuk koalisi pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Sementara paslon yang kalah beserta partai-partai pendukungnya biasanya akan berada di luar pemerintahan sebagai oposisi.
Secara leksikal kata oposisi diserap dari kosakata bahasa Inggris opposition yang berasal dari bahasa Latin oppositus, opponere, yang artinya: membantah, menyanggah, menentang.
Bahasa Arabnya disebut dengan ‘al-Mu’āradhah”. Dalam lanskap politik praktis, oposisi mengalami penyempitan makna menjadi kubu partai yang tidak berkoalisi dengan penguasa, atau yang bersebrangan dengan pemerintah, mempunyai pandangan berlawanan dengan garis kebijakan partai atau kelompok yang sedang berkuasa.
Oposisi Sebagai Check and Balance
Salah satu indikator yang paling nyata bahwa suatu Negara (state) telah mengalami fase pendewasaan demokrasi adalah adanya kontrol dan keseimbangan atas kekuasaan.
Sayangnya, ruang kontrol dan keseimbangan periode kedua pemerintahan Joko Widodo selama lima tahun ini menjadi tantangan tersendiri dengan merapatnya partai Gerindra yang ditandai dengan kehadiran Prabowo Subianto dan Edy Prabowo ke Istana sebagai menteri Kabinet Jokowi – Ma’ruf Amien.
Inilah yang kemudian disitir oleh salah satu paslon sebagai tidak tahan beroposisi. Akhirnya kontrol dan keseimbangan kekuasaan di dalam legislatif (parlemen) hanya bisa diwujudkan dalam keseimbangan kontrol terhadap eksekutif oleh partai-partai di parlemen yang menyisakan PKS dan Partai Demokrat.
Sistem presidensialisme multipartai, memang nyaris tidak ada batas-batas atau sekat politik yang begitu tegas antara mana koalisi pemerintah dan mana oposisi.
Perbedaan arah politik antarpartai sebenarnya hanya terjadi saat kampanye pemilu saja.
Namun, setelah pemilu selesai, biasanya partai-partai yang berseberangan berlomba-lomba untuk loncat ke koalisi partai pemenang dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Negara demokrasi presidensial memang tidak secara tegas mengatur tentang partai oposisi.
Namun bagaimanapun juga, dalam sistem pemerintahan membutuhkan institusi (baca partai) yang menjalankan fungsinya sebagai check and balances untuk memastikan bahwa demokrasi tetap on the track.
Di negeri ini, oposisi dipahami sebagai instrumen politik yang selalu mengedepankan konsep demokrasi dan juga implementasi sikap kritis pada pemerintah.
Menurut Richard M.Ketchum (2004), sistem politik demokrasi secara ideal ialah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan consensus.
Artinya, demokrasi memungkinkan perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan diantara individu, kelompok dan pemerintah, bahkan di antara lembaga-lembaga pemerintah.
Kehadiran partai oposisi di negara Indonesia dibutuhkan, untuk menjawab tantangan-tantangan yang selalu lahir dari rezim yang berkuasa yang pada endingnya dapat mengorbankan rakyatnya sendiri.
Sebab, tanpa pengawasan secara maksimal, maka kerja-kerja oligarki yang koruptif akan merangsek masuk ke dalam kabinet untuk mengintervensi pemerintah, sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan selalu pada garis ketidakpastian dan tidak pro rakyat.
Oposisi adalah alternatif dari dinamika demokrasi di Indonesia.
Artinya keberlangsungan demokrasi butuh pengimbangan yang kokoh untuk selalu memberikan kritikan-kritikan yang konstruktif kepadanya.
Oposisi sangat penting untuk membangun politik madani. Sistem politik madani adalah sistem politik yang civillized, berperadaban.
Dalam aktualisasinya mencakup sistem politik demokrasi berdasarkan check and balance antara negara dan masyarakat, berkeadilan dan berstandar pada kepatuhan serta taat kepada hukum.
Realitas Oposisi dalam Sejarah Politik Islam dalam Kerangka Ma;ruf Nahi Munkar
Oposisi dalam pemikiran dan tradisi politik Islam merupakan suatu istilah yang hampir dipastikan tidak ditemukan dalam kamus politik Islam, sejak zaman klasik hingga abad pertengahan.
Tapi pemikiran itu baru muncul dalam peristilahan politik negara-negara Muslim dalam masa modern. Implikasinya, terjadi dialektika sengit seputar eksistensi opisisi dalam Islam.
Antara kalangan yang mengharamkannya karena menganggap bahwa nilai-nilai oposisi adalah sebentuk subversifitas yang berujung pada bughat (makar), dan kalangan yang membolehkannya dengan argumen bahwa oposisi adalah bagian dari kerangka wa tawāsau bi al hāq (saling mengingatkan dalam kebaikan) yang merupakan taklīf syar’i (kewajiban agama).
Meskipun dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata yang bermakna oposisi, namun menurut hemat penulis secara konseptual; makna oposisi dapat dijumpai pada ayat-ayat yang berhubungan dengan amar makruf dan nahi munkar sebab fungsi oposisi pada hakekatnya melaksanakan amar makruf nahi munkar yang merupakan kewajiban muslim.
Dasar pijakan tersebut terdapat dalam firman Allah misalnya Q.S. Ali Imran:110,“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa tanpa terciptanya semangat amar makruf dan nahi munkar mustahil mewujudkan masyarakat yang ideal baldatun thayyibatun wa rabun ghafūr.
Oleh sebab itu, Nabi senantiasa memperingatkan umatnya untuk tidak melegitimasi kemungkaran, bahkan beliau mendorong umat Islam untuk berdiri di garda terdepan dalam perjuangan menentang segala bentuk kedzaliman dan menjadikannya sebagai salah satu bentuk jihad.
Hal tersebut dapat dipahami melalui haditsnya: "Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang dhalim,” (HR. Ibnu Majah).
Secara historis dalam sejarah politik Islam khlifah Umar bin Khattab yang terkenal berani dan tegas itu adalah pelopor gerakan oposisi terhadap pemerintah dalam mengawasi jalannya roda pemerintahan, mengevaluasi dan meluruskannya.
Dalam pidato pengangkatannya yang sangat fenomenal setelah dibai'at dia berkata: “Wahai rakyatku! Siapa di antara kalian yang mendapatkan saya berada di jalan yang tidak benar maka luruskanlah saya”.
Dalam Buku Oposisi Islam (2003), Neven Abdul Khaliq juga menyebutkan bahwa tabi’in Imam Abu Hanifah dapat dianggap sebagai “imam kebebasan berpendapat”.
Corak yang tampak jelas dari mazhab fikih Hanafi pun adalah menghormati kebebasan pribadi dan menyeimbangkan hubungan antara individu dan masyarakat.
Meski oposisi itu adalah sesuatu yang legitimate dalam Islam tetapi dengan catatan oposisi itu haruslah oposisi yang loyal (loyal opposition), konstruktif dan reformatif. (Fahmi Huwaidi Al-Islām wa al-Dimoqrāthiyah, 1996).
Sebagai benang merah dari paparan tentang oposisi di atas, demi kualitas demokrasi yang tetap dinamis dan sehat kita berharap partai-partai yang usunganya kalah bisa tetap konsisten sebagai oposan.
Benefitnya juga, jika terjadi konsistensi sikap partai oposisi di luar koalisi pemerintah akan berpotensi merebut simpati dari para pendukung pasangan Capres-Cawapres Periode 2029.
Belajar dari pengalaman PDI Perjuangan yang konsisten berada di luar koalisi pemerintah dan mengambil sikap oposisi terhadap Pemerintahan SBY tahun 2004-2009 dan 2009-2014, berbuah simpati dan dukungan pemilih yang signifikan pada kontestasi pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2014 dan 2019.
Rentang waktu menuju Pemilu 2029 bisa dimanfaatkan oleh partai oposisi untuk fokus menyiapkan figur alternative konstestasi pilpres, tanpa terbebani dinamika dan evaluasi terhadap kinerja kabinet dan pemerintahan.
Terlebih untuk partai-partai baru yang memiliki modal social figure, yang sangat kritis dan lebih kental dengan gaya politisi oposan. Oposisi dahulu berkuasa kemudian.
Tak perlu berebut menjadi bagian dari koalisi karena tergiur dengan “kue” kekuasaan.
Dari sisi etika demokrasi, politik oposisi dapat disebut sebagai kegiatan parlementarian yang tidak kalah terhormatnya, dalam tangga demokrasi dia mampu menempati ukuran tertinggi sebab mampu mencegah adanya ancaman mayoritarianisme.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.