Opini
Ilmu, Sains, dan Filsafat
Bahkan ada yang lebih ekstrem, menganggap filsafat sebagai barang haram, dan harus ditalak tiga.
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA
Dosen UNIMEN, Pengampu Mata Kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan
Problematika dalam memandang ilmu masih menjadi bagian dari masalah mendasar yang sedang menimpa umat Islam.
Perdebatan penggunaan istilah-istilah mendasar sebagai kata kunci masih sering membingungkan, mulai dari pelajar pemula, akademisi, hingga para ulama dan ahli sering kebingungan dalam menggunakan terminologi ‘ilmu, sains, dan filsafat’.
Bahkan ada yang lebih ekstrem, menganggap filsafat sebagai barang haram, dan harus ditalak tiga.
Padahal mata kuliah filsafat menjadi mata kuliah wajib pada setiap sekolah pascasarjana, khususnya konsentrasi dalam studi-studi ilmu agama Islam (islamic studies).
Untuk itu, perlu penjelasan lebih kongkrit, lugas, dan mudah dipahami apa yang dimaksud dengan ‘ilmu, sains, dan filsafat’ dalam perspektif islamic worldview.
Agar dapat memahami perbedaan antara ilmu, sains, dan filsafat maka pada bagian ini saya mencoba menguraikan contoh keterkaitan ketiga kata kunci yang sering membingunkan kita.
Dimulai dengan mengoreksi makna kata “ilmu” yang berasal dari bahasa Arab, diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB) sebagai “pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang [pengetahuan] itu; pengetahuan atau kepandaian [tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya].
Dari dua definisi itu, yang pertama menunjukkan bahwa ilmu artinya sains, defenisi kedua lebih membingungkan karena sangat umum, sebab mencakup segenap ilmu pengetahuan dari dunia hingga akhirat, semua yang diketahui manusia dari lahir hingga liang kubur.
Sebenarnya, jika ingin lebih sederhana kata “ilmu” tidak perlu diartikan sebagaimana dalam KBBI, cukup dipahami bahwa ilmu adalah ilmu syar’i yang bersumber dari wahyu dan menjadi dasar dalam beragama. Itulah ilmu yang dimaksud ilmu.
Definisi ini juga digunakan di Malaysia. Ada pun pengetahuan yang bersifat empiris, itulah sains.
Contohnya, seseorang jika ingin mengetahui jika ia menanam durian, kira-kira apa buahnya.
Ia pun lalu menanam bibit durian, dan beberapa tahun kemudian pohon durian itu berbuah durian, maka ia pun memiliki pengetahuan bahwa jika durian ditanam akan berbuah durian.
Karena orang tadi menanam beberapa bibit durian di kebunnya yang sebagian tanahnya subur sebagian lagi tandus.
Maka ia dapat melihat bahwa bibit durian jika ditanam di tanah subur akan besar dan banyak buahnya sementara bibit yang ditanam di tanah yang kering dan tandus buahnya kecil dan sedikit.
Dari fakta-fakta tersebut muncul logika yang bisa menjelaskan fenomena tersebut secara logis, karena logis itulah sehingga disebut sains.
Dalam bentuknya yang baku sains memiliki paradigma dan metode tertentu, dikenal dengan scientific paradigm, metodenya disebut scientific method.
Yang dimaksud dengan paradigma sains adalah cara pandang sains dan yang dimaksud dengan metode sains adalah metode yang mengandalkan logika dan bukti empiris.
Metode sains mengatakan, ‘bila benar, buktikan bahwa logis serta tunjukkan bukti empirisnya’ (Ahmad Tafsir, 2013: 9).
Terdapat lagi lanjutan pengetahuan sains, yaitu pengetahuan jenis kedua yang akan kita sebut sebagai filsafat.
Mari kita mulai dengan kembali pada cerita ‘pohon durian’.
Biji atau bibit durian jika ditanam, lalu tumbuh juga akan berbuah durian, ini adalah pengetahuan sains.
Lalu muncul pertanyaan, Mengapa kalau durian ditanam akan berbuah durian, kenapa tidak berbuah kelapa?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu tidak mudah sebab sulit dibuktikan secara langsung.
Namun, dengan cara berpikir dan berpikir, yang dipikir memang durian tapi bukan lagi durian yang empiris di depan mata, tetapi yang ada dalam pikiran adalah durian yang abstrak.
Dan kita dapat menemukan jawaban bahwa durian jika ditanam akan berbuah durian sebab di sana ada hukum yang mengatur bahwa durian akan berbuah durian, dan para ahli sains menyebutnya, gen.
Hukum itu tidak dapat dilihat, tidak empiris, namun akal yakin bahwa hukum itu ada.
Nah, pengetahuan ini yang disebut sebagai filsafat, kebenarannya hanya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Walaupun sains dan filsafat sering sekali kerjar-mengejar, sebab kemarin ‘teori gen durian’ masih disebut filsafat sebab belum bisa dibuktikan secara faktual, masih tersimpan dalam pikiran.
Namun hari ini, berubah menjadi sains sebab dapat dibuktikan melalui penelitian di laboratorium, dan lebih spesifik lagi, para saintis telah menciptkan pengetahuan baru yang disebut ‘genetika’ lalu berkembang menjadi rekayasa genetik.
Dan bagi sainstis, tidak mustahil gen durian dikawinkan dengan gen kelapa sehingga melahirkan buah kombinasi antara durian dan kelapa. Sekali lagi, jika filsafat dapat dibuktikan secara empiris maka ia berevolusi menjadi sains.
Jadi posisi filsafat di sini merupakan pengetahuan untuk mendorong seseorang berpikir radikal—radix artinya akar—berpikir radikal artinya berpikir sampai pada akar sebuah masalah.
Mendalam sampai pengembara ke luar sesuatu yang fisik dan seringkali disebut sebagai metafisik, (Suriasumantri, 2005; Musa Asy’arie, 2001: 3).
Pengembaraan filsafat melewati batas-batas penginderaan manusia sebagai contoh durian tadi, matanya melihat pohon durian tapi pikirannya mengembara pada alam asal-muasal durian.
Jadi berfilsafat tidak untuk menjawab persoalan teknik seperti ‘tata cara memasak kolak durian’ tetapi bertanya ‘kenapa jika durian ditanam menghasilkan buah durian, bukan buah kelapa?
Ternyata jawabannya, di sana ada hukum yang mengatur, itulah gen. Dari pengetahuan filsafat tersebut dapat kita lanjutkan pertanyaan.
Lalu, siapa yang membuat hukum itu? Jawabannya, yang membuat hukum itulah yang maha mengetahui, ilmunya meliputi sebagala sesuatu, Dia adalah Allah.
Namun untuk mengetahui dzat Allah dan sifat-sifat-Nya, cara mengetahui tata cara beribadah pada-Nya, bagaimana mengetahui kebesaran ciptaan-Nya, dan sebagainya sangat membutuhkan pengetahuan, dan itulah yang disebut dengan ilmu, atau disebut juga ilmu syar’i dan ilmu wahyu.
Di Malaysia ilmu-ilmu wahyu diterjemahkan dengan ‘revelation knowledge’, sedangkan dalam konferensi pendidikan Islam di Islamabad 1980 menyebut ‘revealed or perennial knowledge’, isinya terkait dengan ilmu agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an maupun al-hadis, diajarkan pada tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Ilmu wahyu dalam pandangan umat Islam memiliki nilai kebenaran yang mutlak al-haqīqah al-muthlaqah karena langsung berasal dari Allah dan Rasul-Nya.
Tetapi pemahaman terhadap wahyu memungkinkan beberapa alternatif dan tidak bersifat mutlak.
Sedangkan sains yang bersumber dari alam semesta memiliki nilai kebenaran yang nisbi atau relative dan eksperimentatif (tajrībī) yang disebut juga sebagai al-haqīqah al-tajrībiyah.
Kebenaran mutlak harus dijadikan burhān sebagai alat untuk mengukur kebenaran yang nisbi, dan jangan sampai terbalik, justru kebenaran yang mutlak diragukan karena bertentangan dengan kebenaran yang nisbi—relatif dan eksperimentatif itu, (Yunahar Ilyas, 2021: 61).
Sejarah pengetahuan sains telah membuktikan bahwa sebuah penemuan atau teori yang dianggap benar pada suatu masa dibantah kebenarannya pada masa yang datang kemudian.
Ini sangat mungkin terjadi karena keterbatasan kemampuan manusia dalam mengamati, menyelidiki dan menyimpulkan segala fenomena yang ada pada alam semesta ini.
Oleh karena itu jika terjadi pertentangan antara kesimpulan yang dibuat manusia antara sains dan wahyu, maka kesimpulan tersebut harus diuji kembali kebenarannya, atau manusia harus kembali menguji pemahamannya terkait wahyu.
Logisnya, alam semesta sebagai sumber sains adalah ayat kauniyah bersal dari Allah, sama persis kedudukan dengan wahyu yang tertuang dari al-Qur’an dan al-hadis, mustahil terjadi pertentangan dari keduanya. Wallahu A’lam!
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.