Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Isra Miraj dan Pemilu: Perjalanan Politik Spiritual Nabi Muhammad SAW

Namun, dalam konteks kekinian yang juga beriringan dengan momentum tahun politik masih luput dari radar mereka.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Isra Miraj dan Pemilu: Perjalanan Politik Spiritual Nabi Muhammad SAW
Ist
Ibnu Azka, Master Komunikasi dan Masyarakat Islam

Oleh: Ibnu Azka

Master Komunikasi dan Masyarakat Islam

Makna dari peristiwa Isra Mir’aj sudah sangat sering diulas oleh para akademisi dan pendakwah.

Namun, dalam konteks kekinian yang juga beriringan dengan momentum tahun politik masih luput dari radar mereka.

Bicara tentang Isra Mi’raj tak dapat menafikkan peran perjalanan Nabi Muhammad yang syarat sebagai manusia biasa melalui kisah upnormal yang ia lalui ratusan tahun yang lalu.

Itulah perbedaan seorang mistikus dan Nabi.

Bagi seorang Iqbal dalam bukunya “Reconstruction of Religios Thought in Islam” menyebut andai saja seorang Muhammad itu mistikus atau sufi mungkin saja ia takkan kembali ke bumi untuk melakukan tranformasi sosial di tengah-tengah kemerosotan akhlak umat manusia.

Namun karena memiliki kesadaran profetik itulah yang membuat Nabi akhirnya kembali ke bumi dan menyampaikan hasil negosiasinya dengan Tuhan.

Ada beberapa hal penting yang perlu dipahami dari perjalanan spiritual tertinggi Nabi Muhammad yang dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang modern seperti kita:

Pertama, sebelum menerima perintah untuk menjalankan shalat lima waktu sehari semalam, Nabi Muhammad disucikan dari segala kedengkian, iri hati, dan segala kotoran yang ada dalam hatinya.

Ini menggambarkan pentingnya membersihkan diri secara spiritual sebelum menerima tanggung jawab atau amanah yang besar.

Peristiwa ini memberikan pelajaran bahwa ketika akan bertemu dengan kekuasaan Ilahi, seseorang harus memiliki niat yang suci dan murni, bukan sekadar mencari kekuasaan untuk diri sendiri.

Kedua, dalam perjalanan spiritualnya, Nabi Muhammad menyaksikan banyak peristiwa yang seharusnya menjadi pelajaran
bagi dirinya dan bagi kita semua.

Contohnya, ketika Nabi melihat seseorang yang terus-menerus membenturkan kepalanya ke batu.

Hikmah dari peristiwa ini adalah bahwa manusia sering kali abai terhadap pelajaran yang dapat dipetik dari fenomena di sekitar kita sebelum mengambil tanggung jawab besar.

Banyak orang yang, setelah mendapatkan kekuasaan atau mandat, justru terjebak pada pola perilaku yang sama.

Ketiga, perjalanan hidup setiap individu tidak pernah lepas dari campur tangan orang lain.

Ini mengajarkan bahwa ketika seseorang telah menerima tanggung jawab atau mandat, mereka tidak dapat berhasil sendiri tanpa bantuan dan kerja sama dengan orang lain di sekitarnya.

Ini menunjukkan pentingnya kerja sama dan ketergantungan pada sesama dalam menjalankan tanggung jawab dengan baik, dari awal hingga akhir masa jabatan.

Dengan memahami pelajaran-pelajaran ini dari perjalanan spiritual Nabi Muhammad, kita dapat menggali wawasan yang berharga tentang kebersihan hati dan niat yang suci sebelum mengambil tanggung jawab besar.

Pentingnya memperhatikan pelajaran dari lingkungan sekitar, dan perlunya kerja sama dan dukungan dari orang lain dalam menjalankan tanggung jawab dengan baik.

Politik Spiritual Nabi

Banyak orang melihat politik sebagai sarana untuk mencapai kekuasaan, meskipun tidak salah, sebenarnya politik memiliki tujuan yang lebih luhur.

Namun, akibat kekosongan spiritual yang terjadi, kita menyaksikan bahwa politik yang berkembang cenderung kehilangan orientasi dan tujuan yang jelas.

Ini menyebabkan politik menjadi sekadar tentang perebutan kekuasaan, tidak lagi mementingkan kepentingan rakyat.

Oleh karena itu, sangat penting bagi politik di Indonesia untuk kembali kepada esensi filosofisnya, yang seharusnya bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kontradiksi antara spiritualisme dan politik sering terjadi dalam konteks makna dan hubungannya dalam kehidupan sosial serta ketatanegaraan.

Istilah spiritualisme sering dihubungkan dengan segala sesuatu yang bersifat rohani, seperti kepercayaan kepada Tuhan, agama, dan hal-hal yang berada di luar dimensi keduniawian.

Di sisi lain, politik sering dipandang sebagai urusan kekuasaan dan urusan dunia yang bersifat material.

Namun, dalam realitasnya, kedua konsep ini tidak selalu terpisah secara tegas.

Ada banyak kasus di mana aspek spiritualitas memengaruhi kebijakan politik dan sebaliknya.

Misalnya, nilai-nilai moral dan etika yang berasal dari ajaran agama dapat membentuk dasar kebijakan politik tertentu, seperti kebijakan kesejahteraan sosial atau perlindungan lingkungan.

Selain itu, ada juga fenomena politik spiritual yang menekankan pentingnya nilai-nilai spiritual dalam pengambilan keputusan politik dan tata kelola pemerintahan.

Ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan dalam makna dan fokusnya, spiritualisme dan politik dapat saling mempengaruhi dalam konteks kehidupan sosial dan ketatanegaraan.

Ada pandangan lain yang menyatakan bahwa spiritualitas tidak selalu membutuhkan ritualitas, tetapi pada saat yang sama mengakui bahwa ritual dapat menjadi salah satu indikator atau alat untuk mencapai tingkat spiritualitas.

Ritual dapat dipandang sebagai cara bagi seseorang untuk membangun hubungan dengan Tuhan atau dimensi spiritual lainnya dengan merangsang berbagai komponen saraf yang menghasilkan suasana psikologis tertentu.

Namun, pandangan ini juga menekankan bahwa ritual tidak hanya berhenti pada dimensi pribadi, melainkan juga menjadi bagian dari kehidupan sosial.

Dalam konteks ini, spiritualitas dipahami sebagai sesuatu yang memiliki makna sosial yang lebih luas, bukan sekadar nilai subjektif bagi individu.

Artinya, spiritualitas tidak hanya memengaruhi kehidupan individu secara internal, tetapi juga mengejawantahkan dirinya dalam interaksi sosial dan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam masyarakat.

Ini menunjukkan bahwa spiritualitas memiliki dampak yang signifikan dalam mempengaruhi dinamika sosial dan bukan sekadar sebuah pengalaman pribadi yang terisolasi.

Apa yang penulis sebut sebagai spiritualitas Nabi merupakan proses negosiasi yang dilakukan Nabi kepada Tuhan untuk kepentingan umatnya sehingga mencapai kemufakatan dan menjadi praktik yang dilaksanakan sehari- hari sampai hari ini.

Hal itu ia lakukan demi umatnya, meskipun harus bolak-balik beberapa kali.

Dalam perspektif ini, spiritualisme dikembangkan berdasarkan keyakinan bahwa manusia, alam, dan segala isinya adalah ciptaan Tuhan yang diwujudkan melalui ketaatan pada aturan-aturan agama.

Manusia secara alami merupakan bagian dari Tuhan, dan ketika manusia melupakan-Nya, akan terjadi ketidakseimbangan dalam diri yang dapat mengakibatkan kebingungan bahkan kekosongan dalam kehidupan.

Salah satu kebaikan tertinggi dari spiritualitas ini adalah kemampuan manusia untuk menyatukan keinginannya dengan keinginan Tuhan, baik dalam aktivitas sehari-hari maupun dalam perlakuan terhadap diri sendiri dan orang lain.

Dengan mengakui keberadaan Tuhan dan mengikuti ajaran-Nya, manusia dapat mencapai keseimbangan spiritual dan memperoleh panduan moral yang diperlukan untuk hidup yang bermakna dan harmonis.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved