Opini
Presiden Berkampanye 'Tidak' Dipidana
Sudah banyak berseliweran pendapat yang menerangkan boleh tidaknya Presiden ikut serta dalam kegiatan kampanye
Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Praktisi Hukum Pemilu
DUA kali pernyataan terbuka Presiden Bapak Joko Widodo, berkenaan dengan haknya untuk berkampanye dengan syarat tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya dan menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Bermula dari Lanud Halim Perdanakusuma yang kemudian dikonfirmasi di kanal Youtube Sekretariat Presiden, dalam kertas besar Pasal 280 ayat 1 huruf a, dan b, serta Pasal 299 ayat 1 UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
Baik dengan melalui komentar terbuka maupun dengan melalui artikel opini.
Sudah banyak berseliweran pendapat yang menerangkan boleh tidaknya Presiden ikut serta dalam kegiatan kampanye Pasangan Calon (Paslon) Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.
Ada yang berpendapat bias di satu sisi, karena menghubungkan larangan bagi pejabat negara dalam mengambil kebijakan tidak boleh dalam berada dalam konflik kepentingan dengan berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan.
Namun di sisi lain tetap dalam pendirian, Presiden Joko Widodo bisa berkampanye.
Ada juga yang berpendapat, karena terdapat larangan bagi pejabat negara untuk mengambil keputusan yang menguntungkan keluarganya dengan berdasarkan UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Sehingga sama sekali tidak dibenarkan Presiden Jokowi berkampanye dalam rangka mendukung anak kandungnya.
Pengecualian Pidana
Dengan melalui artikel singkat ini, saya hanya ingin mengulas dalam perspektif hukum pidana pemilu.
Apakah kalau nantinya Presiden Jokowi benar-benar “turun gunung” untuk berkampanye secara terbuka mendukung anaknya yang berdampingan dengan Prabowo, dapat terjerat dengan tindak pidana pemilu?
Pertama-tama yang harus dilihat terlebih dahulu berkenaan dengan kriminalisasi atas peristiwa dimaksud, yaitu dengan berdasarkan Pasal 547 UU Pemilu yang menegaskan:
“Setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Dalam pengklasifikasian tindak pidana, tindak pidana ini merupakan tindak pidana yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan tertentu. Dalam hukum pidana kerap diistilahkan delik jabatan (propria delicti).
Seorang yang menduduki jabatan Presiden dengan kewajiban untuk menjalani cuti di luar tanggungan negara saat hendak ikut serta dalam kegiatan kampanye.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 280 ayat 1 huruf b UU Pemilu, sesungguhnya yang demikian merupakan alasan pengecualian (alasan pembenar), seseorang tidak dapat dipidana dengan berdasarkan Pasal 547 UU Pemilu.
Sebab saat sedang menjalankan aktivitas kampanye, selain tidak lagi dalam status pejabat negara, berikut tidak boleh menggunakan fasilitas negara terkecuali fasilitas pengamanan, juga dipresentasikan tidak lagi menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Artinya sifat melawan hukum dari perbuatan menguntungkan atau merugikan itu menjadi hilang, sehingga si pelaku tidak dapat dipidana.
Namun soal Presiden dapat ikut serta dalam kegiatan kampanye lalu dianggap tidak lagi dalam konteks menguntungkan atau merugikan Paslon lainnya, karena sudah cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara.
Bukan hanya pada perkara dua pengecualian tersebut.
Unsur melawan hukum yang tersirat dalam sebuah rumusan pidana yang kerap diletakkan sebagai hal yang membenarkan seseorang melakukan perbuatan itu.
Sehingga tidak dipidana, juga terdemarkasi karena orang itu diberikan hak oleh undang-undang untuk melakukannya.
Berkenaan dengan hak presiden untuk berkampanye terdapat dua keadaan.
Pertama, dengan berdasarkan Pasal 299 UU Pemilu merupakan ketentuan yang memberikan hak kepada Presiden untuk melaksanakan kegiatan kampanye dalam kapasitasnya sebagai petahana.
Kedua, Pasal 280 Juncto Pasal 269 ayat 1 dan ayat 2 UU Pemilu memberikan hak kepada Presiden untuk ikut serta dalam kegiatan kampanye dalam kapasitas diantara sebagai pelaksana kampanye atau sebagai tim kampanye Paslon.
Saat ini, Presiden Joko Widodo tidak terpenuhi pemberian haknya dalam kapasitas baik sebagai pelaksana kampanye maupun sebagai tim kampanye Paslon Prabowo - Gibran.
Presiden Joko Widodo tidak tercatat sebagai salah satu pengurus dari partai politik yang mencalonkan Prabowo – Gibran.
Presiden Joko Widodo juga bukan dalam kapasitas sebagai “orang-seorang” dan “organisasi penyelenggara kegiatan” yang sudah ditunjuk oleh Paslon bersangkutan, yang kemudian “namanya” teregister di KPU sebagai bagian dari rumpun pelaksana kampanye.
Dipidana
Masa pendaftaran di KPU untuk pelaksana kampanye atau tim kampanye Paslon Presiden dan Wakil Presiden bahkan saat ini sudah tidak memungkinkan lagi, sebab jadwalnya yaitu 3 hari sebelum dimulainya masa kampanye (25 - 27 November 2023).
Sehingga konsekuensi hukumnya, dapat dipastikan tidak mungkin lagi Presiden Jokowi akan terdaftar sebagai pelaksana kampanye atau tim kampanye.
Dengan begitu, kalau Presiden Jokowi tetap berani ikut serta dalam kegiatan kampanye untuk Paslon Prabowo – Gibran.
Karena dia bukan pelaksana kampanye, bukan juga tim kampanye, dia tidak memiliki hak untuk ikut serta dalam kegiatan kampanye, maka tentulah dalam tataran normatif telah memenuhi rumusan delik Pasal 547 UU Pemilu.
Lolos di perkara tidak menggunakan fasilitas negara dan cuti, tapi tidak lolos di perkara sebagai pelaksana kampanye atau tim kampanye.
Hanya ada tiga jalan terjal yang bisa melegalkan dan tidak berimplikasi pidana pemilu bagi Presiden Jokowi kalau hendak tetap kukuh berkampanye untuk anak kandungnya.
Pertama, masuk sebagai pengurus atau fungsionaris dari salah satu partai politik pengusung Prabowo – Gibran (entah dia masuk di Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, atau Partai Demokrat).
Kedua, mengundurkan diri dengan secara sukarela dari jabatannya sebagai Presiden, dan merelakan tampuk kekuasaannya diambil alih oleh Wakilnya, Ma'ruf Amin, dengan begitu dia bisa bebas memberikan dukungan kepada anaknya, kapan dan dimanapun.
Ketiga, mengintervensi KPU RI agar membuka kembali masa pendaftaran pelaksana kampanye atau tim kampanye, tanpa perlu loncat partai, agar dalam kapasitasnya sebagai “orang seorang” atau “organisasi penyelenggara kegiatan” pelaksana kampanye dapat terpenuhi.
Alternatif ketiga ini, saya tidak menyarankannya, sebab selain tidak mungkin dipilih oleh Joko Widodo, jelaslah juga akan menjatuhkan wibawanya sebagai “pekerja partai” kelas rendahan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.