Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Pedang Keadilan itu, Kian Tumpul

Dewi keadilan yang memegang pedang dengan mata tertutup sering kali disebut "Lady Justice" atau "Iustitia" dalam bahasa Latin.

Editor: Sudirman
Ist
Aswar Hasan, Dosen Fisipol Unhas 

Oleh: Aswar Hasan

Dosen Fisip Unhas

Dewi keadilan yang memegang pedang dengan mata tertutup sering kali disebut "Lady Justice" atau "Iustitia" dalam bahasa Latin.

Arti dari simbol ini adalah representasi dari prinsip keadilan yang objektif, tanpa pandangan pribadi atau bias.

Pedang melambangkan kekuatan hukum, sementara mata tertutup menunjukkan ketidakberpihakan dan penilaian yang adil terhadap setiap individu, tanpa memandang kekayaan.

Status keluarga termasuk jika itu ponakan atau anak presiden, dan apa pun latar belakang mereka yang sedang diadili.

Namun yang terjadi di Indonesia akhir- akhir ini mata Dewi keadilan tidak lagi tertutup dan pedang keadilan yang digenggamnya itu, ternyata sudah tumpul tak bisa lagi dipakai menebas kejahatan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

Hukum sudah terbeli dan tersandra. Keadilan tinggal nyanyian tanpa makna yang meninabobokkan.

Padahal, kata orang bijak; “ Pedang Kebenaran harus Bisa memotong/menebas segala rupa bentuk dan sifat kejahatan demi terwujudnya keadilan bagi semua”.

Hukum dibuat untuk kepentingan yang berkuasa, bukan untuk kepentingan rakyat yang berdaulat (Budiman Tanurejo, Catatan Politik & Hukum, Kompas, 15 Juli 2023).

Keadilan untuk kebenaran tinggal janji- janji yang kerap di ucapkan oleh para pembohong.

Politisi dan pemimpin memang terkadang karib dan kerap diidentikkan dengan pembohong.

Diantara akibat suatu negara dipimpin atau dikelola oleh pembohong, adalah maraknya terjadi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Karena kepemimpinan yang tidak jujur akan mengundang kongkalikong, patgulipat dalam mengurus negara demi kepentingan keluarga (dinasti) dan oligarki.

Maka, merajalela nya praktik korupsi pun tidak lagi terelakkan. Bahkan, akan membudaya karena sudah dianggap kelaziman yang berterima di masyarakat.

Terkait dengan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, yang dapat merugikan institusi pemerintah dan menyengsarakan masyarakat, akibat lemahnya komitmen pada penegakan hukum.

Sehingga masyarakat menjadi apatis, dapat kita lihat kaitannya dengan kenyataan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), dimana menunjukkan perilaku masyarakat yang semakin permisif terhadap korupsi.

Indeks perilaku antikorupsi (IPAK) masyarakat pada tahun ini lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya.

Lalu, Transparency International (TI) pada Januari 2023 memberikan catatan bahwa indeks persepsi korupsi (IPK) 2022 mengalami penurunan terburuk sepanjang sejarah reformasi.

Parahnya lagi, lembaga itu menyebut selama masa pemerintahan Jokowi, kualitas pemberantasan korupsi dan demokrasi cenderung terus menurun.

Di tengah kemerosotan ini, publik hanya bisa berharap akan ada perbaikan yang dilakukan para pemimpin, mulai dari proses seleksi aparat pemberantasan korupsi yang benar dan tanpa kongkalikong yang berujung utang budi.

Selain itu, sistem pencegahan korupsi yang mumpuni serta penegakan hukum yang adil, yang tidak hanya tajam ke bawah dan ke samping kiri, tapi tumpul ke atas dan ke samping kanan.

Sudah saatnya mengakhiri ironi dan hipokrasi dalam pemberantasan korupsi di negara ini.

Ikan busuk berawal dari kepalanya, baru merembet ke bagian tubuh lainnya.

Karena itu, bila mau mengakhiri kebusukan, mulailah dengan membersihkan atau mengamputasi kepala, baru bagian tubuh yang lain (Editorial MI, 9/12/2023).

FAKTOR LEADERSHIP

Dari tiga prinsip dasar tujuan hukum, yakni; 1. Kepastian hukum, 2. Kemanfaatan hukum,3. Keadilan hukum, akan hanya menjadi dokumen dan retorika politik hukum, jika tidak didukung dengan komitmen praktik leadership yang berbasis komitmen etika moral yang objektif untuk keadilan itu sendiri.

Jika tidak, hukum hanya Sekadar dilaksanakan secara formal legalistik tanpa fungsional secara berkeadilan yang didasarkan manfaatnya, karena pemimpinnya hanya melihat aspék legal formalisme hukum tanpa melihatnya dari prinsip subtansi moral etik.

Contohnya, pelaksanaaan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) dalam tataran demokrasi bernegara (Pemilu) yang sesungguhnya bermasalah secara etik, sesuai putusan MK MK ( Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi).

Para ahli hukum, politik dan birokrasi, mengakui pentingnya peran kepemimpinan dalam penegakan hukum.

Bahwa keputusan, kebijakan, dan prioritas yang ditetapkan oleh para pemimpin memiliki dampak langsung pada efektivitas sistem hukum suatu negara.

Bahwa integritas pemimpin, komitmen terhadap supremasi hukum, dan dukungan terhadap lembaga-lembaga hukum merupakan faktor kunci dalam menentukan keberhasilan penegakan hukum di suatu negara.

Pakar hukum seperti Lon L Fuller, Joseph Raz telah menyumbangkan pemikiran dalam konteks hukum tata negara dan supremasi hukum, yang membahas aspek kepemimpinan dalam menjamin keadilan dan kepatuhan terhadap aturan hukum.

Sementara itu, para pakar di bidang ilmu sosiologi dan birokrasi seperti Max Weber juga membahas peran pemimpin dalam membentuk struktur otoritas dan penegakan hukum.

Jadi, kepemimpinan yang baik dapat memengaruhi penegakan hukum suatu negara secara signifikan.

Sementara itu, kepemimpinan yang buruk justru bisa merusak integritas sistem hukum dan budaya keadilan di suatu negara.

Leadership atau kepemimpinan, memengaruhi kinerja hukum di suatu negara karena pemimpin memiliki peran kunci dalam menentukan kebijakan hukum, memberikan arahan kepada lembaga penegak hukum, dan memastikan kepatuhan terhadap aturan hukum.

Pemimpin yang efektif dapat memperkuat independensi lembaga-lembaga hukum, mendukung transparansi, dan mendorong budaya keadilan.

Sebaliknya, kepemimpinan yang lemah atau korup dapat mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan, intervensi politik dalam proses hukum, dan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.

Lemahnya dan rendahnya komitmen etik kepemimpinan dalam penegakan hukum dapat memiliki dampak serius, antara lain;

Pertama, Korupsi makin merajalela, karena pemimpinnya kurang memiliki komitmen etik sehingga cenderung rentan terhadap praktek korupsi.

Hal ini dapat mencakup suap, penyalahgunaan dana publik, atau kebijakan yang mendukung kepentingan pribadi. Sejumlah data faktual, telah terpublikasikan tentang hal tersebut.

Kedua, Tidak Adanya Keadilan. Pemimpin yang tidak komitmen terhadap nilai-nilai etika dapat mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga tidak adil.

Keadilan dapat terancam jika kebijakan dan tindakan hukum didasarkan pada pertimbangan politis atau kepentingan pribadi.

Ketiga, Mempengaruhi tatanan politik yang merugikan. Pemimpin yang tidak etis mungkin menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan politik, mengorbankan integritas dan independensi lembaga-lembaga hukum.

Keempat, Merebaknya ketidakpercayaan pada masyarakat. Kepemimpinan yang lemah secara etis dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.

Ini dapat mengakibatkan ketidakpatuhan terhadap hukum, memperkuat budaya ketidakadilan, dan meningkatkan tingkat korupsi di masyarakat.

Kelima, Memicu ketidakstabilan Sosial. Lemahnya penegakan hukum akibat kepemimpinan yang tidak etis dapat menyebabkan ketidakstabilan sosial.

Masyarakat yang merasa tidak adil atau tidak dilindungi oleh hukum mungkin cenderung mencari cara alternatif untuk menyelesaikan konflik, termasuk melalui aksi protes atau ketidakpatuhan sipil.

Dengan demikian, komitmen etik pemimpin sangat penting untuk memastikan keberlanjutan penegakan hukum yang adil dan berkeadilan dalam suatu negara.

Sayangnya, komitmen etik itu telah lenyap pergi tertiup oleh angin kepentingan kekuasaan yang tengah/sedang menghipnotis secara melenakan itu.

Maka, benar kata dalam bahasa Latin, bahwa kekuasaan itu, adalah Numinosum tremendum et fascinosum.

Sesuatu yang menggetarkan sekaligus mempesona. Wallahu a’lam bishshawabe.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved