OPINI
Pemilu 2024 dan Tesis 'Butterfly Effect'
Konsep butterfly effect tersebut ingin menggambarkan tentang kemungkinan terjadinya suatu rangkaian peristiwa yang berlangsung acak, tak terprediksi
Oleh: Adi Suryadi Culla
Dosen Fisip Universitas Hasanuddin
TRIBUN-TIMUR.COM - Edward Norton Lorenz, seorang ahli meteorologi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), mengguncang khasanah teori ilmu alam maupun ilmu sosial ketika ia mempopulerkan teori “Butterfly Effect” (efek kupu-kupu) tahun 1961. Melalui makalahnya berjudul “Predictability: Does the Flap of a Butterfly’s Wings in Brazil set off a Tornado in Texas?”, Lorenz mengajukan teorinya tersebut, dengan analogi tentang “kepak sayap seekor kupu-kupu di Brasil yang memicu badai tornado di Texas”.
Tentu saja analogi itu berlebihan. Tetapi, tesis itu terasa cocok mewakili suatu peringatan atau gambaran, bahwa perubahan kecil di suatu kondisi dapat menjadi pemicu awal peristiwa besar. Siapa sangka kepak kupu-kupu sebagai suatu peristiwa kecil bisa memicu rangkaian proses berantai atau trayektori, hingga berujung pada peristiwa besar. Jika saja kepak sayap kupu-kupu tidak terjadi, maka rangkaian peristiwa bakal berbeda.
Konsep butterfly effect tersebut ingin menggambarkan tentang kemungkinan terjadinya suatu rangkaian peristiwa yang berlangsung acak, tak terprediksi, dan tidak linier. Teori ini paralel dengan teori kekacauan (chaos theory) yang berangkat dari asumsi bahwa sistem alam semesta itu adalah bersifat kompleks. Jika digunakan dalam memahami sistem sosial, termasuk perilaku politik; logika utamanya akan mengatakan bahwa jika sistem sosial bersifat kompleks, maka ketidakberaturan (kekacauan) berpotensi terjadi; artinya, Anda berhadapan perilaku sosial yang bersifat acak (random behavior) atau sulit diprediksi.
***
Mari kita melihat peristiwa masa lalu. Siapa yang menyangka Soeharto akan jatuh pada 1998? Tidak ada yang pernah memprediksi. Tak bakalan. Sebab seluruh struktur kekuasaan era Orde Baru saat itu berada dalam cangkang. Mulai dari struktur birokrasi negara, hingga partai politik dan organisasi sosial. Dari unsur TNI – Polri (dulu ABRI), aparat PNS melalui organisasi Korpri, hingga tiga pilar kepartaian (Golkar, PDI, dan PPP) sampai ormas; semua terkooptasi melalui Mendagri, kepanjangan otoritas Soeharto.
Tahun 1997, Soeharto dilantik kembali sebagai Presiden RI untuk ke tujuh kali. Mungkin Soeharto sendiri pun saat itu tidak membayangkan kejadian yang bakal dialami setelah terpilih kembali, meski sebelum Pemilu dikabarkan ia sudah ingin berhenti. Akhirnya ia menghadapi peristiwa tragis yang berongkos mahal, korban jiwa (khususnya demonstran mahasiswa) dan kehancuran infrastruktur; semua itu kemudian memaksanya mundur.
Setelah 32 tahun berkuasa, Soeharto menghadapi efek sayap kupu-kupu di ujung. Jika saja Harmoko sebagai Ketua Golkar dan MPR/DPR RI sebagai orang dekatnya saat itu tidak menggodanya, barangkali cerita jadi lain. Soeharto maju kembali, terutama setelah Harmoko meyakinkannya bahwa mayoritas rakyat masih mendukungnya. Jika saja Soeharto saat itu menolak, dan memilih mempersiapkan transisi kekuasaan sistemik.
Kisah keruntuhan Soeharto (Orde Baru) memberi palajaran bahwa sejarah termasuk jalan hidup tokoh berkuasa tidak selamanya linier. Jika saja semua jalan hidup atau arah sejarah itu linier, tak perlu ada rasio kritis atau antisipasi peristiwa. Siapa pun cukup kumpulkan kekuatan akumulatif, maka semuanya dapat direkayasa sekehendak apa pun.
Hukum teori acak itulah yang seringkali tidak disadari banyak penguasa dan pelaku sejarah. Sebagaimana dilakoni sejumlah rezim kekuasaan, untuk menyebut beberapa sosok yang kuat namun akhirnya berakhir tragis. Katakan seperti sosok Julius Cesar, Hitler, Mussolini, Khaddafi, Saddam Hussein, Husni Mubarak, hingga Soekarno dan Soeharto. Sosok-sosok itu sebelumnya sedemikian kuat namun akhirnya runtuh secara dramatis.
Tentu saja menjadi catatan sejarah sejumlah sosok penguasa tersebut tak bisa dibuat dalam kerangka perbandingan. Sebab, setiap peristiwa sejarah seperti diungkapkan oleh Foucault (1979), ada ciri arkeologi dan geneologi masing-masing. Apalagi peristiwa sejarah dapat juga terjadi sebaliknya malahan linier, berlangsung damai tanpa berakhir kekacauan.
***
Kekhawatiran yang muncul di benak saat menulis artikel ini adalah pertanyaan: Ke arah mana kita diperhadapkan proses suksesi (pergantian kepemimpinan nasional) menuju Pemilu 2024? Apakah bersifat acak atau linier? Jika linier berarti suksesi akan melahirkan jalan damai, jika acak maka berkonsekuensi melahirkan potensi “guncangan politik”: suatu buntut yang tentu tidak diharapkan siapapun.
Berawal dari peristiwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia cawapres. Putusan MK tersebut memicu kontroversi lanjutan, dianggap cacat konstitusi. Batas usia capres dan cawapres 40 tahun sesuai aturan UU Pemilu, sejatinya tidak memberi ruang bagi sang anak sulung Presiden: Gibran Rakabuming Raka, untuk dicalonkan. Namun lempang, akibat MK menambahkan frase “pernah menjabat kepala daerah terpilih”, sebagai respon atas gugatan Judicial Review salah satu pihak pemohon.
Pasca putusan MK itu, mata publik seolah diperhadapkan trayektori efek acak yang bakal atau tidak bakal terjadi. Nampaknya ada beberapa fenomena menarik dicatat sebagai peristiwa acak yang muncul tak terduga sebagai berikut.
Pertama, terkait putusan MK itu sendiri. Tak ada yang sebelumnya memprediksi, syarat batas usia Capres 40 tahun itu bakal tertelikung. Presiden Jokowi pun sebelumnya pernah menyatakan tak masuk akal: Gibran tak penuhi syarat umur (36) dan baru 2 tahun menjabat Walikota Solo. Namun di tangan Ketua MK Anwar Usman, palu putusan diketok. Majelis Kehormatan MK kemudian memberikan penilian adanya pelanggaran etika di sana. Mengingat, nota bene sang Ketua MK adalah paman atau keluarga inti Girbran.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.