Lipsus
Blak-blakan Caleg DPRD Sulsel 'Bakar' Uang Rp2 M Demi Target Suara, Caleg DPRD Makassar Rp4 M
Ketua Bappilu Perindo Sulsel, Askar secara terbuka menyatakan bahwa untuk dapat duduk di kursi parlemen, diperlukan dukungan finansial.
Penulis: Erlan Saputra | Editor: Alfian
Para pengamat politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Ali Armunanto berpendapat bahwa penerimaan atau pemberian uang dalam konteks politik tidak hanya menjadi metode kampanye.
Namun, juga menjadi faktor utama dalam pembentukan opini dan dukungan.
Pertumbuhan fenomena ini menciptakan kekhawatiran terkait integritas proses demokrasi.
Praktik money politik yang semakin pragmatis dapat menggeser fokus pemilih dari substansi program dan ideologi menjadi aspek finansial.
Hal ini memicu keprihatinan tentang pengaruh uang terhadap keputusan pemilih.
Masyarakat secara luas dihadapkan pada dilema etika.
Di mana beberapa merasa bahwa menerima atau memberikan uang menjadi bagian tak terhindarkan dari realitas politik.
Sementara yang lain menganggapnya sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi yang seharusnya mementingkan pertukaran ide dan visi.
"Hampir di setiap caleg yang saya temui menerapkan pola transaksional. Artinya mengajak para pemilih untuk datang ke TPS (tempat pemilihan umum) untuk memilih para calon. Dan itu praktek umum," tandas Ali Armunanto.
Sebagai saran, Ali menyebut, biaya politik seharusnya tidak mahal andai saja para kandidat mulai membangun relasi sebelum mencalonkan diri.
"Dengan cara mendekatkan diri dengan masyarakat, saya kira proses-proses yang bersifat transaksional itu tidak perlu ada. Tetapi ini kan caleg-calegnya sendiri yang memancing pemilih untuk menerima money politik," tandasnya.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.