Lipsus
Blak-blakan Caleg DPRD Sulsel 'Bakar' Uang Rp2 M Demi Target Suara, Caleg DPRD Makassar Rp4 M
Ketua Bappilu Perindo Sulsel, Askar secara terbuka menyatakan bahwa untuk dapat duduk di kursi parlemen, diperlukan dukungan finansial.
Penulis: Erlan Saputra | Editor: Alfian
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Seiring berjalannya waktu, kenyataan bahwa biaya politik semakin meningkat menjadi sorotan utama dalam ranah politik.
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh para kontestan legislatif, terus melonjak.
Hal ini memunculkan pertanyaan tentang dampaknya terhadap demokrasi dan partisipasi politik yang merata.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Perindo Sulsel, Askar secara terbuka menyatakan bahwa untuk dapat duduk di kursi parlemen, diperlukan dukungan finansial yang mencapai angka miliaran rupiah.
Pengakuan ini lantas membuka diskusi tentang tantangan finansial yang dihadapi oleh mereka yang ingin terlibat dalam proses politik.
Diketahui, Askar adalah kandidat pemilu legislatif yang bakal bertarung di DPRD Sulsel Dapil Makassar A.
Baca juga: Kekayaan Rp149 Miliar Caleg PDIP Fadli Ananda Tak Pusingi Mahalnya Biaya Politik: Untuk Masyarakat
Dapil Makassar A meliputi pemilih dari Wajo, Bontoala, Tallo, Ujung Tanah, Sangkarrang, Rappocini, Ujung Pandang, Makassar, Mamajang, Mariso dan Tamalate.
"Saya akui cost politik itu mahal dan rata-rata kalau caleg provinsi butuh Rp1 miliar sampai Rp2 miliar. Bahkan ada caleg kota mencapai Rp4 miliar," kata Askar ketika ditemui di Kedai Kopi Sabila, Jl Toddopuli, Makassar, Rabu (22/11/2023) sebelum Magrib.
Askar berpendapat bahwa biaya untuk kampanye, iklan, dan logistik politik secara signifikan melebihi ekspektasi banyak orang.
Di samping itu, pihaknya telah melakukan penataan wilayah-wilayah soal politik pragmatis yang menguat di kalangan masyarakat.
Baginya, perkembangan politik belakangan ini menunjukkan fenomena money politik yang semakin pragmatis di masyarakat.
"Terutama kelompok-kelompok pinggiran, masyarakat-masyarakat marjinal yang belum sepenuhnya terdidik secara politik itu memang asumsi mereka, politik adalah transaksional," paparnya.
Walau demikian, Askar menyebut tidak semua masyarakat terutama calon pemilih.
Terutama pemilih-pemilih yang betul-betul menginginkan calon-calon terbaik, tentu menolak keras adanya transaksi uang.
"Tidak semua karena kalau kalangan orang-orang terdidik justru marah dengan adanya transaksi uang," tandasnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.