Amin Syam Meninggal
Obituari HM Amin Syam Jenderal Bersahaja Itu Pergi
Pada tanggal 10 Agustus 2007 malam, sebagai penulis buku biografinya, saya bersama Drs. Hasyim Soedikio, harus melapor kepada H.M Amin Syam, Gubernur
Oleh M Dahlan Abubakar
Wartawan Utama
TRIBUN-TIMUR.COM -- Otak saya terlatih untuk mengingat sebuah fenomena yang langka kalau tidak dapat dikatakan ‘luar biasa’. Apalagi yang berkaitan dengan seorang gubernur.
Pada tanggal 10 Agustus 2007 malam, sebagai penulis buku biografinya, saya bersama Drs. Hasyim Soedikio, harus melapor kepada H.M Amin Syam, Gubernur Sulawesi Selatan.
Seperti biasa, setiap tamu yang hendak bertemu dengan Gubernur, boleh menunggu di bilik kecil di sebelah kiri.
Ruangan ini juga menghubungkan langsung dengan ruang dalam gubernuran yang biasa dipakai menjamu tamunya.
Saya duduk di kursi sebelah utara menghadap ke selatan. Pak Hasyim Soedikio mengambil kursi di sebelah kiri saya menghadap ke barat. Kursi masing-masing di depan kami kosong. Masa menunggu, kami ditemani dua kelas teh yang disuguhi pelayan rumah jabatan yang menyertainya dengan masing-masing satu kerat kue bolu yang terbaring di atas piring kecil ditemani garpu mini.
Inilah yang menemani masa menunggu kami sembari membuka-buka kembali naskah buku yang sudah selesai ditulis. Malam itu sebenarnya, kami hanya ingin menagih foto untuk cover buku.
Untuk menulis buku ini, selain mewawancarai Pak Amin Syam, juga “mengencani” Ibu Apiaty Amin Syam, suatu hari beberapa saat menjelang menemani Gubernur mengunjungi daerah bagian selatan. Sebelumnya, saya dengan Pak Hasyim Soedikio mengunjungi Kabupaten Enrekang, daerah yang pernah dipimpin Pak Amin Syam pada tahun 1988-1993.
Di daerah ini Pak Amin Syam berhasil menaikkan pendapatan asli daerah yang sebelumnya selalu ‘bocor’ tidak memenuhi target.
Usai dari Enrekang kami ke Takalar. Di daerah itu, Pak Amin Syam pernah menjabat Komandan Kodim 1426 Takalar beberapa tahun.
Kami berdua juga mengunjungi Sungai Panciro yang terletak di Kampung Tujello Desa Cinnong Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone, sekitar 14 km dari Kota Watampone. Sungai itu, tempat Amin Syam kecil biasa mandi-mandi bersama teman-teman seusianya. Dulu, sungainya lebar, namun kian dangkal ketika kami berkunjung Agustus 2007 itu.
Tidak jauh dari pinggir sunga itu, ada satu lahan yang di atasnya ditumbuh beragam tanaman. Di lahan inilah dulu tegak sebuah rumah panggung, tempat terdengar suara tangis pertama bayi yang kemudian bernama Amin Syam.
Almanak menunjuk 117 hari setelah Soekarno-Hatta memproklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jl. Pagangsaan Timur Jakarta. Amin Syam lahir 12 Desember 1945. Riwayat rumah panggung berakhir dengan tragis, hangus dibakar gerombolan DII/TI pimpinan Qahar Mudzakkar.
Selagi asyik membaca epilog buku yang belum selesai, tiba-tiba dari arah kamar kecil muncul Pak Amin Syam.
Melihat saya yang jongkok sembari membaca naskah buku, tiba-tiba saja beliau menarik kursi di depan saya, dan ikut berjongkok. Akhirnya duduk selonjoran dengan kaki di bawah meja. Pak Hasyim Soedikio yang tidak menduga dan terlambat refleks dengan kemunculan beliau yang tiba-tiba tidak segera mengikuti jejak kami berdua.
Diplomat Jepang Dengar Cerita Jika Amin Syam Politikus Bersih dan Dicintai Masyarakat |
![]() |
---|
Hadiri Takziah Malam Ketiga, Mukhtar Tompo Kenang Sosok Amin Syam: Pemimpin yang Disiplin dan Tegas |
![]() |
---|
Sepenggal Cerita di Balik Layar: Amin Syam, Yunus Bandu, dan Majid Tahir |
![]() |
---|
Momen Amin Syam Beri Rekomendasi IAS Maju Pilwali Makassar 2004 Meski Lawan Apiaty Amin Syam |
![]() |
---|
Sosok Amin Syam di Mata Wali Kota Parepare Taufan Pawe |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.