Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Urgensi Literasi bagi Generasi Z dan Alpha: Tantangan dan Harapan

Mengapa literasi penting bagi Generasi Z dan Alpha? Keduanya tumbuh di era digital, namun literasi tetap memiliki peran krusial.

Editor: Sudirman
Ist
Andi Sukri Syamsuri, Wakil Rektor 2 Unismuh 

Oleh: Andi Sukri Syamsuri

Wakil Rektor 2 Unismuh

Mengapa literasi penting bagi Generasi Z dan Alpha? Keduanya tumbuh di era digital, namun literasi tetap memiliki peran krusial dalam membentuk karakter dan wawasan mereka.

Sebuah bangsa yang memegang teguh kebudayaannya bagai sebuah pohon yang berakar kuat.

Kebudayaan, yang menjadi identitas dan harga diri suatu bangsa, perlu dilestarikan dan dipelihara dengan cinta.

Salah satu cara melestarikannya adalah melalui komunikasi, di mana bahasa berperan sebagai media utamanya.

Bahasa, bagaikan rumah bagi budaya kita, menceritakan riwayat kita dari zaman ke zaman.

Setiap kata, setiap percakapan, menguraikan jejak sejarah dan tradisi.

Dan dalam setiap proses komunikasi, aktivitas berbahasa seperti membaca dan menulis menjadi unsur yang tak terpisahkan, menunjukkan betapa kentalnya hubungan antara bahasa dan budaya kita.

Memiliki budaya yang kuat dalam membaca dan menulis bukanlah sekedar kegiatan rutin, melainkan menjadi gambaran dari bangsa yang cerdas dan maju.

Sinergitas, sebuah konsep yang melambangkan kerjasama dan kekompakan, terbangun dengan kuat melalui budaya literasi ini.

Literasi secara sederhana dipahami sebagai kemampuan membaca, menulis dan berpikir kritis.

Kegiatan membaca dan menulis bukan hanya meningkatkan pengetahuan individu, tetapi juga memperkuat ikatan mereka dengan lingkungan sekitar.

Dengan antusias membaca, seseorang tidak hanya menambah wawasannya, tetapi juga menumbuhkan keberanian untuk bertindak.

Ini merupakan refleksi dari literasi. Sebuah bangsa yang melek literasi, dalam konteks ini, tidak hanya memahami teks yang dibaca, tetapi juga memahami konteks dunia di sekitar mereka, mempersiapkan mereka untuk berkontribusi secara maksimal dalam perkembangan bangsa.

Keterampilan membaca dan menulis perlu terus ditingkatkan sehingga mampu menghadirkan kesadaran kritis dalam mempelajari dan atau mengasimilasi sesuatu yang baru dengan pengetahuan sebelumnya.

Dalam fungsinya, literasi dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam pemikiran seseorang guna mengembangkan budaya kritis untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas dan kompetitif.

Dalam konteks Indonesia, literasi sejatinya adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini.

Budaya tulis-baca telah ada sejak masa kerajaan-kerajaan Nusantara, meski tentu berbeda bentuk dan intensitasnya dengan zaman modern saat ini.

Namun, kemajuan zaman dan teknologi, seharusnya memperkuat bukan melemahkan literasi.

Sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, literasi Indonesia menghadapi tantangan besar.

Salah satu yang paling dominan adalah hadirnya media audiovisual.

Siapa yang dapat menyangkal keberadaan televisi, radio, dan kemudian internet dalam kehidupan sehari-hari kita?

Media-media ini memang menawarkan kemudahan dan kecepatan dalam menyampaikan informasi, namun ironisnya, seringkali pula menyisakan ruang yang sempit bagi tradisi membaca dan menulis.

Penting untuk kita renungkan, apakah kita ingin generasi mendatang tumbuh dalam lingkungan yang lebih memilih konten audiovisual daripada buku?

Bila buku menjadi barang langka di masa depan, apa yang akan terjadi pada warisan budaya dan pengetahuan yang selama ini kita bangun?

Generasi Z, yang lahir pada tahun 1996 hingga 2009, dan Generasi Alpha yang lahir setelahnya, tumbuh di era digital.

Mereka akrab dengan smartphone, tablet, dan berbagai perangkat canggih lainnya sejak dini. Namun, meskipun mereka dijuluki "digital native", bukan berarti mereka terlahir dengan kemampuan literasi yang kuat.

Faktanya, literasi digital saja—kemampuan untuk memfilter informasi di dunia maya—masih sering menjadi tantangan bagi mereka.

Menurut data World’s Most Literate Nation oleh Central Connecticut State University, Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti.

Peringkat pertama oleh Firlandia dan peringkat terakhir atau ke-61 oleh Bostwana salah satu negara di kawasan Afrika.

Dalam menghadapi fenomena ini, dunia pendidikan memiliki peran sentral.

Sekolah, universitas, dan institusi pendidikan lainnya harus menyusun kembali kurikulum yang menekankan pentingnya literasi, bukan hanya sebagai keterampilan, tetapi sebagai budaya.

Di samping itu, keluarga juga memiliki peran yang tak kalah penting.

Membiasakan anak-anak membaca sebelum tidur, mengajak mereka ke perpustakaan, dan memberikan buku sebagai hadiah, adalah beberapa cara sederhana yang dapat dilakukan.

Generasi Z dan Alpha, meski lahir dan besar di era digital, memiliki potensi besar.

Mereka adalah generasi yang paling adaptif terhadap teknologi.

Namun, tanpa literasi yang kuat, potensi itu akan sulit terwujud sepenuhnya.

Kita memang tidak bisa melawan arus perkembangan zaman, namun kita bisa, dan seharusnya, mengarahkannya.

Tidak ada yang salah dengan teknologi dan media audiovisual.

Yang menjadi soal adalah bagaimana kita mengimbanginya dengan budaya literasi yang kuat.

Sebagai bangsa yang besar, dengan sejarah dan budaya yang kaya, kita memiliki modal untuk melakukannya.

Literasi bukan hanya soal kemampuan membaca dan menulis, namun lebih jauh lagi, adalah tentang bagaimana kita sebagai bangsa memahami diri, masa lalu, masa kini, dan mempersiapkan masa depan yang lebih baik.

Dengan akar budaya yang sudah tertanam dan tekad semua pihak untuk terus mengembangkan budaya literasi, kita dapat memastikan bahwa bangsa ini tak hanya mampu bersaing di kancah global, tetapi juga berdiri sebagai bangsa yang bermartabat.

Yang terpenting, kita dapat mewujudkan cita-cita konstitusi untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa".(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved