Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Hierarki Perempuan dan Laki-Laki dalam Dualitas Ketuhanan

Satu sudut pandang melihat Tuhan dengan sifat-sifat maskulin, sementara dari kaca mata lain Tuhan bersifat feminin.

Editor: Sudirman
Ist
Bahrul Ikhsan, Alumni Prodi Studi Agama-Agama UIN Alauddin Makassar Tahun 2023 

Bahrul Ikhsan

Alumni Prodi Studi Agama-Agama UIN Alauddin Makassar Tahun 2023

Kitab suci menggambarkan Tuhan Yang Maha Esa dengan nama dan sifat yang berbeda.

Asmaul Husna dalam Islam menguraikan 99 nama untuk mengagungkan Sang Pencipta di antaranya: Maha Menghukum, Maha Perkasa, Maha Membalas juga Maha Penyayang, Maha Pengasih, Maha Lembut dan lainnya.

Satu sudut pandang melihat Tuhan dengan sifat-sifat maskulin, sementara dari kaca mata lain Tuhan bersifat feminin.

Alam semesta adalah perwujudan sifat-sifat Ketuhanan.

Manusia sebagai ciptaan (makhluk) merupakan refleksi dari Sang Pencipta (Khalik). Misi penciptaan manusia adalah untuk menjadi khalifah di bumi, yakni mengelola sumber daya dan memakmurkan bumi dengan bijaksana.

Bentuk dukungan Tuhan dalam mewujudkan misi manusia adalah dengan menganugerahkan instrumen Ketuhanan, seperti akal, panca indera dan hati.

Tuhan juga melekatkan pada manusia dengan karakter-Nya yang saling bertentangan, tetapi juga dapat dipadukan yakni maskulinitas dan feminitas.

Maskulin (masculinus) dalam bahasa latin diartikan sebagai suatu kualitas atau penampilan yang dikaitkan dengan laki-laki.

Ada pun feminin (femininus) diidentikkan dengan perempuan.

Laki-laki dan perempuan adalah dua makhluk Tuhan yang masing-masing telah ditetapkan berbeda secara alami (nature).

Laki-laki diberikan fisik yang lebih kuat agar mampu memimpin dan melindungi. Sementara perempuan hadir sebagai makhluk yang lembut untuk merawat dan mencintai.

Keduanya saling melengkapi dalam membangun perubahan sosial yang positif dan keseimbangan alam.

Sachiko Murata, Profesor Ilmu Perbandingan Agama di State University of New York dalam bukunya, “The Tao of Islam” mengatakan bahwa walau saling terikat, hubungan maksulinitas dan feminitas juga mengalami perbedaan, pertentangan, serta membangun hierarki.

Laki-laki biasanya berada pada tingkatan atas (superior) semetara perempuan berada di bawah (inferior).

Hal ini diakibatkan karena bahasa agama yang cenderung lebih memuja Tuhan Maskulin dibandingkan Tuhan Feminin.

Budaya patriarki yang memuliakan laki-laki dibanding perempuan turut andil dalam pengkategorian tersebut.

Konstruksi budaya yang menomorduakan perempuan ini telah hadir sejak masa lampau, ditempa begitu lama hingga zaman modern dan dianggap sebagai konsep final.

Pemisahan Dunia Maskulin dan Feminin

Dalam masyarakat, kita tentu tidak asing dengan istilah “publik” dan “domestik”.

Laki-laki dipandang memiliki peran, tanggung jawab dan fungsi di dunia publik (masyarakat), sementara perempuan dunianya adalah domestik yang berkutat dengan urusan rumah.

Terbatasnya hak-hak perempuan dalam bidang sosial didasari oleh pandangan yang melihat mereka tak sekuat dan secerdas laki-laki.

Akhirnya laki-laki berada di garda terdepan dalam menentukan kebijakan masyarakat.

Mereka diberikan otoritas untuk memiliki akses dan sukses dalam sistem sosial, misalnya hak memperoleh pendidikan, kepemilikan properti, menjadi pemimpin dan sebagainya.

Di dunia maskulin laki-laki secara ideal harus memenuhi kriteria seperti; kuat, aktif rasional, ber­tanggung jawab, memimpin, perkasa, tidak boleh menangis dan sebagainya.

Ada pun perempuan seyogyanya bersifat feminin seperti: lemah, pasif, lembut, indah, pemalu, senantiasa selalu dilindungi dan lainnya.

Jika laki-laki misalnya tidak memenuhi ekspektasi masyarakat di atas, maka akan dianggap bukan laki-laki sejati (banci).

Mereka juga akan dicap negatif jika melakukan tugas-tugas domestik atau pekerjaan rumah ‘kecil’ seperti menyapu, memasak, mencuci, begitu pula sebaliknya.

Pembagian wilayah ini menimbulkan beban bagi kedua belah pihak, tetapi yang paling dirugikan adalah perempuan.

Terbatasnya hak-hak perempuan untuk ikut berkiprah di dunia publik, akan menciptakan manusia yang tidak mandiri dalam segi ekonomi dan psikologis serta terus-menerus bergantung pada laki-laki.

Tidak adanya kesempatan yang sama dalam pendidikan juga mengakibatkan perempuan menjadi tidak bisa mengembangkan potensinya untuk bisa eksis bersama laki-laki.

Aisyah Arsyad Embas, Dosen UIN Alauddin Makassar dalam bukunya, “Fikih Gender Berbasis Maqasid al-Syari’ah: Kritik Kesetaraan Gender dalam Nikah Siri” menjabarkan dua teori besar yang dikenal dengan teori nature dan nurture.

Teori ini dipandang sebagai dasar pembagian masing-masing wilayah perempuan dan laki-laki.

Teori pertama mengisyaratkan bahwa karena perempuan dalam sistem reproduksi mengalami menstruasi, kehamilan, melahirkan dan menyusui, maka lebih baik bertugas menjaga anak dan urusan rumah (domestik).

Laki-laki dianggap memiliki peran utama dalam ranah publik karena tidak dibatasi dengan faktor biologis.

Teori kedua menyebutkan bahwa adanya perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat bukan didasari karena faktor seks (jenis kelamin biologis), melainkan produk dari budaya masyarakat (jenis kelamin budaya).

Bisa jadi persepsi akan peran laki-laki dan perempuan itu bukanlah suatu yang mapan, karena masyarakat senantiasa berubah, diprediksi atau pun tidak.

Hierarki Perempuan dan Laki-Laki dalam Agama

Nunuk P. Murniati, teolog feminis Indonesia berpendapat bahwa agama dijadikan benteng untuk mengokohkan budaya patriarki di mana tak jarang menindas masyakarat, khususnya perempuan karena dipandang sebagai ketetapan yang tidak patut dipertanyakan.

Diskriminasi atau ketidakadilan yang dialami perempuan dianggap sebagai sesuatu yang alami atau kodrat Tuhan.

Anggapan tersebut dilandasi oleh nas-nas suci agama yang menomorsatukan laki-laki dan menomorduakan perempuan.

Penomorduaan perem­puan dituliskan dalam kisah penciptaan Adam dan Hawa (Eva) di mana Hawa diyakini berasal dari tulang rusuk Adam yang bengkok.

Doktrin ini membangun suatu hierarki yang memposisikan laki-laki di atas sementara perempuan di bawah.

Di beberapa ayat suci laki-laki digambarkan memiliki derajat serta kecakapan lebih daripada perempuan, seperti dalam urusan kepemimpinan, kepala keluarga, warisan, persaksian; nabi, rasul, khatib, muadzin, imam, wali nikah, dan lain sebagainya adalah laki-laki.

Tema ini juga dijumpai dalam Filsafat Kuno Yunani yang melihat alam sebagai dualitas kembar.

Menurut mereka alam tersusun dari dua hal yang saling bertentangan seperti, siang-malam, baik-buruk, matahari-bulan, lelaki-perempuan dan seterusnya.

Laki-laki, siang, matahari adalah elemen positif sementara perempuan, malam, bulan berelemen negatif. Salah satu dari aspek kembar ini akan mendominasi yang lemah.

Laki-laki dianggap lebih kuat dan cakap, maka ia mampu menguasai perempuan.

Pada dasarnya laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang sama di mata Tuhan.

Perempuan dan laki-laki sama-sama diberikan potensi dari Tuhan di mana potensi itu akan lebih sempurna jika keduanya saling melengkapi. Ketidakadilan yang diperoleh perempuan di seluruh dunia diakibatkan oleh konstruksi budaya patriarki yang didukung oleh kekeliruan dalam menafsirkan pesan Tuhan.

Bias-bias gender yang terjadi bisa muncul karena terpaku pada pandangan lama yang kemudian mengabaikan hak-hak perempuan.

Terlalu fokus pada rasionalitas dalam membaca ayat-ayat gender hingga tak merujuk pada ajaran agama juga tidak diperkenankan.

Mungkin saja hal itu akan mengubah perempuan menjadi man-clone (duplikat laki-laki) yang mengabaikan sifat-sifat femininnya. Wallahu A’lam bi Asshwwab.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved