Opini
Caleg Muda, Pikiran Tua
Mereka adalah bagian dari mesin politik yang terus berputar dan membutuhkan kelompok baru untuk menjaga legitimasi mereka.
Oleh:
Sopian Tamrin
Dosen Sosiologi Universitas Negeri Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Semarak pentas politik 2024 mendatang ditandai oleh ramainya pasrtisipasi pencalonan caleg muda.
Dimana-mana wajah muda terpampang jelas dalam baliho di setiap perempatan jalan bahkan hingga lorong sempit.
Memang benar bahwa penanda ‘muda’ pertama adalah usia, namun dalam konteks politik, muda sama sekali tidak diimajinasikan dalam batasan itu.
Muda atau Pemuda dalam imajinasi kita adalah militansi, progressif, independen, idealis, revolusioner, dan hal lain yang senada. Dengan semua imajinasi itu, sehingga kita selalu berharap pemuda itu harapan.
“Banyak betul anak-anak masuk caleg” kata seorang pa bentor yang mungkin sudah bosan menatap senyum para caleg di baliho. Mengapa mereka maju beramai-ramai sebagai caleg.
Selain itu, pertanyaan lain adalah apa sih yang menarik dari fenomena caleg muda ini? Apakah karena mereka lebih muda diajak berpose dan tersenyum menawan dalam baliho? Mari kita lihat lebih dalam!
Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh caleg muda ini? Apakah mereka benar-benar membawa pemikiran segar dan perubahan besar?
Atau apakah mereka hanya menjadi boneka politik, atau justru sebagai anak mami dan papi politik? Anak mami politik itu adalah mereka yang maju karena ambisi orang tuanya.
Caleg muda adalah contoh sempurna bahwa reproduksi social kelas dominan itu benar-benar terjadi.
Mereka dilahirkan ke dalam keluarga politik yang berpengaruh dan dididik untuk mengikuti jejak para pendahulunya.
Tentu saja, dalam kontes pemikiran Bourdieu mereka hanya menjadi politisi mewakili habitus mereka, dimana mereka masih terkait dengan nama besar di baliknya.
Saya termasuk yang menyangsikan bahwa peritiwa revolusi politik bisa muncul dari kelompok muda seperti itu. Mengapa? Karena mereka adalah habitus lama dengan tampilan baru. Pikirannya tetap sama, berarti visi dan praktiknya juga akan sama.
Pemuda Sebagai Komoditas Politik
Sejak awal, diskursus ‘pemuda’ memang perlu diragukan, seringkali disuarakan oleh kekuasaan. Jika meminjam analisis Foucault bahwa produksi wacana (anak muda) atau distribusi pengetahuan terkaitnya adalah upaya kelompok politik dominan dalam melanggengkan kekuasaannya.
Oleh karena itu, anak muda tidak lebih dari terma marketing politik. Pertanyaannya kenapa harus terma pemuda? Karena mereka adalah komoditas yang menjanjikan dalam pasar suara pemilu. Anak muda adalah segmen pemilih dengan persentase kisaran 60 persen.
Jadi, bagaimana menilai caleg muda ini? Apakah keterlibatan anak muda salah? Tentu tidak, demokrasi sudah menyediakan ruang terbuka untuk semua.
Hanya saja kontestasi di arena social politik selalu dimenangkan oleh mereka yang unggul dalam capital.
Menurut Bourdieu ada empat capital yang memainkan peran dalam kontestasi, Kapital Ekonomi, capital budaya, capital social dan capital simbolik.
Saya sangat mencurigai yang muda kali ini hanya bagian dari operasi politik yang tua. Bagaimana tidak? Hampir seluruh anak muda yang muncul adalah putra-putri dalam habitus lama.
Mereka adalah generasi kedua atau ketiga dari politisi senior yang ambisi politiknya belum menua.
Tidak bisa juga dipungkiri bahwa caleg muda juga merupakan produk dari sistem politik yang ada.
Mereka adalah bagian dari mesin politik yang terus berputar dan membutuhkan kelompok baru untuk menjaga legitimasi mereka.
Mereka mungkin terlihat segar dan inovatif, tetapi perlu dan penting untuk diragukan karena mereka bisa saja hanya alat legitimasi bagi elit politik yang sudah mapan.
Dalam dunia politik yang penuh intrik dan kepentingan, mereka hanyalah bagian dari taktik pengendalian dan manuver kekuasaan dari actor politik yang sudah ada. Coba kita cermati sebagian besar di antara mereka adalah genealogi politik lama.
Tarolah kita sebut mereka adalah keluarga bupati, walikota, gubernur, mantan bupati, mantan gubernur atau mantan calon gubernur.
Selain itu, ada juga yang bagian dari anggota DPR ditingkat pusat hingga kabupaten. Paling kecil adalah keluarganya pak Desa.
Jadi? Tidak perlu terburu-buru berpikir bahwa mereka adalah nafas baru yang bisa membawa perubahan yang revolusioner.
Kalau kemudian ada anak muda berlatar aktivis memiliki jejak rekam yang baik mungkin mereka lebih baik. Namun ini adalah perkara sulit, karena kita akan kembali ke rumus kontestasi capital dalam arena social.
Pada akhirnya diskursus pemuda akan menguntungkan anak muda dari kelas dominan yang memiliki keunggulan modal ekonomi untuk merebut suara pemilih.
Terakhir penulis menegaskan bahwa masa depan politik kita tidak hanya bergantung pada usia, tetapi pada visi, komitmen, dan praktik baik yang telah mereka lakukan.
Kita juga tidak bisa lagi berpegang pada ‘janji’ yang sudah lama dikotori maknanya oleh politisi buruk. Mungkin kita juga perlu melihat melampaui retorika ‘pemuda’ dan melihat lebih dalam tentang bagaimana mereka terhubung dengan kekuasaan yang sudah ada.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.