Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Komunikasi ala Nabi yang Penuh Toleransi

Sirah Nabawiyah bermunculan dengan beragam versi. Ada sirah nabawiyah yang memotret kehidupan Rasulullah dari sudat pandang manajemen.

Editor: Sudirman
Ist
Adi Wijaya, Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin 

Adi Wijaya 

Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam STIBA Arrayah
 
Kehidupan Rasulullah, selalu menarik untuk ditelusuri.

Ditinjau dari sudut pandang apapun, kehidupan Rasulullah selalu penuh makna.

Sirah Nabawiyah bermunculan dengan beragam versi. Ada sirah nabawiyah yang memotret kehidupan Rasulullah dari sudat pandang manajemen.

Ada yang meninjau kehidupan Rasulullah sebagai seorang pendidik.

Termasuk mencoba menelusuri pola komunikasi yang dibangun Rasulullah.

Biasanya dalam ilmu komunikasi dikenal dengan pendekatan komunikasi profetik.

Rasulullah adalah komunikator yang sukses. Berhasil menyentuj perasaan sekaligus pemikiran.

Suku Aus dan Khazraj, yang awalnya saling dendam, berhasil didamaikan.

Rasulullah, komunikator yang berhasil merangkul keragaman menjadi satu kesatuan tanpa harus meninggalkan corak warna lama.

Bila menyeksamai model komunikasi Rasulullah, penuh dengan nilai toleransi.

Jadi formulanya adalah keragaman ditambah dengan toleransi yang benar, maka hasilnya adalah masyarakat yang kuat dan sejahtera.

Komunikasi ala Nabi yang penuh toleransi itu setidaknya bisa kita dapati dalam dua aspek.

Pertama saat membangun komunikasi antar sesama muslim. Kedua adalah toleransi dengan agama lain.

Komunikasi Toleran

Cermati cara Rasulullah berkomunikasi dengan sesama muslim, terutama para sahabat.

Komunikasi yang dibangun Rasulullah sangat “customize”.

Artinya pesan yang dikirimkan, disesuaik dengan karakter para sahabat.

Adakalanya Rasulullah menyebut jihad adalah amal terbaik.

Di lain waktu menyatakan berinfak adalah amalan termulia.

Atau berbakti kepada orang tua adalah amalan tertinggi.

Inilah pola komunikasi yang begitu simpatik dari Rasulullah, menyesuaikan dengan kapasitas komunikan (penerima pesan).

Jika komunikannya adalah orang yang fakir harta, tentu tidak elok kalau bilang infak adalah amalan terbaik.

Sang komunikan pasti akan berkecil hati.

Merasa surga terlalu jauh untuknya. Mungkin dia tidak punya harta, tetapi punya amalan lain yang jadi andalan.

Seperti sahabat Bilal bin Rabbah. Amalan andalannya bukan soal harta.

Namun amalan yang terkesan sederhana. Salat sunah wudhu.

Dan ternyata itu yang membuat suara sendalnya terdengar di surga.

Rasulullah juga paling tahu, model komunikasi yang disesuaikan dengan tingkat keimanan umatnya.

Sehabis Perang Hunain, harta rampasan perang begitu berlimpah.

Para mualaf yang baru masuk Islam, Rasulullah beri hadiah unta dan kambing, banyak sekali.

Sementara para sahabat yang telah lama berislam, Rasulullah sentuh hatinya yang sudah penuh dengan keimanan.

“Kepada mereka aku berikan sampah dunia dan kepada kalian cukuplah kutinggalkan Allah dan Rasul-Nya.” Kata Rasulullah.

Ternyata kalimat sakti itu berhasil membuat luluh hati para sahabat. Kambing dan unta tidak ada harganya bila dibandingkan dengan Allah dan Rasul-Nya.

Bagaimana dengan umat non-muslim? Komunikasi yang penuh toleransi juga Rasulullah contohkan.

Saat umat Islam yang menjadi dominan, menang dalam jumlah dan kekuatan, bukan alasan untuk menjadi tirani atas minoritas.

Di Madinah Islam berkuasa. Rasulullah tampil menjadi pemimpin spiritual, sekaligus politik.

Beliau tetap mengakomodasi umat lain. Piagam Madinah adalah fakta nyatanya.

Bagaimana Rasulullah bisa mengakomodasi semua kepentingan.

Bahkan dalam suasana perang, Rasulullah tetap mengomunikasikan nilai-nilai kemanusiaan.

Tahanan perang diperlakukan manusiawi.

Selepas Perang Badar, Rasulullah menawarkan pembebasan kepada tawanan perang dengan tebusan mengajarkan baca-tulis kepada anak-anak di Madinah.

Pewaris Komunikasi Nabi

Apa yang telah Rasulullah lakukan lewat teladan komunikasinya adalah satu warisan yang begitu berharga.

Satu teladan untuk para komunikator Islam di tengah umat.

Komunikator dalam makna sebagai pengirim pesan-pesan dakwah Islam.

Dari sekian banyak komunikator itu, kalangan ulama adalah salah satunya.

Kultur masyarakat Indonesia yang begitu dekat dengan Islam, membuat suara ulama punya daya panggil yang cukup kuat.

Maka peluang ini semoga saja bisa dimanfaatkan untuk mengomunikasikan nilai-nilai Islam, seperti cara Rasulullah.

Menyentuh umat sesuai dengan karakternya. Kalangan ulama terkadang memang harus ikhlas menurunkan standarnya.

Ketika berhadapan dengan umat yang belum tercerdaskan dan belum terbiasa dengan nilai-nilai Islam.

Bersedia menjawab keluhan dan pertanyaan dari umat yang mungkin bagi sang ulama terkesan sangat receh.

Membebani sesuai kapasitasnya, lewat dakwah yang customize, adalah contoh nyata toleransi Rasulullah kepada pengikutnya yang berbhineka.

Kemudian tetap simpatik dengan umat lain yang berseberangan keyakinan.

Soal keimanan kita mungkin berbeda, namun untuk urusan kemanusiaan kita sama. Inilah yang membuat komunikasi dakwah Rasulullah tersebar luas.

Tidak sekadar membangun argumentasi yang kuat tak terbantah, tetapi juga memperhatikan aspek kemanusiaan dalam penyampaian pesan dakwah.

Untuk yang berbeda keyakinan, prinsip utamanya adalah tidak ada paksaan dalam beragama.

Tugas komunikator hanya penyampai pesan. Ikut atau tidak, itu pembahasan hidayah, yang bukan ranahnya manusia.

Komunikasi yang penuh toleransi ini tetap harus dijaga.

Dibuat garis tegas antara toleransi kemanusiaan dan toleransi keimanan.

Komunikator Islam, terutama ulama, harus tampil memberikan “literasi toleransi”.

Bahwa toleransi untuk urusan keimanan adalah membiarkan dan menghormati, bukan turut mengikuti.

Prinsipnya jelas; untukmu agamamu, untukku agamaku.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved