Opini
Threads Versus Twitter, Apa Untungnya untuk Kita?
Pukulan telak mendarat di kubu Elon Musk—Meta mengambil posisi strategis dengan meluncurkan Threads.
Akhmad Saputra Syarif
Penulis dan Podcast Show Host
“A horse never runs so fast as when he has other horses to catch up and outpace” (Ovid, dalam buku Top Dog)
Pukulan telak mendarat di kubu Elon Musk—Meta mengambil posisi strategis dengan meluncurkan Threads.
Apa lagi, munculnya aplikasi sosial media cetusan Mark Zuckerberg tersebut di tengah kontroversi twitter yang membatasi akses twit pengguna setiap harinya.
Elon Musk melalui cuitannya di Twitter (2 Juli 2023) menginformasikan akan diberlakukan pembatasan, dimana: 1) Verified Accounts dibatasi membaca 6000 post/hari, 2) Unverified Accounts hanya dapat mengakses 600 postingan/harinya.
Sementara New Unverified Accounts tidak diperbolehkan membaca lebih dari 300 post/ hari.
Memilukan bukan ? di saat semua orang mengagungkan kebebasan akses informasi, malahan Twitter hadir dengan kebijakan yang kontradiktif. Melihat peluang ini, Mark Zuckerberg mengambil peran.
Menakutkannya, hanya dalam empat jam saja, Threads dengan gemilang menarik perhatian lima juta pengguna baru.
Berbeda dengan twitter dahulu, dimana aplikasi tersebut membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mencapai angka tiga juta pengguna.
Bahkan pencapaian paling cepat yang dapat dilakukan oleh twitter dari enam juta ke delapan juta pengguna membutuhkan waktu sebulan (Forbes, 2023).
Berita tersebut seakan menjadi mimpi buruk bagi Elon Musk, Tapi apakah benar seperti itu ?
Michael Wolf, Activate Consulting CEO, saat diwawancarai oleh CNBC menyangkal dengan tegas. Wolf menganggap Threads masih jauh untuk dikatakan twitter killer.
Sanggahannya dilatarbelakangi oleh beberapa alasan: 1) Threads harus bisa menarik 10 persen pengguna twitter dimana mereka semua adalah influencer yang bertanggung jawab dalam 90 % aliran konten di twitter.
2) Ini bukan kali pertama Meta mengopi Instagram menerapkan sebuah fitur yang serupa dengan Tik tok yakni reels.
Namun reels hanya menjadi bagian lain dari feature Instagram bagi penggunanya. Sehingga Wolf percaya bahwa Threads tidak akan menggantikan twitter.
Persaingan antara Twitter versus Threads ini melengkapi perang dingin para billionaire dunia.
Sebelumnya, Elon Musk menantang bos Meta untuk melakukan pertarungan di atas ring.
Kemudian ditanggapi “kirimkan lokasinya” oleh Mark Zuckerberg. Meski pada akhirnya ditanggapi humor oleh Elon Musk, namun persaingan keduanya terjadi di luar dunia maya.
Meski Bos twitter jauh di depan dengan mengantongi sebutan salah satu orang terkaya di muka bumi—Elon Musk memiliki net worth setara $234 Milyar.
Namun Mark Zuckerberg tidak dapat dipandang sebelah mata karena baru-baru saja menambah kekayaannya $2.7 Milyar, sementara Musk kehilangan $2.6 Milyar kekayaanya.
Banyak orang yang khawatir dengan persaingan ini, namun mungkin yang mereka berdua butuhkan adalah kondisi serupa dimana persaingan memberikan mereka motor untuk terus bergerak.
Serupa dengan persaingan James Hunt dan Niki Lauda dahulu di F1.
Pada tahun 1981, Norman Triplett melakukan sebuah percobaan untuk menjawab pertanyaan yang serupa: Apakah kompetisi menambah performa individu ?
Percobaan tersebut dikemas dengan membandingkan performa orang yang bersepeda sendiri dengan pada saat mereka bersepeda melawan pengendara sepeda lainnya.
Hasilnya, mereka yang berkompetisi menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang bersepeda sendiri melawan waktu—perhitungannya adalah 5 detik/mil lebih cepat.
Po Bronson dan Ashley Merryman (Top Dog, 2013) menekankan bahwa keuntungan utama dalam sebuah kompetisi bukanlah kemenangan, namun adalah peningkatan performa.
Kompetisi akan memicu individu untuk membebaskan cadangan usaha tersembunyi dalam diri.
Mari kita melirik bagaimana persaingan antara Coca-Cola dan Pepsi telah berlangsung lama sejak tahun 1800, dimana pertama kali Coca-Cola diperkenalkan pada tahun 1886 di Atlanta.
Dan tidak lama berselang—1889—Pepsi cola mulai merambah pasar di Carolina.
Persaingan tersebut memaksa ke dua belah pihak untuk bekerja lebih ekstra menghasilkan cara terbaik menyentuh pelanggan, meningkatkan produk dan juga bahkan inovasi kaleng ke dua minum tersebut.
Sebut saja: 1) pada tahun 1985, Coca cola melakukan aksi kontroversi dengan mengganti formula minuman mereka.
2) Pada tahun 1970an, Pepsi meluncurkan inovasi marketing yang kreatif “Pepsi Challenge”—dimana orang-orang akan diminta untuk memilih minuman soda paling nikmat sembari kedua mata mereka ditutup.
3) Pada tahun-tahun terakhir, kesadaran masyarakat bertambah mengenai minuman sehat, Coca-Cola dan Pepsi berlomba untuk membuat low- and no-calorie versi minuman mereka (Two teachers, 2022).
Pengharapannya kemudian, Persaingan ketat antar Elon Musk dan Mark Zuckerberg selalu menjadi tontonan yang menarik.
Juga, tontonan tersebut menandai bagaimana persaingan dalam bidang apapun akan menguatkan pula laju inovasi sektor tersebut.
Siapa pun dapat keluar sebagai pemenang, namun sejarah dan kita yang hidup di zaman sekarang akan menjadi saksi bagaimana dua billionaire ini membentuk dunia—sambil bermain Threads atau Twitter tentu saja.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.