Opini
Temu Rahasia Gus Dur- Peres di Bandara Halim
Indonesia bukannya tidak berupaya mendamaikan Iasrael-Palestina, melainkan secara diam-diam Presiden Abdurrahman Wahid Gus Dur kontak dengan Peres.
Oleh: M Dahlan Abubakar
Wartawan Senior
TRIBUN-TIMUR.COM - Sembari terbekuk di sofa ruang tamu rumah karena terserang flu berat sejak seminggu terakhir, saya tertegun atas dua berita penting, Rabu dan Kamis (29-30/3/2023).
Pertama, Tribun Timur menurunkan judul berita “JK: Damaikan Israel-Palestina Lewat Bola” dimuat pada halaman 1. Kamis siang, saya mengikuti “breaking News” Kompas TV berita yang lebih menghentakkan.
“FIFA Membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia (PD) U-20”. Pada layar kaca tampak wajah Zainuddin Amali, Menpora yang meninggalkan pos menteri untuk menjadi Wakil Ketua Umum PSSI.
Tawaran Pak JK dengan statemen itu jelas bukan sesuatu hal yang mustahil.
Sebab, selama ini perjuangan mendamaikan kedua pihak melalui meja perundingan selalu menemui jalan buntu.
Banyak negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik malah tetap tampil di berbagai event olahraga dunia.
Pada Piala Dunia 2022 Qatar, Amerika Serikat dan Iran yang tidak memiliki hubungan diplomatik pun bertemu di Grup B yang dimenangkan 1-0 oleh Amerika Serikat.
Dalam keterangannya, keputusan penolakan Indonesia sebagai tuan rumah sudah finis, tetapi soal keikutsertaan Indonesia dalam PD U-20 belum jelas.
Tetapi jika kita urut dari awal, keikutserrtaan dalam PD U-20 atas kesediaan Indonesia menjadi tuan rumah, sehingga bukan melalui babak kualifikasi dengan negara-negara lain.
Terkecuali, tuan rumah baru itu sudah lolos melalui prakualifikasi dan tergentung “belas kasihan” FIFA yang memikirkan 4 tahun pesiapan melaksanakan PD U-20 ini.
Masalah ini menjadi krusial dan bisa menjadi bahan diskursus di Indonesia sebab merujuk pada Piala Dunia 2022 Qatar, FIFA atas desakan sejumlah negara mencoret Rusia sebagai peserta Piala Dunia Qatar dan batal bertanding melawan Polandia.
Dosa Rusia adalah melakukan intervensi atas Ukraina. Padahal, Israel lolos ke PD U-20 per Juni 2022.
Saya melihat bahwa dalam kasus penetapan tuan rumah PD U-20 tidak dibahas secara komprehensif dengan lintaskementerian dengan menengok sejarah masa lalu dan hubungannya dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
Kasus penolakan FIFA terhadap Indonesia menjadi tuan rumah muncul setelah munculnya penolakan Gubernur Bali dan Gubernur Jawa Tengah atas kehadiran tim sepak bola Israel bertanding di Indonesia.
Alasannya, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan negara zionis tersebur.
Padahal, olahraga tidak mengenal diskriminasi dan politik.
Kasus ini muncul boleh jadi terilhami ketika Bung Karno menyelenggarakan Games of New Emerging Forse (Ganefo) di Indonesia.
Kehadiran Ganefo yang merupakan pesta olahraga negara-negara berkembang itu seolah menegaskan bahwa politik tidak bisa dipisahkan dengan olahraga.
Hal ini tentu sebagai bentuk aksi menentang doktrin Komite Olimpiade Internasional (KOI) yang berusaha memisahkan antara politik dan olahraga.
Keputusan Bung Karno dan Indonesia mendirikan Ganefo muncul setelah adanya kecaman KOI yang bermuatan politis pada Asian Games 1962 karena kala itu Indonesia tidak mengundang Israel dan Taiwan dengan alasan simpati terhadap Tiongkok dan negara-negara Arab.
Lantas aksi ini diprotes KOI karena Israel dan Taiwan merupakan anggota resmi KOI.
Sampai akhirnya KOI menangguhkan keanggotaan Indonesia, dan Indonesia diskors untuk mengikuti Olimpiade Musim Panas 1964 di Tokyo.
Ini pertama kalinya KOI menangguhkan keanggotaan suatu negara.
Ganefo dengan jargon Onward! No Retreat (Maju Terus! Pantang Mundur), berlangsung pada tanggal 10 sampai 22 November 1963.
Kejuaraan olahraga ala negara-negara anti imperialis ini diikuti sekitar 2.700 atlet dari 51 negara di Asia, Afrika, Eropa (Timur), dan Amerika Latin.
Indonesia bukannya tidak berupaya mendamaikan Iasrael-Palestina, melainkan secara diam-diam Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melakukan kontak rahasia dengan Perdana Menteri Shimon Prerez.
Saya ingat persis dari berita sepotong-sepotong kedatangan rahasia PM Israel tersebut yang disebut hanya berlangsung satu jam di Indonesia.
Padahal, kenyataannya tidak. Salah satu media luar negeri ALBALAD co.
Sabtu, 31 Oktober 2020 menurunkan satu tulisan hasil wawancaranya dengan Emanuel Shahaf, kepala stasiun “Mossad” (dinas rahasia luar negeri Israel) untuk Asia Tenggara.
“Agustus 2000 menjadi penanda penting dalam upaya Indonesia menjadi penengah dalam konflik Palestina-Israel.
Selain menerima lawatan pemimpin Palestina Yasir Arafat, di bulan itu pula Presiden Abdurrahman Wahid akrab disapa Gus Dur juga menyambut kunjungan Menteri Kerja Sama Regional Israel Shimon Peres.
Gus Dur ingin menjalankan prinsip sekaligus keyakinannya: kalau Indonesia ingin membantu penyelesaian perseteruan Palestina-Israel, maka Jakarta harus berhubungan dengan kedua pihak bertikai.
Akhirnya Peres terbang dari sebuah negara Skandinavia ke Jakarta, setelah sempat transit di Singapura.
Meski kunjungannya ke negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel itu dirahasiakan, namun Peres datang menumpang pesawat komersial dan duduk di kelas bisnis.
Pesawat membawa Peres mendarat di Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta pada suatu malam di Agustus 2000. Emanuel Shahaf, kepala stasiun Mossad (dinas rahasia luar negeri Israel) untuk Asia Tenggara, mengaku tidak ingat tanggal kedatangan Peres.
“Dia menginap semalam di Hotel Grand Hyatt (terletak di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, jantung Ibu Kota Jakarta,” kata Shahaf dalam wawancara dengan Albalad.
Shahaf adalah orang yang mengatur dan mempersiapkan kedatangan Peres ke Jakarta.
Dia baru sebulan bertugas di Asia Tenggara.
Meskipun tidak mau mengiyakan, kemungkinan besar dia menetap di Jakarta sebagai kepala stasiun Mossad buat Asia Tenggara.
Ada empat negara menjadi tanggung jawabnya, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Peres tidak datang sendirian.
Dia ditemani sekretaris persnya, Efrat Duvdevani, dan Oded Eran, Duta Besar Israel untuk Yordania sekaligus ketua tim perunding Israel dengan Palestina, dan satu agen Mossad.
Gus Dur meminjamkan mobil Mercedes antipeluru untuk dipakai rombongan Peres selama di Jakarta.
Dari bandar udara, Peres bareng dua anggota rombongannya itu semobil menuju Grand Hyatt. Perjalanan dikawal dua motor polisi.
Tadinya mobil ditumpangi Peres langsung masuk ke parkiran bawah tanah hotel, namun sopir dan polisi memutuskan Peres akan masuk dari pintu utama hotel.
Setibanya di lobi Grand Hyatt, mata Peres tertumpu pada Grand Cafe dan langsung melangkah ke sana, mengajak rombongan minum sebentar.
Seorang penyanyi baru menyelesaikan satu lagu kenal dengan wajah politikus Israel itu dan berucap kepada semua pengunjung kafe, “Mari kita sambut kehadiran Tuan Shimon Peres!”
Meski begitu, Peres beruntung awal milenia kedua ini belum ada media sosial di Indonesia.
Alhasil, wajahnya belum terlalu dikenal masyarakat Indonesia walau beragam kabar mengenai konflik Palestina-Israel akrab di telinga banyak orang.
Kalau saja sudah ada media sosial, tentu sulit merahasiakan kehadiran Peres di Jakarta. Foto-fotonya bakal bertebaran di Twitter atau Facebook.
Besok paginya, Peres bertemu Gus Dur dalam acara makan pagi selama dua jam di Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah.
Peres berpakaian formal dan Gus Dur berencana menghadiri kegiatan Pramuka setelah selesai agenda dengan Peres, berseragam Pramuka.
Dalam pertemuan itu, Peres lebih banyak berbicara mengenai situasi terkini di Timur Tengah dan Gus Dur sedikit bertanya.
“Pertemuan itu lebih mirip penyampaian situasi di Timur Tengah oleh Peres ketimbang sebuah diskusi,” ujar Shahaf.
Tidak ada pertukaran hadiah antara Gus Dur dan Peres. Di sela pertemuan, Shahaf memberitahu Gus Dur, Perdana Menteri Israel ingin bertemu dirinya di sela konferensi di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa bulan depan. Rencana itu terwujud.
Sehabis bertemu Gus Dur, Peres pelesiran ke Taman Mini Indonesia Indah, dilanjutkan dengan jamuan makan siang tertutup dihadiri 20-15 orang perwakilan dari polisi, tentara, akademisi, dan lembaga non-pemerintah.
Pertemuan Gus Dur-Peres tidak ada beritanya di media. Sebelum terbang kembali ke Tel Aviv, Peres empat membeli sejumlah dasi bermotif batik.
Di bulan itu pula, Gus Dur menerima lawatan pemimpin Palestina Yasir Arafat.
Kepada Peres dan Arafat, Gus Dur menawarkan Indonesia menjadi mediator dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel.
Namun Gus Dur mengakui hambatan terbesar mengenai status Yerusalem.
Pertemuan Gus Dur dengan Peres dan Arafat di Jakarta pada Agustus 2000 berlangsung di momen penting.
Kunjungan kedua tokoh itu terjadi sebulan setelah Perjanjian Camp David gagal dan sebulan menjelang meletupnya Intifadah Kedua lantaran kedatangan rombongan Menteri Luar Negeri Israel Ariel Sharn ke Al-Aqsa.
Lawatan Peres ke Jakarta merupakan kunjungan tokoh Israel kedua setelah Perdana Menteri Yitzhak Rabin menemui Presiden Soeharto pada 1993 di rumah pribadinya di kawasan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat.
Pertemuan Gus Dur dengan Peres dan Arafat di Jakarta menyampaikan dua pesan: kalau mau menjadi penengah, Indonesia harus berdialog dengan kedua pihak.
Indonesia juga harus dan pantas dilibatkan sebagai mediator dalam proses perdamaian Palestina-Israel.
Begitulah, narasi historis yang mungkin dapat memperkaya wawasan kita. Sekarang, semuanya telah terjadi. Nasi sudah jadi bubur.
Kita memang sudah melakukan persiapan sarana dan prasarana pertandingan sebagai tuan rumah PD U-20.
Namun abai mempersiapkan reaksi politis masyarakat yang belum siap menerima “sport without politic”, olahraga tanpa politik. (*).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.