Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Langit Ramadhan

Rukyat yang Ber-evolusi

Pandangan kedua menetapkan tanggal 1 Ramadhan untuk memulai berpuasa dengan perhitungan astronomi, ini disebut dengan Hisab.

Editor: Hasriyani Latif
DOK TRIBUN TIMUR
Cendekiawan Muslim Prof M Qasim Mathar. 

Oleh:
M Qasim Mathar
Cendekiawan Muslim

TRIBUN-TIMUR.COM - Bulan Ramadhan 1444 H. bertepatan dengan bulan Maret 2023 M. telah tiba.

Seperti pada banyak kalender penting keagamaan, semisal "bulan" Maulid, akan muncul dua pandangan yang berbeda.

Yaitu, pandangan yang membolehkan memperingati Maulid Nabi Muhammad.

Berarti ber-Maulid adalah halal.

Dan, pandangan yang melarangnya, berarti haram, paling ringan adalah bid'ah.

Begitu pula ketika bulan Desember tiba, saat Hari Natal diperingati, akan muncul dua pandangan dari kalangan Muslim.

Pandangan pertama ialah bahwa mengucapkan Selamat Hari Natal adalah boleh, tidak akan merusak keimanan seorang Muslim.

Sedang pandangan kedua ialah melarang ucapan Selamat Hari Natal, karena akan merusak keimanan seorang Muslim.

Begitu pulalah ketika bulan Ramadhan tiba, muncul dua pandangan yang sudah berabad-abad berlangsung.

Yaitu, tanggal 1 Ramadhan untuk memulai puasa hanya sah apabila bulan sabit dilihat pada saat magrib akhir Sya'ban. Pandangan ini disebut Ru'yat.

Pandangan kedua menetapkan tanggal 1 Ramadhan untuk memulai berpuasa dengan perhitungan astronomi, ini disebut dengan Hisab.

Dahulu, pada zaman kakek-nenek, apalagi moyang saya, perbedaan pandangan antara Ru'yat dan Hisab berlangsung dengan kehebohan. Juga saling ejek.

Tentu, apalagi jika terjadi perbedaan dalam menetapkan tanggal 1 Ramadhan.

Tentu tak kalah hebohnya dengan jika terjadi perbedaan dalam menetapkan akhir Ramadhan atau tanggal 1 Syawal yang menyebabkan terjadinya Hari Raya kembar Idul Fitri.

Sejarah mencatat bahwa astronom muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni, Ya'kub bin Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, Tsabit bin Qurrah, Al-Fazari dan Habash. Mereka itu hidup pada Zaman Kemajuan Islam pada abad klasik.

Adapun cara Nabi Muhammad menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal pada zamannya, dapat dipahami dari hadis-hadis yang artinya sebagai berikut:

"Berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu dengan melihatnya juga. Tetapi bila ada awan yang menghalangi, maka genapkanlah hitungan dan janganlah menyambut bulan baru." (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim).

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berhari-rayalah kalian karena melihat hilal. Apabila terhalang dari kamu sekalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh (HR. Bukhari)

"Sesungguhnya Rasulullah menyebut-nyebut ramadhan kemudian bersabda, “janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal. Dan janganlah kalian berhari raya sehingga kalian melihatnya. Apabila  terhalang dari kalian, maka perkirakanlah". (HR. Bukhari) 

Simak pulalah riwayat berikut:

“Hilal bulan Syawal tidak tampak bagi kami, maka kami puasa keesokan harinya. Kemudian datanglah para pelancong di akhir siang, dan bersaksi kepada Rasulullah bahwa mereka melihat hilal kemarin. Maka Nabi memerintahkan orang-orang untuk berbuka pada hari itu juga dan melaksanakan salat hari raya pada keesokan harinya.” (HR Ahmad).

Pada masa Nabi, hilal tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal di-rukyat dengan mata telanjang. Pada masa-masa selanjutnya, rukyat dibantu oleh teropong.

Ketika teropong semakin canggih, bulan sabit tanggal satu semakin sulit bersembunyi, kecuali terselubung oleh awan atau mendung.

Ketika astronomi pun semakin canggih, pengikut Hisab semakin menikmati bulan sabit awal bulan yang makin pasti posisinya.

Agaknya, ada evolusi dalam ber-Rukyat. Atau, jarak Rukyat ke Hisab semakin pendek?(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved