Opini Irfan Yahya
Gaduh Soal AI di Jagad Raya Medsos
Berbeda Jean Baudrillard, filsuf, sosiolog dan kritikus budaya Perancis punya pandangan tentang dampak teknologi, termasuk Artificial Intelligence
Oleh: Irfan Yahya
Alumni Program Doktor Departemen Sosiologi Unhas dan Akitivis Hidayatullah
TRIBUN-TIMUR.COM - Belakangan ini publik jagad raya medsos sedang heboh memperbincangkan soal Artificial Intelligence (AI). Salah satunya yang menjadi tranding topic saat ini adalah platform Generative Pre-trained Transformer (ChatGPT), platform yang berbasis AIyang menjadi bagian dari OpenAI.
OpenAI sendiri adalah laboratorium penelitan kecerdasan buatan yang terdiri atas perusahaan waralaba OpenAI LP dan perusahaan induk nirlabanya, OpenAI Inc. Beragam tanggapan muncul dengan basis argumentasi masing-masing.
ChatGPT merupakan teknologi yang mirip dengan chat room di mana user dapat menyampaikan pesan dan berbincang di dalam chat roomnya tentu dengan bot/AI. Chatbot akan menjawab pertanyaan seperti Google, akan tetapi format obrolannya seperti layaknya bertanya kepada manusia.
Sejak dirilis, ChatGPT ini digunakan oleh lebih dari 1 juta orang dalam kurun waktu lima hari saja. Dampaknya, sebagian orang gusar dan percaya bahwa skenario ini suatu saat dapat menjelma menjadi sebuah realitas yang semakin nyata dalam hidup manusia.
Stephen Hawking semasa hidupnya pernah secara gamblang mengungkapkan kegusarannya terkait proyeksi masa depan AI dapat menjadi ancaman nyata ummat manusia.
Elon Musk, yang notabene pemilik palfrom OpenAI itu sendiri, juga telah mengungkapkan keprihatinan tentang potensi efek negatif dari AI pada keberlangsungan hidup manusia.
Bahkan CEO dari Tesla dan SpaceX itu memperingatkan bahwa AI dapat menjadi "ancaman bagi keberadaan peradaban manusia" jika tidak dikembangkan dan dikontrol dengan cermat.
Walaupun sikapnya ini cenderung terkesan ambigu oleh sebgaian kalangan.
AI Jadi Ancaman?
Awal tahun 2021 tepatnya bulan April, Jurnal Science Alert merilis hasil penelitian yang dilakukan pada sekurangya sebelas orang pakar AI dan Ilmu Komputer.
Hasilnya sebayak 82 persen respondennya menyatakan AI bukanlah ancaman eksistensial manusia.
Begitupun dengan George Montanez, pakar AI dari Harvey Mudd College beranggapan bahwa robot dan sistem AI tidak perlu hidup untuk menjadi berbahaya, cukup menjadi alat yang efektif.
“Itu adalah ancaman yang ada saat ini," katanya.
Bahkan seorang Jack Ma, founder Alibaba mengatakan tidak ragu dengan kecanggihan sistem kerja robot yang dibenamkan chip AI, karena manusia memiliki hati, di hatilah sumber datangnya kebijaksanaan.
Berbeda dengan Jean Baudrillard, filsuf, sosiolog dan kritikus budaya Perancis memiliki pandangan tentang dampak teknologi, termasuk Artificial Intelligence.
Baudrillard yakin AI dapat menimbulkan tergerusnya realitas, akibat simulasi dan pengalaman virtual menjadi lebih umum dan tidak terpisahkan dari dunia nyata.
Baudrillard berpandangan skeptis tentang efek AI pada masyarakat. Pandangan ini erat kaitannya dengan teori Simulacra yang Ia bangun. Baudrillard berpendapat bahwa Simulacra bersandar pada salinan atau representasi realitas yang telah terlepas dari asal dan menggantikannya, yang mengakibatkan hilangnya perbedaan antara yang nyata dan yang buatan.
Menurut pandangannya, AI merupakan tahap akhir dari Simulacra, di mana simulasi dan pengalaman virtual menjadi sangat umum dan realistis sehingga menggantikan realitas itu sendiri.
Menurutnya pergeseran ini mengarah pada dunia hiperreal, di mana perbedaan apa yang nyata dan apa yang buatan menjadi tidak berarti, dan di mana realitas hanya sebuah simulasi atau imitasi dari dirinya sendiri.
Kecerdasan AI dan NHI
Kecerdasan buatan ( Artificial Intelligence, AI) dan kecerdasan alami manusia ( Natural Human Intelligence, NHI) merupakan dua bentuk kecerdasan yang sangat berbeda.
AI mempunyai kemampuan buataan untuk mempelajari dan memahami informasi melalui alur algoritma dan data, sedangkan NHI melibatkan elemen-elemen seperti pemikiran, emosi, dan pengalaman individu.
Pada sejumlah kasus, AI dapat menunjukkan kecerdasannya melampaui kecerdasan NHI. Seperti pada kasus kemampuan menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan pemrosesan data yang sangat besar dan cepat dalam waktu yang sangat singkat dengan hasil yang akurat tentunya.
AI juga konon mempunyai kecerdasan dalam memilih keputusan objektif lepas dari pengaruh elemenelemen seperti emosi dan bias pribadi. Namun, meskipun AI memiliki kemampuan yang luar biasa, NHI masih memiliki keunggulan tersendiri.
NHI memiliki kemampuan untuk memahami dan mengekspresikan emosi, membuat hubungan sosial dan bekerja sama dengan orang lain, dan memiliki kreativitas dan imajinasi.
Kemampuan ini sangat penting dalam beberapa profesi, seperti bidang seni, kreatif, dan pekerjaan yang ada kaitannya dengan interaksi dan prilaku manusia.
Kedua jenis kecerdasan ini saling melengkapi dan dapat bekerja sama untuk mencapai hasil yang lebih baik.
Dengan mengkobinasikan kecerdasan yang unik dari AI dan NHI, kiranya dapat menghadirkan solusi yang lebih baik dan efektif bagi kemaslahatan ummat manusia.
AI dan Dunia Pendidikan
Bukan hanya di jagad raya dunia medsos, dalam dunia pendidikan saat ini pun sedang dihebohkan dengan kehadiran AI dan mengundang sejumlah kontraversi.
Pada April 2023 lalu, sejumlah sekolah di AS membuat keputusan memblokir penggunaan ChatGPT, oleh publik AS, program kecerdasan buatan ini menjadi kontroversi akhir-akhir ini.
ChatGPT dideskripsikan sebagai program yang mampu menghasilkan tulisan yang sangat meyakinkan dan nyata mencakup berbagai mata pelajaran.
Sejumlah negara bagian di AS, otoritas pendidikannya secara resmi telah menerbitkan aturan pelarangan.
Hal itu didasarkan pada kekhawatiran dampak negatifnya pada pembelajaran anak didiknya. Juga tentang kekhawatiran keamanan dan keakuratan konten.
Walaupun demikian sejumlah tokoh pendidikan AS ada juga yang mengecam pelarangan pelarangan tersebut. Diantaranya, Salman Khan salah satu pemilik dan pendiri platform
pembelajaran internet gratis yang terkenal, Khan Academy.
Menurutnya melarang ChatGPT sepenuhnya adalah “pendekatan yang salah”. Khan justru memandang ChatGPT sebagai program yang “transformatif” untuk masa depan pendidikan. Mungkin disinilah pentingnya, mengkombinasikan antara kecerdasan AI dan kecerdasan NHI.
Tentunya AI dan NHI memiliki peran yang berbeda namun penting. AI dapat digunakan untuk membantu peserta didik belajar dengan lebih efisien dan mempersonalisasi pembelajaran mereka.
AI juga dapat membantu seorang tenaga pendidik dalam menilai dan mengevaluasi hasil belajar peserta didiknya.
Namun, meskipun AI memiliki banyak kemampuan, NHI masih memegang peran yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Para tenaga pendidik mempunyai potensi untuk memahami dan memotivasi peserta didiknya secara personal, pola interaksi yang kuat sehingga terjalin harmonisasi antara mereka, serta dapat mengembangkan potensinya masing-masing secara holistik.
Kombinasi antara keduanya melahirkan proses pendidikan yang lebih baik dan efektif. Tenaga pendidik dapat mengaplikasikan AI sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran, seperti memberikan umpan balik dan pengujian, sementara mereka tetap memegang peran utama dalam memotivasi dan membimbing peserta didiknya.
Al-Qalam dan Kemampuan Adaptasi
Dunia dewasa ini, dalam menghadapi era distrupsi yang dipicu oleh kecanggihan teknologi internet seperti AI, banyak individu dan organisasi memutar otak untuk menemukan solusi bagaimana mereka dapat survive dan berhasil mencapai tujuannya.
Pada kondisi dan situasi seperti ini, adaptive capacity menjadi sangat penting karena membantu individu dan organisasi untuk mengatasi perubahan dan menemukan solusi baru untuk mengatasi tantangan baru.
Adaptive capacity merupakan kemampuan sebuah sistem atau personal dalam menyesuaikan diri dan berubah seiring dengan perubahan lingkungan yang dihadapinya. Ini melibatkan kemampuan untuk mengenali dan mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang untuk meningkatkan kondisi dan hasil.
Beberapa hal yang dianggap dapat mempengaruhi adaptive capacity, seperti kemampuan untuk beradaptasi dengan teknologi baru, kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan pasar, dan kemampuan untuk memperkuat jaringan dan hubungan yang membantu dalam mengatasi tantangan.
Ada juga faktor internal seperti kemampuan untuk memimpin dan memotivasi staf, serta membangun kultur yang mendukung adaptasi dan perubahan.
Bagi ummat Islam, terkhusus bagi generasi pembelajarnya, telah tersedia sebuah “perangkat”, baik sebagai hardware atapun software sebagai basis nilai yang menjadi sandaran serta modal dalam adaptive capacity tersebut.
Bahwa perkembangan teknologi dengan segala macam kecanggihannya dijadikan sarana dan metode untuk melanggengkan visi dan orientasi hidup sebagaimana isi dan kandungan surah Al-Qalam ayat ke-1 sampai ayat ke-7.
Surah ini membimbing manusia agar memiliki cita-cita hidup yang jelas. Pada wahyu kedua inilah Allah Swt menginformasikan kepada setiap muslim untuk memantapkan keyakinan. Tidak mundur karena rintangan dan tidak takut karena celaan.
Digambarkan prospek hidup seorang muslim dengan bayangan yang indah, tidak akan menjadi gila, mendapatkan guna dan manfaat yang tidak terbatas, serta memiliki akhlak dan pribadi yang agung sebagai adaptive capacity dalam berselancar ditengah arus perubahan. Digambarkan pula akibat bagi orang-orang yang mengingkari-Nya.Wallahualam(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.