Opini
Merebut Ruang Publik
Sebagai ruang antara, ruang publik mesti menjadi sarana pertemuan antara kepentingan warga dengan kebijakan pemerintah.
Oleh:
Bahrul Amsal
Dosen Sosiologi FIS-H UNM
TRIBUN-TIMUR.COM - Dalam kancah kekinian, ruang publik merupakan arena kontestasi beragam pihak.
Para scholar ilmu sosial menyebutnya menjadi ring tanding kelompok religius, pengusaha, elite politik, dan kelompok intelektual berdasarkan kapital, habitus, dan ranahnya masing-masing.
Singkatnya, diibaratkan arena tarung, di ruang publik semua pihak memiliki kesempatan merepresentasikan eksistensinya berdasarkan kepentingan kelas sosialnya.
Ditambah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, ruang publik tersedot juga sampai ke ruang maya.
Sama halnya ruang publik real, ruang publik maya jauh lebih ingar bingar dikarenakan sifatnya yang cair, fleksibel, dan cepat.
Ke depan, ruang publik sebagai ruang sosial akan diramaikan dengan berbagai representasi kehadiran.
Lantaran telah masuk tahun politik, potongan tayangan, foto, flyer, atau bahkan cuplikan para elite politik akan makin marak berkelindan dengan sejumlah informasi sehari-hari.
Nuansa politik makin ke sini makin terasa. Baik ruang publik real maupun maya, diisi dengan beragam informasi grafis, simbolik, ataupun statistik memanfaatkan bahasa dan tanda dalam rangka merebut simpati publik.
Perkawinan antara demokrasi digital, pasar, dan politik semakin intens dan eksesif. Pertautan ketiganya tidak main-main, sampai membuat batas-batas kebenaran dan keontentikan di ranah publik, tempat semua partisipan berkecimpung, kian kabur.
Rasionalitas publik terancam
Di mana-mana setiap kontestasi politik ditandai dengan kemunculan social group. Demi mencapai tujuannya, yakni meraih simpati dan jaringan suara, kelompok-kelompok sosial dibentuk berdasarkan beragam variabel.
Tiba-tiba di tempat-tempat umum terjadi pertemuan-pertemuan khusus. Di warung kopi, sekretariat, atau alun-alun kota, bermunculan kelompok kepentingan.
Semuanya tumpah ruah mengkonsolidasikan diri demi mengusung kemenangan politik.
Sementara di aras maya, Anda tanpa diduga-duga sudah terjaring masuk di grup rumpun keluarga, ikatan alumni, kelompok profesi, atau bahkan tim pemenangan.
Tanpa disepakati seseorang telah mengikutkan Anda ke dalam beragam arena perkumpulan. Dengan keadaan semacam ini, sebagai seorang individu, mau tidak mau membuat diri kita tidak bisa lepas dari unsur-unsur ruang publik semacam itu.
Tapi, keberadaan kelompok sosial tidak menjamin akan membuat ruang publik menjadi ideal.
Dalam hal ini, ruang publik sebagai wahana pertukaran informasi, keterlibatan warga, dan ruang demokratis, akan terancam apabila kegiatan yang berbau politik masih mengedepankan semangat kesukuan, kepentingan sempit sektoral, dan politik hitam.
Tiga hal ini telah lama menjadi lumrah dikarenakan rasionalitas yang menjadi elemen penting dalam komunikasi politik tidak dikedepankan.
Ditambah hoaks masih menjadi momok sehari-hari yang bercampur dalam kegiatan komunikasi warga.
Perlu diingat, kegiatan politik sebenarnya dilakukan untuk menjunjung kebaikan bersama, yakni menciptakan tatanan masyarakat demokratis, sejahtera, dan adil.
Para ilmuwan politik dalam hal ini memberikan prasyarat agar politik dapat berjalan dengan baik, yaitu kehadiran nalar publik.
Nalar publik, singkatnya merupakan kemampuan bergagasan yang mengedepankan konsensus publik berdasarkan asas inklusifitas, demokratis, dan adil.
Dalam hal ini rasionalitas publik akan terancam jika dalam memanfaatkan ruang publik pihak yang terlibat di dalamnya lebih mengedepankan ego pribadi, kelompok, atau kelas sosialnya.
Dengan kata lain, jika keadaan ini terjadi maka tidak lama lagi ruang publik akan mengalami privatisasi, komersialisasi, dan depolitisasi.
Melemahnya warga negara
Kekuatan ruang publik ada pada keterlibatan warga dalam menentukan opini publik, yang kemudian akan melahirkan aksi kolektif.
Dalam rangka ini, warga menjadi penilik yang cermat memanfaatkan ruang publik sebagai ruang antara.
Sebagai ruang antara, ruang publik mesti menjadi sarana pertemuan antara kepentingan warga dengan kebijakan pemerintah.
Apabila partisipasi warga dalam ruang publik melemah, maka akan menjerumuskan kehidupan masyarakat kepada titik parstipatif sebagai konsumen belaka.
Warga akan dikangkangi kepentingan komersial pasar, dibenturkan kepentingan elite pejabat, atau akan mudah digiring kepada kebenaran-kebenaran semu.
Dari kacamata yang lebih kritis, dalam ekosistem seperti itu, hanya ada dua pihak yang lebih dominan mendapatkan perhatian, yaitu kelompok pemodal, dan elite politik.
Hanya aspirasi kedua pihak ini sajalah, bahkan ruang publik diberadakan. Sementara kelompok sosial yang lemah secara ekonomi dan politik, tidak akan mendapatkan tempat dalam arus wacana, pengambilan, dan penentuan kebijakan publik.
Berkebalikan dengan keadaan di atas, partisipasi publik akan mendorong terciptanya kontrol sosial dan kritik sosial.
Terlebih jika itu diisi oleh kelompok masyarakat yang mewakili lapisan akar rumput. Dengan kemunculan kelompok penyeimbang seperti ini akan membuat ruang publik lebih steril dibandingkan jika wacana dominan lebih ditentukan oleh dua pihak sebelumnya.
Selama ini, baik real atau maya, ruang publik lebih banyak diisi oleh riuh rendah komiditi pasar dan suara tinggi semboyan politik tanpa kehadiran suara kritis warga.
Akibat melemahnya suara kritis warga, ruang publik seperti selama ini terjadi akan mengalami pembajakan alih-alih menjadi arena edukasi masyarakat.
Oleh karena itu, akan sangat penting jika ruang publik disadari oleh kelompok-kelompok akar rumput untuk menjadikannya sebagai arena kepentingan warga publik.
Suara kolektif
Telah dinyatakan sebelumnya, ruang publik adalah ruang antara, yaitu medium tengah yang mempertemukan beragam pihak dengan pemerintah.
Karena sifatnya yang demikian, sebenarnya ruang publik merupakan ruang negosiasi untuk meredam komodifikasi dan depolitisasi yang membuat pihak-pihak di dalamnya mengalami kekalahan oleh kelompok pemodal dan elite politik.
Selama ini kenyataannya ruang publik kita tumbuh dan berkembang tanpa berpihak kepada kepentingan publik yang asalnya dari suara kolektif masyarakat.
Salah satu sebab yang membuat itu terjadi karena tidak ada wacana bersama yang ditopang intelektual, tokoh, dan organisasi masyarakat yang betul-betul mewakili keresahan dan harapan publik.
Karena kekosongan inilah, selama ini ruang publik kita lebih mengarah kepada kepentingan ekonomi pasar dan elite kekuasaan.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/Bahrul-Amsal-Dosen-Sosiologi-FIS-H-UNM-vg.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.