Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Mulawarman

Catatan atas Pidato Dato Seri Anwar Ibrahim: Kepemimpinan dan Artikulasi Gagasan

Dato Seri Anwar Ibrahim mengartikulasi gagasannya melalui sejumlah bacaan berbagai buku karya Bung Hatta, Natsir, Mochtar Lubis, hingga Buya Hamka

Editor: AS Kambie
DOK PRIBADI
Mulawarman, jurnalis senior/alumnus FEB Unhas 

Oleh: Mulawarman
Jurnalis/Alumnus FEB Unhasi Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM - Pekan lalu, Dato Seri Anwar Ibrahim (DSAI) menyampaikan pidato yang sangat menginspirasi di depan ratusan tokoh Indonesia di ruangan auditorium Bank Mega. Pada acara bertema CT Corp Leadership Forum ini, PM Malaysia itu bicara banyak hal, mulai dari soal kepemimpinan, korupsi, demokrasi, ekonomi, kemanusiaan, keadilan sosial, hingga pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Moment orasi PM Malaysia itu dapat dipahami bukan hanya terkait dengan kecakapannya membahas topik acara an-sich, namun sesungguhnya dapat menjadi moment kritik bagi bangsa kita, terlebih lagi bagi para elit politik kita. Sejauh kita mau secara terbuka dan lapang dada, menerima masukan untuk kemajuan negeri ini.

Lalu, apa makna semua pidato itu bagi kita? Relevansinya bagi transformasi kepemimpinan politik di Sulsel? Apa yang bisa kita teladani dari setiap pesan yang disampaikan Anwar untuk para pemimpin kita memperbaiki situasi dan kondisi saat ini?

Pemimpin, Buku, dan Pengalaman

Pidato Dato Seri Anwar Ibrahim kurang lebih selama 36 menit 36 detik. Dato Seri Anwar Ibrahim berhasil memukau audiens dengan kemampuannya mengartikulasi setiap gagasannya melalui sejumlah bacaan dari berbagai buku karya pemikir bangsa mulai dari Bung Hatta, Natsir, Mochtar Lubis serta para sastrawan besar bangsa ini seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane hingga sastrawan sekaligus ulama, yakni Buya Hamka.

Tidak ketinggalan, dia mengutip banyak pemikiran ahli dan ilmuwan barat, seperti JM Keynes, Oswald Spengler melalui bukunya yang berjudul The Decline of the West, Francis Fukuyama tentang democratic accountability, hingga Ortega Y Gasset dengan bukunya yang berjudul The Revolt of the Masses.

Yang menarik, di antara kepiawaiannya mengungkapkan sejumlah pemikirannya dari buku-buku itu, Anwar mampu menghubungkan dengan sejumlah dalil Quran dan Hadis. Diperkaya dengan pemikiran tokoh Islam dari Imam Ali, Al Ghazali, hingga Ibnu Rusd.

Semua dibuat terpukau dengan kemampuan orasi PM Malaysia ini. Sosoknya disebut seperti singa podium, yang mengaung keras, membuat gentar setiap orang yang mendengarnya. Suaranya lugas dan jelas, serta sarat pengalaman, sehingga membuat topik-topik yang besar semacam leadership, demokrasi, oligarki, dan lain sebagainya, lebih mudah dipahami.

Saat bicara kepemimpinan, dia menghubungkan konsep modern itu dengan nilai-nilai Islam. Yang disebutkannya harus memiliki akuntabel bukan hanya pada publik tapi juga dunia akhirat. Dia mengutisp Hadist Nabi, "Kamu itu adalah pemimpin di muka bumi, tapi akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat". Karenanya, menurut dia, pemimpin harus jadi teladan. “Tidak boleh pemimpin menjanjikan sesuatu, tapi tidak melakukannya,” katanya sambil mengutip surat As-Shaft ayat 2. Dia meyakini bahwa seluruh masalah bangsa, solusinya mulai dari seorang pemimpin. Sehingga masyarakat harus menemukan pemimpin yang baik.

Pemimpin yang telah terpilih dari demokrasi, lanjutnya, harus mampu menyerap aspirasi rakyatnya. Mereka memimpin dengan cara-cara yang benar. Dia mengutip pemikiran Fukuyama tentang "Democratic Accountability", yang mengingatkan agar proses Pemilu haruslah dilaksanakan dengan jalan benar, jangan melakukan pemilu secara curang. Selanjutnya, bila sudah memimpin haruslah men-delivery, alias menyesuaikan perkataan dengan perbuatan. Janji dan perbuatan seorang pemimpin tidak boleh bertentangan.

Pandangan Dato Seri Anwar Ibrahim bahwa keberhasilan demokrasi tidak dapat diukur dari pelaksanaan Pemilu, namun sejauhmana relevansinya bagi masyarakat, yang terkait erat dengan moral dan etika. “Orang yang menang karena suara rakyat, apakah dia menang dengan etika yang benar, dan apakah setelah berkuasa mereka jujur?,” tanyanya.

Konsepsinya tentang demokrasi seperti mengingatkan kita akan pandangan demokrasi prosedural yang dikenalkan oleh Joseph Schumpeter (2003). Sebuah konsep yang melihat demokrasi hanya dipahami pada proses memilih pemimpin melalui pemilu. Konsep ini belakangan banyak mendapat kritik karena seringkali tidak berdampak pada kebebasan masyarakat, yang ditandai dengan pemilu curang, rekayasa dan mobilisasi massa. Para ahli mengajukan demokrasi substantif yang lebih sesuai dengan tujuan demokrasi yakni kesejahteraan masyarakat.

Anwar tampak sangat fasih bicara demokrasi, kepemimpinan, dan Islam. Hal itu bukan hanya berdasarkan keluasan bacaannya terhadap buku-buku selama ini, namun juga gabungan pengalaman bersentuhan dengan penderitaan dan kegetiran masyarakatnya. Karena persoalan politik, dia harus mendekam dipenjara selama 10 tahun. “Saya dipenjara merasa tidak ada kebebasan, namun setelah keluar dan melihat banyak masyarakat yang kesulitan, dari mereka kita tahu bahwa ternyata ada yang lebih menderita kebebasannya dibanding saya,” ujarnya.

Dari NATO ke Leadership Capacity

Dari Dato Seri Anwar Ibrahim kita belajar tentang riwayat kelahiran seorang pemimpin. Kapasitas dan pengalaman mereka dipenuhi oleh luasnya bacaan buku-buku bermutu dan ditempa oleh penderitaan serta kesulitan dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Meski risiko penjara dan nyawa yang kerap menjadi taruhannya, namun tak gentar dihadapi.

Tak ubahnya para founding fathers dan pemimpin bangsa kita, sejak Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan lain sebagainya, di mana kritisismenya lahir dari hasil membaca banyak buku ditambah pengalaman politik perjuangannya.

Saat ini, adakah para pemimpin dan politisi kita baik di Sulsel maupun level nasional seperti para pendahulu. Dari Gubernur, Walikota, bupati, hingga politisi DPR dan DPRD di 24 kabupaten/kota di Sulsel. Atau yang paling dekat, menyamai dengan kapasitas bacaan seperti sosok Anwar Ibrahim yang baru saja berkunjung ke Indonesia pekan kemarin. Silakan jawab sendiri.

Dari ini, pastinya bukan soal jawabannya yang penting, namun sejauhmana kita menemukan relevansi kemampuan artikulasi pidato seorang pemimpin dengan kapasitas leadershipnya dalam mengatasi beragam permasalahan bangsa dan negara. Karena sering ada anggapan, No Action Talk Only alias NATO.

Anggapan NATO tidak berarti harus apriori dengan syarat bahwa seorang pemimpin harus cakap dan menguasai ragam informasi dari hasil bacaan dan pengamatannya. Karena mustahil pemimpin mampu menyelesaikan masalah bila tidak pernah membaca buku atau minus pengalaman.

Bagaimana mau bekerja, seorang pemimpin kalau tidak mengerti persoalan. Tidak bisa menganalisa dan tidak dapat memberikan solusi. Lihat saja kalau saat moment-moment pidato para pejabat kita, dari level walikota bupati, hingga politisi legislatif, hanya berpatokan pada teks yang dibuat oleh protokoler. Jangankan pidato bisa menggugah dan menginspirasi, tidak disalahpahami saja sudah cukup. Karenanya tidak berlebihan bila saat pidato, ada saja, politisi kita yang terkantuk-kantuk karena yang disampaikan dan cara menyampaikannya membosankan.

Karenanya jangan sampai jadi bahan ejekan: “di kita, jangankan mengharapkan pemimpin yang punya kapasitas leadership, menemukan calon pemimpin yang NATO alias cakap bicara dengan bacaan dan kemampuan orasi yang bagus saja sudah sulit”.

Karena itu tantangannya di Sulsel khususnya dan Indonesia pada umumnya dalam transformasi politik masa depan adalah mendorong para politisi dan pemimpin kita memiliki banyak pengetahuan dari hasil membaca buku sekaligus juga mampu memiliki kapasitas dalam menyelesaikan berbagai permasalahan masyarakat, tidak sekadar bicara alias NATO dan berbohong dengan laku dan aksi pencitraan palsu. Tabe.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kajili-jili!

 

Kajili-jili!

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved