Opini
Lalai
Lalai adalah kurang hati-hati terhadap aturan yang telah ditetapkan baik itu berupa kewajiban ataupun pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Oleh: Abdul Gafar
Pendidik di Departemen Ilmu Komunikasi Unhas Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Salah satu sikap yang sering dilakukan manusia adalah membiarkan sesuatu terjadi. Sesuatu yang terjadi itu biasanya berefek negatif atau merusak.
Kelalaan ini terjadi di semua level,baik itu orang pandai ataupun bodoh, orang kaya maupun si miskin, pejabat maupun bukan pejabat, penjahat maupun bukan penjahat. Semua dapat terkena imbas dari kelalaian yang dilakukannya.
Lalai adalah kurang hati-hati terhadap aturan yang telah ditetapkan baik itu berupa kewajiban ataupun pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Dalam aturan hukum kita, kelalaian ini dapat dikenakan pelanggaran berdasarkan pasal 359 KUHP yang berbunyi: ”Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.
Terkait pasal kelalaian yang menyebabkan kematian dalam Pasal 359 KUHP di atas, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa mati orang di sini tidak dimaksud sama sekali oleh terdakwa, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari kurang hati-hati atau lalainya terdakwa.
Sebagai contoh kasus yang baru-baru ini terjadi dalam acara tarik tambang IKA Unhas di Makassar untuk memecahkan rekor MURI. Kegiatan ini direncanakan diikuti oleh sekitar 5000-an peserta.
Acara yang mulanya meriah akhirnya berubah menjadi histeris karena memakan korban tewas akibat salah seorang peserta jatuh terrpental hingga membentur pembatas jalan. Dari kejadian ini : siapa yang lalai ? Panitiakah atau peserta tarik tambang ?
Apabila kita melihat perkembangan yang terjadi di negeri ini cukup banyak contoh yang dapat ditampilkan akibat kelalaian atau kesengajaan yang terjadi. Saat ini musim hujan mulai berjatuhan ke bumi. Banjir terjadi di beberapa tempat.
Baik di jalan mapun di kawasan permukiman warga. Mengapa dapat terjadi banjir hingga mengganggu kenyamanan dan keamanan kita ? Bukankah sebelum dilakukan pengerjaan proyek sudah dilakukan berbagai perhitungan terhadap akibat yang mungkin dapat ditimbulkannya ?
Misalnya membangun kawasan perumahan yang menempati lahan persawahan. Dikemanakan larinya air yang biasa bermukim di situ ? Bagaimana sistem drainase yang mampu berfungsi secara maksimal menanggulangi banjir yang mungkin dapat terjadi ? Kondisi ini sudah terjadi bertahun-tahun tanpa jalan keluar yang terbaik.
Air selokan mengalir di atas jalan karena alurnya tertutup oleh beton-beton atau tumpukan sampah yang mengganjal.
Di jalan raya utama saja sudah biasa kita saksikan kumpulan air yang ‘menggenang’ di atasnya. Membangun jalan tanpa memperhitungkan tingkat kemiringan.
Akibatnya, air menumpuk di tengah-tengah karena tidak dapat menemukan jalannya. Lihat Jalan Urip Sumiharjo, Jalan Perintis Kemedekaan tidak pernah sepi dari genangan air jika terjadi hujan yang cukup deras.