Opini Tribun Timur
Belajar “Jugalah” Sampai Ke Negeri Qatar!
Sebuah paradoks, karena memiliki SDA yang melimpah namun masyarakatnya tetap miskin. Masih jauh dari kondisi hidup sejahtera.

Oleh:
Ilyas Alimuddin
Dosen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FEB UHO
Alumni Pasca Sarjana EPP UNHAS
TRIBUN-TIMUR.COM - Richard Auty pada tahun 1993 dalam bukunya “Sustaining Development in Mineral Economies: The Resource Curse Thesis” memperkenalkan istilah Natural Resourches Curse (NRC) atau Kutukan Sumber Daya Alam.
NRC atau dikenal juga dengan istilah paradoks keberlimpahan merujuk pada negara atau daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan tidak mampu memanfaatkan SDA tersebut untuk mendorong perekonomiannya sehingga memiliki pertumbuhan ekonomi yang lambat dibanding negara-negara yang memiliki SDA yang sedikit.
Sebuah paradoks, karena memiliki SDA yang melimpah namun masyarakatnya tetap miskin. Masih jauh dari kondisi hidup sejahtera.
Tidak sulit untuk mengindera fakta paradoks keberlimpahan ini karena ia begitu lekat dengan kehidupan negeri ini. Dalam konteks global dapat ditemukan pada kondisi negara-negara di Amerika Latin, Kawasan Asia dan Sub Sahara Afrika.
Negara-negara di Amerika Latin maupun Sub Sahara Afrika adalah wilayah diberkahi dengan limpahan sumber daya alam yang kaya.
Pun, Tak bisa disangkal pula bahwa kantong-kantong kemiskinan, epicentrum kemelaratan di semesta ini terkosentrasi di benua Afrika dan Amerika Latin, termasuk pula di Asia.
Sebut saja negara Burundi, Somalia, Sierra Leone, Kongo, Afganistan, Venezuela, Bolivia dan lainnya.
Namun tesis Auty tentang paradoks keberlimpahan ini sejatinya tidak berlaku bagi Negara Qatar. Kemewahan dan kemegahan penyelenggaraan Piala Dunia 2022 mengkonfirmasi lebih jauh betapa sejahteranya negara yang baru merdeka tahun 1971 tersebut.
Qatar adalah negara yang kaya akan minyak bumi serta gas alam cair (LNG) dan pada saat yang sama Qatar menjadi negara kaya dengan PDB perkapita sebesar US$. 61.275,99 atau sekitar Rp. 1,46 miliar pertahun.
Bandingkan dengan PDB perkapita Indonesia yang hanya US$. 4.349 setahun.
Qatar adalah protype negara yang sukses memanfaatkan kekayaan alamnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Minyak bumi dan LNG yang melimpah dikelola dengan baik, begitupula hasilnya betul-betul dipergunakan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Dengan hasil pengelolaan tambang yang melimpah, pemerintah (Raja) Qatar tidak perlu menarik pajak untuk membiayai pembangunan negara.
Bagi Raja Qatar, pajak hanya akan membebani rakyat. Bandingkan lagi dengan banyak negara di dunia ini, termasuk Indonesia yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara.
Bagi Indonesia yang sekitar 80 persen sumber pendapatan negaranya berasal dari pajak, tentu sangat riskan jika wajib pajak enggan membayar pajak.
Selain tidak mengenakan pajak, Pemerintah Qatar juga menggratiskan layanan-layanan umum kepada mayarakat. Pendidikan gratis, kesehatan gratis, Listrik dan air juga gratis. Lapangan kerja terbuka lebar, sehingga sangat wajar kalau angka pengangguran di Qatar hanya sekitar 0,10 persen. Jadi bagaimana rakyatnya tidak sejahtera, negara begitu perhatian terhadap mereka.
Tak ada pajak, layanan umum gratis, lapangan kerja terbuka lebar, hidup seakan berada di dunia utopia yang menjadi nyata.
Mungkin ada yang mengatakan bahwa tidk tepat mengkomparasikan Qatar dengan negeri ini. Sangat cacat logika, fallacy of composition istilahnya.
Sangat tidak adil membandingkan antara Qatar dengan Indonesia yang luas wilayahnya hanya 11.521 km2 dengan wilayah nusantara yang mencapai 1,905 juta km2 .
Sangat tidak proporsional membandingkan dua negara yang jumlah penduduknya sangat berbeda jauh, Qatar hanya memiliki jumlah penduduk sekitar 2,9 juta jiwa sementara Indonesia memiliki penduduk lebih dari 270 juta jiwa.
Tentu lebih mudah mensejahterakan penduduk yang sedikit dibanding yang banyak. Belum lagi kompleksitas negara seperti indonesia tidak patut dibandingkan dengan homogenitas negara Qatar.
Menarik untuk mencermati hasil kajian Rahma dkk tahun 2021 yang berjudul Fenomena Natural Resource Curse dalam Pembangunan Wilayah Di Indonesia, menemukan bahwa Fenomena NRC lebih rentan terjadi pada provinsi dengan ketergantungan SDA tambang yang lebih besar.
Lima provinsi yang paling rentan NRC adalah Kalimantan Timur, Papua, Papua Barat, Riau dan Aceh. Fakta ini mengkonfirmasi bahwa provinsi-pronvinsi kaya SDA tersebut tidak cukup mampu menciptakan kinerja pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya yang sebanding dengan nilai kekayaan SDA tambang yang selama ini sudah dieksploitasi dari dalam bumi wilayahnya.
Penjelasan sederhana untuk memahami fenomena ini dapat disaksikan dari dua provinsi kaya SDA yakni Aceh dan Papua.
Aceh penghasil LNG terbesar di tanah air dan Papua penghasil emas terbesar ternyata menjadi dua provinsi yang memiliki persentase kemiskinan tertinggi di Indonesia. Dua provinsi yang kaya tapi penduduknya masih banyak yang miskin membuktikan bahwa paradoks keberlimpahan itu nyata adanya.
Kalaulah saja provinsi-provinsi kaya tersebut bisa memanfaatkan keberlimpahan SDA dengan baik maka tentu akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional.
Dari Qatar kita juga bisa belajar, kalau negara punya banyak uang tidak tersandera oleh banyak utang maka negara bisa melakukan apa saja.
Seperti kata peribahasa China: “Kalau punya banyak uang, bahkan Tuhan pun bisa diajak bincang-bincang”. Bukan hanya sukses menyelenggarakan event internasional sekelas Piala Dunia dengan megah namun juga bisa memberlakukan aturan sendiri dengan tegas.
Misalnya saja Piala dunia tanpa alkohol, tak ada prostitusi, tak boleh ada dukungan pada perilaku LGBT dan sebagainya. Meski banyak komunitas bahkan negara yang memprotes, Qatar tak Peduli. Aturan tetap aturan, tak ada kompromi.
Qatar bisa seperti itu karena negara tersebut tidak tergantung kepada “investasi” asing apalagi utang dari negara lain.
Mereka kaya karena usaha sendiri. Kesejahteraan yang tegak di atas pijakan kemandirian. Sehingga tidak mudah untuk mengintervensi negara tersebut.(*)