Opini Mulawarman
Gempa Cianjur, Syahwat dan Anomali Politik
Manusia adalah serigala bagi manusia yang lain. Memangsa atas yang lain, karena keinginan untuk menguasai atau memiliki yang lain.
Kita inventarisir masalah masalah yang hingga kini belum juga selesai. Mulai dari masalah kemiskinan, pengangguran, korupsi, hingga masalah gizi buruk. Data BPS jelas menyebutkan kasus kemiskinan sejak 10 tahun terakhir ini tdk kunjung mengalami penurunan. Demikian juga angka pengangguran, yang grafiknya tdk cukup buruk dengan kemiskinan.
Teranyar adalah kasus penanganan gempa Cianjur yang banyak mengklaim tidak efektif menyelesaikannya, dari tahap tanggap darurat, recovery hingga proses pemulihan, penanganannya buruk dan tidak berjalan. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak total menyelesaikan permasalahan sosial.
Di mana mereka, saat gempa terjadi? Di mana para politisi itu saat warga di dapil meminta uluran tangan dan bantuan. Dan dimana mereka saat warga butuh cepat penanganan dan lepas dari kekhawatiran. Semuanya itu terjawab mudah, karena mereka tengah sibuk mengurusi perilaku politiknya. Manuver politiknya.
Fokus mereka di politik membuat mereka abai dari perhatian kepada masyarakat. Mereka seakan tidak sadar bahwa mereka dipilih oleh rakyat. Digaji oleh pajak rakyat. Sementara mereka berpesta di atas derita rakyat.
Mereka bisa saja berdalih bahwa yang dilakukannya adalah amanah rakyat. Berjuang untuk rakyat? Namun, bisa dibalikkan: Apa iya semua motif itu untuk rakyat. Apakah betul rakyat merasakan? Apakah betul dilakukan untuk memperjuangkan kesejahteraan? Apa buktinya? Dan mengapa harus dilakukan dengan cara dikomunikasikan melalui cara manuver politik, rumor tiga periode, dan lain sebagainya.
Adakah manuver politik itu lebih penting dibandingkan mengurus masalah riil rakyat? Adakah yang lebih penting mengurus koalisi dibandingkan dengan menyediakan beras terjangkau, BBM tersedia, dan ekonomi yang stabil.
Bila jawaban Anda politik lebih penting, berarti Anda tiidak punya empati publik dan tuna sosial. Cukup publik mengetahui pemimpin yang seperti itu hanya untuk mementingkan diri sendiri. Tidak perlu dipilih lagi bila pemilu mendatang.
Bisa saja stelah salah pun mereka berdalih, bahwa atas semua masalah yang terjadi, mereka mengklaim sudah ada bagiannya yang mengurusnya. Ada kementerian, ada dinas, dan ada lain-lain yang mengurus urusan teknis. Biarkan kami mengerjakan yang lain. Toh, kerja dinas itu karena kita yang mendorongnya sehingga bisa sesuai dengan harapan.
Bila tugas politisi bukan mengurus perlindungan kesejahteraan dan penyelamatan warga, apa fungsinya mereka. Bila ada problem warga lantas berdalih bukan urusan saya karena sudah ada yang mengurusnya, lalu apa kapasitas mereka sebagai pejabat negara?
Padahal ketentuan sebagai pejabat negara diatur dalam UU, untuk secara aktif dan efektif mengatasi berbagai permasalahan dan aduan masyarakat. Kemiskinan, pengangguran dan bencana adalah rill masalah yang dihadapi, yang bila tidak mampu mengatasinya berarti melanggar tanggung jawabnya kepada negara.
Sungguh di negara-negara lain, bila ada masalah yang terjadi dalalam kepemimpinan seseorang pejabat, maka pejabat yang bersangkutan akan dengan penuh tanggungjawab mundur dari jabatannya. Hal ini karena mengaku atas kelalaian dan ketidakmampuannya dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Sehingga bentuk akuntabilitasnya adalah mundur.
Dan apa iya? Dinas bekerja karena stelah didorong paksa oleh para politisi? Apa buktinya? Bukankah sebelum dan sesudah ada para politisi itu bertugas, mereka para birokrasi tetap bekerja menjalankan tupoksi nya, meski sering tidak efektif atau juga cenderung terlalu birokratik, dan hasilnya tidak sesuai yg diharapkan, namun mereka tetap bekerja. Karena mereka bertanggung jawab pada tupoksi dan perlunya menyerap anggaran.
Jadi, kalo ada politisi yang menklaim bahwa dinas bekerja karena berkat tekanannya, dipastikan itu hanya klaim. Dan untuk menggiring opini agar publik percaya dengan yang dilakukannya. Padahal statemennya hanya menjadi startegi politik agar publik diam ditengah melemahnya kepercayaan publik kepada politik.
Serba Manuver
Bagi politisi boleh jadi tidak ada jeda kerja untuk pemenangan partainya. Bagi mereka kapanpun dmana pun semuanya dilakukan untuk pemenangan politik. Lebih lagi jelang Pemilu 2024, tentu saja bukan waktu yang lama. Sisa kerja 2.5 tahun lagi, untuk bisa kembali berkuasa. Publik harus direkayasa dan digiring sehingga mereka tetap percaya kepada mereka.