Opini Tribun Timur
Pemilihan Kepala Desa Ibarat Api dalam Sekam
Menarik pernyataan sahabat saya Dr Adi Suryadi Culla MA terkait kisruh Pemilihan Kepala Desa di Takalar beberapa hari yang lalu kemudian di publish
Oleh Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh Makassar dan Dewan Pakar Rasindo
Menarik pernyataan sahabat saya Dr Adi Suryadi Culla MA terkait kisruh Pemilihan Kepala Desa di Takalar beberapa hari yang lalu kemudian di publish di beberapa media online.
Kisruh terjadi disalah satu desa pemilihan akibat rasa tidak puas atas calon mereka yang gagal masuk nominasi calon tetap.
Rasa tidak puas itu dilampiaskan dengan cara protes, turun ke jalan, bahkan sampai menutup beberapa ruas jalan Galesong, Barombong dan Limbung dan belum puas dengan itu bahkan mereka membakar salah satu kantor desa yaitu kantor Desa Sampulungang.
Kisruh pilkades yang terjadi di Takalar tersebut memang memprihatinkan sebab bukan saja mencederai demokrasi yang ingin dibangun kembali dari desa, akan tetapi juga akan menjadi preseden buruk atas pemilihan pilkades berikutnya.
Sebab secara normatif pemilihan kepala desa telah diantur di dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dimana pasal 31 (1) menyebut bahwa pemilihan kepala desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/kota.
Itu artinya 8.1616 desa juga melaksanakan pemilihan kepala desa.
Bisa dibanyangkan jika 416 kabupaten di Indonesia, satu saja perkabupaten yang mengalami konflik, maka pemerintah akan pusing tujuh keliling memikirkan solusinya,belum lagi masalah-masalah turunannya, termasuk potensi konflik sosial dan komunal.
Api Dalam Sekam
Kisruh Pilkades di Takalar digambarkan (deskriptif) dan dipredikasi (prediktif) oleh sahabat saya Adi Suryadi sebagai hal yang membahayakan bahkan menyimpan potensi konflik dan pada titik kulmunasi tertentu akan memicu komflik lebih besar, Pilkades menurut beliau ibarat “Api dalam Sekam”.
Ini bisa dimaknai bahwa pilkades, meskipun mungkin berjalan dengan sukses, tetapi tetap saja menyimpan benih-benih konflik, apalagi yang memang tidak sukses karena berbagai pelanggaran.
Menurut Adi Surayadi bahwa banyaknya kasus pilkades seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah untuk menjadi bahan eveluasi, karena memang ada kesalahan besar dimana sistem Pilkades, tidak ada mekenisme pelembagaan konflik seperti yang dimiliki Pilkada, kalau Pilkada ada bawaslu di Propinsi ada Panwas.
Pada sistem pilkaddes tidak ada kanalisissi konflik, sampai-sampai konflik akan terus menjadi api dalam sekam hingga masuk pilkades berikunya, dan ini sepertinya dibiarkan dan tentu saja pemerintah seharusnya ikut bertanggung jawab.
Saya sependapat dengan sahabat saya Adi Suryadi, bahwa pemerintah toh kalau mau dan tetap ingin mempertahankan sistem pemilihan kepala desa ini, seharusnya lebih menyempurnakan lagi sistim kelembagaannya.
Dalam arti memberi penguatan pada tiga aspek, yang pertama penguatan oraganisasinya, kedua penguatan aturan-aturan atau regulasinya dan ketiga penguatan pada sumber daya manusianya.
Ketiganya harus bersinergi dan diberi perhatian yang seimbang karena tiga komponen kelembagaan ini merupakan suatu sistem, artinya kalau ada satu yang tidak fungsional, akan mempengaruhi sistem yang lainnya.
Sebenarnya Pilkades dari aspek regulai memang sudah termaktub di dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Misalnya terkait dengan penyelenggara, itu sudah ada Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Pasal 32 (2) menyebut bahwa Badan Permusyawaratan Desa membentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
Kemudian ayat (3) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat mandiri dan tidak memihak.dan ayat (4).
Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur perangkat Desa, lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat Desa.
Terkait dengan mekenisme pelembagaan konflik seperti dikritik oleh Pak Adi, juga sudah ada, misalnya, Pasal 37 (5) menyebut bahwa Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih.
Sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota.
Pasal 37 (6) menyebut bahwa dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal-pasal di atas secara eksplisit sebanarnya sudah memberi gambaran bahwa Pilkades secara kelembagaan sudah benar, dan regulasi serta personalnya sudah jelas.
Yang jadi masalah adalah aturan turunannya dan pelaksanaannya di lapangan, apakah panitia sudah melaksanan tata kelola Pilkades dengan benar dan Gvernace, misalnya soal transparansi, akuntabilitas dan partisipasi.
Pilkades A-Simetris
Hal lain sebenarnya yang perlu dipersoalkan adalah sistem Pilkades itu sendiri, apakah harus dilaksanakan secara langsung, melalui perwakilan atau ditunjuk saja oleh pemerintah tingkat atasnya, sebagaimana pemilihan kepala desa di masa orde baru.
Jadi gagasan Pilkades a-simetris menggandeng keinginan agar pelaksanaan Pilkades tidak sama di seluruh Indonesia, Hal ini merujuk pada roh otonomi desa, sebagai otonomi asli, bukan otonomi pemberian sebagai mana otonomi yang diberikan oleh pemerinah pusat kepada Provinsi dan Kabupaten Kota.
Otonomi asli ini juga telah diakui dan dihargai oleh pemerintah pusat sebagaimana termaktub di dalam UU No 6 Tahun 2014.
Bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya disebutkan bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia.
Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalammelaksanakanpemerintahandan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Berdasar pada UU tentang desa di atas, maka seharusnya Pilkades tidak bisa dilaksanakan secara sama di seluruh Indonesia, tergantung pada budaya, karakteristik masyarakat dan tentu saja dari aspek stabilitas dan keamanan.
Kalau begitu, Pilkades harus memperhatikan gagasan sistem pemilihan a-simetris agar Pilkades tidak lagi menjadi Api dalam sekam sebagaimana diprediksi oleh sahabat saya Dr Adi Suryadi Culla MA. Salamakki.(*)
