Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Justice Collaborator Eliezer

Sudah benar strategi kuasa hukum Eliezer tidak melakukan perlawanan hukum secara terbuka dan berhadap-hadapan, dengan mengajukan keberatan.

Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN-TIMUR.COM/ABDUL AZIS
Damang Averroes Al-Khawarizmi Advokat/Praktisi Hukum. 

Oleh:

Damang Averroes Al-Khawarizmi
Advokat/Praktisi Hukum

TRIBUN-TIMUR.COM - Kasus kematian Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat yang diduga dalang utamanya, eks Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo.

Sudah lebih tiga bulan menyihir perhatian sejumlah pemirsa tanah air. Bak drama sinetron yang berepisode, hingga masyarakat pelosok pedesaan pun, tidak mau ketinggalan dalam mengikuti pemberitaan Sambo.

Tidak seperti sidang perdana Sambo dan tiga terdakwa lainnya. Richard Eliezer Pudihang Lumiu, dengan jadwal sidang pembacaan dakwaannya, yang jatuh tempo pada hari berikutnya, begitu besar frekuensi simpati publik untuknya.

Pernyataan maaf Eliezer secara terbuka di ruang persidangan, makin meneguhkan kepercayaan dan mewakilkan sejumlah harapan rakyat Indonesia, keadilan untuk Yosua dan keluarganya masih terbuka lebar.

Eliezer laksana pahlawan keadilan yang berhasil “menebas” skenario tembak-menembak polisi, hasil desain Ferdy Sambo.

Oleh karena itu, tidak mengagetkan jika banyak kalangan berharap, agar Eliezer dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Kalaupun tidak bisa dibebaskan, cukuplah ringan hukumannya, dibandingkan dengan empat terdakwa lainnya.

Sulit Bebas

Sesuai dengan dakwaan yang telah dibacakan oleh JPU atas nama Richard Eliezer Pudihang Lumiu. Dari uraian kronologi perkara, sepertinya sulit bagi Eliezer untuk bebas dari hukuman atas dakwaan bersama-sama/turut serta dengan Ferdy Sambo, Ricky, Kuat, dan Putri dalam melakukan pembunuhan berencana terhadap Yosua.

Berkenaan dengan peluang bagi Eliezer untuk bebas dari tuntutan hukum. Banyak kalangan, menganggap bahwa perbuatan Eliezer yang menembak Yosua tidak dapat dipidana, karena sedang dalam kapasitas menjalankan perintah atasan.

Keliru pendapat ini, karena perintah atasan yang dimaksud dapat membebaskan bawahan dari pemidanaan. Hanyalah perintah atasan yang nyata-nyata merupakan kewenangan dari pemberi perintah.

Dalam konteks itu, apakah Sambo berwenang untuk memerintahkan Eliezer membunuh Yosua? Jelas tidak, karena membunuh merupakan sesuatu yang dilarang dalam undang-undang atau merupakan tindak pidana. Kalau dilarang dalam undang-undang, sudah pasti tidak terklasifikasi sebagai kewenangan.

Itupun, kepada bawahan tidak dengan serta-merta dapat menjalankan perintah tersebut, karena dia dibebani itikad baik atau kemampuan untuk menakar “isi perintah” soal benar dan salahnya.

Jika Eliezer tidak bisa bebas dari alasan penghapus pidana berdasarkan perintah jabatan. Apakah ia bisa bebas karena alasan daya paksa/overmacht…? Mari kita mencermati detik-detik kronologi pembunuhan Yosua, saat Eliezer diperintahkan oleh Sambo menembak Yosua di rumah Duren Tiga.

Apakah waktu Eliezer diperintahkan untuk menembak Yosua, Eliezer tidak bisa menolak perintah itu karena saat yang sama juga terancam nyawanya? Misalnya, Sambo juga menodong senjata api ke kepala Eliezer, Kalau kamu (Eliezer) tidak tembak Yosua, saya yang tembak kepalamu.

Kemudian, apakah tidak ada ruang dan waktu juga bagi Eliezer untuk lari meninggalkan tempat itu, daripada menjatuhkan pilihan melaksanakan perintah Sambo untuk menembak Yosua?

Misalnya lagi dengan ancaman, awas kalau kau mencoba meninggalkan tempat ini, lari dan tidak mau menembak Yosua, saya yang akan membunuhmu.

Selama perbuatan Eliezer melangsungkan pembunuhan terhadap Yosua, dia tidak dalam ancaman juga akan kehilangan nyawanya.

Maka, di sana tidak ada daya paksa yang bisa berlaku untuk Eliezer, untuk dibebaskan dari pidana karena ada pembenaran atas perbuatannya.

Soal relasi kuasa, bahwa Eliezer sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak perintah Sambo.

Apalagi perintah itu dari seorang jenderal berbintang. Tidak termasuk alasan penghapus pidana yang berhubungan, baik dengan perintah jabatan maupun karena daya paksa.

Dasar argumentasinya, yaitu pada dua jenis alasan penghapus pidana itu, satu mewajibkan pelaksanaan perintah dalam asas itikad baik.

Dan satunya lagi, relasi kuasa tidak sampai berdampak langsung, pada keadaan seseorang terancam kehilangan nyawanya.

Justice Collaborator

Sudah benar strategi kuasa hukum Eliezer tidak melakukan perlawanan hukum secara terbuka dan berhadap-hadapan, dengan mengajukan keberatan atas dakwaan JPU.

Keuntungannya tidak mengajukan eksepsi, selain meneguhkan sikapnya sebagai pelaku yang bekerjasama (justice collaborator), juga membuka soliditas dengan JPU agar permohonannya kelak untuk mendapat keringanan hukuman atas rekomendasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), melalui surat tuntutan gampang terakomodasi.

Meskipun dengan pangkat paling rendah dari tiga ajudan lainnya, Eliezer sudah mendapatkan beberapa keistimewaan sebagai terdakwa dengan status pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum.

Diantaranya: ia sudah mendapatkan pengamanan cukup, baik untuk pelayanan kebutuhan makanan, maupun keamanan dari segala ancaman fisik dan psikis.

Termasuk ia telah mendapatkan pemisahan tempat penahanan dengan terdakwa lainnya. Dan kita juga telah menyaksikannya, dia menjalani sidang perdana tidak dalam hari yang sama dengan terdakwa Sambo, Putri, Ricky, dan Kuat.

Eliezer dengan melalui kuasa hukumnya tidak perlu menghabiskan energi membantah kronologi yang telah disusun oleh JPU.

Juga tidak perlu memelintir fakta dan ketentuan-ketentuan pidana, dengan harapan akan diputus bebas dari segala tuntutan hukum.

Simpati keluarga Yosua dan publik yang sudah memihak kepadanya. Sudah cukup kredit poinnya, akan merebut hati JPU dan majelis hakim pengadilan, memberikan keringanan hukuman untuknya.

Apalagi reward keringanan hukuman itu, tidak hanya akan diperolehnya saat berstatus sebagai narapidana. Kelak, ketika ia sudah dalam menjalani masa pemasyarakatan, ia masih akan diberikan remisi khusus, dan didahulukan pembebasan bersyaratnya berdasarkan rekomendasi LPSK.

Hukum sebagai perilaku, hukum sebagai jiwa rakyat Indonesia, memang tidak buta. Tidak bisu. Di luar sana, suara keadilan terus memekik telinga, terus meraung-raung sembari menggedor dinding-dinding tebal tribrata, adhyaksa, dan justitia.

Sekalipun Eliezer sebagai eksekutor langsung atas hilangnya nyawa Yosua. Besar harapan rakyat Indonesia, agar Eliezer diringankan hukumannya, dengan pertimbangan keadilan untuk Yosua dan keluarga, dialah yang membuka pintu-pintunya.

Dialah yang menyalakan lilin harapan, atas gelapnya keadilan di balik skenario Sambo. Tembak-menembak polisi, dalam drama dan ilusi pembelaan terpaksa.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved