Opini
Hari Santri
Hari Santri Nasional berdasarkan Kepres Nomor 22 Tahun 2015 diperingati setiap tanggal 22 Oktober.
Dan saat itu, mulai dari 22 Oktober 1945 batas gerak penjajah yang ingin menguasai kembali NKRI terbatas, terkepung selanjutnya tiga hari berturut-turut setelahnya, pimpinan Brigade Mahratta, Jenderal Aulbertin Walter Sotheren tewas bersama kurang lebih 2000-an pasukan Inggris.
Perjuangan pra dan pasca kemerdekaan Indonesia memang tidak terlepas dari peran santri, dan sejak NU didirikan para santri sangat menyadari betapa pentingnya negara ini merdeka dan berdaulat guna memberi ruang bagi agama untuk hidup damai, aman dan sejahtera.
Pentingnya Hari Santri
Memperingati hari santri ini, sekaligus menjadi animo, harapan dan ekspektasi bagi seluruh komponen bangsa untuk menjadikannya sebagai hari bersejarah sekaligus dijadikan momen penting untuk mengawal NKRI dan mempertebal kecintaan terhadap bangsa, negara, mencintai tanah air sebagai tempat kelahiran kita.
NKRI sebagai tempat kita hidup dan dibesarkan, tempat kita beribadah dan menuntut ilmu, tempat kita mencari rezeki, menyebabkan bukan secara kebetulan jika ikon santri adalah hubbul wathan minal iman, membela dan mencintai tanah air adalah bagian dari iman.
Semangat Hari Santri harus digelorakan, momen Hari Santri ini harus diisi dengan berbagai amaliah dan syiar keagamaan apalagi saat ini hari santri tahun 2022 bersamaan dengan momen Rabiul Awal sebagai bulan maulid Nabi saw.
Memperingati hari santri juga menjadi spirit pentingnya untuk mengutamakan akhlak dan budaya santri dalam kehidupan. Akhlak santri identik dengan kesabaran, ketabahan, kejujuran, dan keikhlasan.
Sedangkan budaya santri identik dengan sarung dan kopyah atau songkok. Sarung dalam bahasa Bugis disebut lipa adalah simbol ketawaduan yang jika digunakan kerap menjadi perhatian adalah gulungan sarungnya (bida’) turun ke bawah, sehingga sewaktu-waktu harus digulung kembali.
Apabila kita sedang berdiri dan memakai sarung kemudian didatangi oleh kiai, atau orang terhormat gulungan sarung itu (bida’) dinaikkan sedikit sebagai tanda penghormatan walaupun tidak diucapkan dengan perkataan.
Selain sarung, songkok bagi santri menunjukkan keluhuran budi pekerti yang harus dijunjung tinggi karena songkok tersebut letaknya di kepala. Juga secara filosofis songkok bentuknya bundar seperti mangkok kosong yang harus diisi dengan ilmu dan berkah kiai.
Itu juga sebabnya jika kiai akan lewat depan santri dengan refleks biasanya santri menyentuh bagian atas songkoknya dan mengusapnya sekaligus menguatkan posisi songkok di kepala sebab semakin kiai mendekat lewat, santri segera merundukkan kepalanya. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thariq.(*)