Opini
Hari Santri
Hari Santri Nasional berdasarkan Kepres Nomor 22 Tahun 2015 diperingati setiap tanggal 22 Oktober.
Oleh:
Mahmud Suyuti, Guru Pengajian Kitab di Pondok Pesantren Multidimensi Al-Fakhriyah Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Hari Santri Nasional berdasarkan Kepres Nomor 22 Tahun 2015 diperingati setiap tanggal 22 Oktober.
Ribuan pesantren dan jutaan santri sibuk mengadakan berbagai kegiatan keagamaan dan ritual khusus mengisi hari santri tersebut.
Santri adalah pelajar yang konsen mendalami kitab suci dan ilmu agama di pesantren. Istilah pesantren di sini berasal dari kata santri, diawali pe dan akhiran an, tertulis pesantrian kemudian dibaca pesantren untuk memudahkan penyebutannya.
Setiap pesantren mutlak memiliki pondokan atau asrama sehingga disebut pondok pesantren. Selain pondokan, di pesantren juga mutlak ada mesjid dan kiai (ulama) sebagai guru spiritual yang ikhlas fulltime 24 jam dalam mengawal kegiatan kepesantrenan.
Karena itulah lazimnya di area pondok pesantren, ada rumah kiai dan sederetan rumah-rumah guru yang di antarai mesjid serta bangunan lain seperti pendopo dan ruang belajar.
Para santri harus tinggal di pondok, mereka makan bersama, mengaji, berzikir, berdoa dan salat berjamaah, mengikuti pengajian secara rutin setelah salat magrib, isya, subuh, di tengah malam mereka tahajjud.
Rutinitas lain bagi santri di pesantren yang tidak kalah pentingnya sekaligus membedakannya dengan lembaga pendidikan Islam lainnya adalah transmisi ilmu pengetahuan melalui pengajian kitab sistem halaqah, yakni para santri duduk bersilah melingkar, massulekka di depan kiai.
Saat pengajian kitab para santri duduk dengan cara merapatkan lutut mereka dengan santri sebelahnya, duduk mepet membentuk bundaran yang kemudian disebut mangngaji tudang (Bugis) angngaji mempo (Makassar) atau lazaimnya disebut bandongan dan sorogan atau wetonan mengkaji kitab kuning, kutub alshafra’-yellow book atas bimbingan kiai.
Kehidupan santri mengutamakan kesederhanaan, keikhlasan, tolong menolong, bahkan pengorbanan demi agama bangsa dan negera yang karena itu diakui bahwa kiai-kiai pesantren dan para santri memiliki peran penting dalam perjuangan merebut kemerdekaan.
Resolusi Jihad
Sejarah mencatat bahwa dalam merebut kemerdekaan merenggut banyak nyawa para pejuang dan penjihad dari kalangan santri.
Karena itulah bertepatan 22 Oktober 1945 di Surabaya untuk mencegah kembalinya kolonial Belanda yang mengatasnamakan NICA, oleh K.H. Hasyim Asy’ari yang juga sebagai ulama pendiri NU, menyerukan jihad, membela tanah air dari penjajah adalah fardhu ’ain, wajib bagi setiap individu.
Resolusi Jihad sebagai seruan untuk berjihad yang dikobarkan K.H. Hasyim membakar semangat para santri untuk menyerang markas Brigade ke-49 Mahratta.