Emak-emak Pulau Kodingareng Bawa Gurita Raksasa ke Kantor Gubernur
Gurita raksasa yang dibawa emak-emak Pulau Kodingareng merupakan simbol dari kemerosotan keterjagaan lingkungan hidup di wilayah Sulsel.
Penulis: Muh. Sauki Maulana | Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Emak-emak warga Pulau Kodingareng Keke mengepung Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, Jl Urip Sumoharjo, Makassar, Rabu (5/10/2022).
Kedatangan emak-emak tersebut menggemparkan pengguna jalan.
Pasalnya, selain membawa perangkat aksi berupa flayer, mereka juga membawa replika gurita raksasa berwarna merah.
Gurita raksasa itu merupakan simbol dari kemerosotan keterjagaan lingkungan hidup di wilayah Sulsel.
"Monster gurita ini menjadi simbol atau wajah kekuasaan pemerintah dan korporasi saat ini yang telah mencengkram dan menguasai sendi-sendi penghidupan masyarakat," ujar demonstran.
Monster oligarki yang berwujud gurita raksasa ini tidak lepas dari banyaknya kesepakatan politik yang mencengkram serta menggerogoti sumber daya alam.
Warga Pulau Kodingareng Sita mengatakan selama tambang pasir laut mengeruk Kepulauan Spermonde di tahun 2020, ada banyak perubahan terjadi.
"Kami mengalami penderitaan sosial-ekonomi dan wilayah tangkap nelayan rusak parah, seperti pendapatan nelayan menurun drastis hampir 90 persen, perubahan arus dan kedalaman laut, air laut menjadi keruh," tuturnya.
"Terumbu karang rusak dan mengalami keputihan (bleaching) akibat sedimentasi tambang pasir laut," lanjutnya.
Kepala Departemen Advokasi dan Kajian Walhi Sulsel Slamet Riadi mengungkapkan awal mula rendahnya pendapatan nelayan perempuan pesisir dan pulau-pulau kecil saat adanya aktivitas tambang pasir laut dan reklamasi CPI pada tahun 2017.
“Sekarang, melalui rancangan Perda RZWP3K Sulsel yang kini terintegrasi dengan RTRW Sulawesi Selatan tahun 2022-2041, praktik tambang pasir laut dan reklamasi MNP semakin mengancam penghidupan masyarakat dan ekosistem pesisir pulau-pulau kecil Sulawesi Selatan," katanya.
"Bahkan hal tersebut dilegalisasi melalui produk perundang-undangan yang tentu saja menguntungkan para oligarki," lanjutnya.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mengatakan dampak yang terjadi akibat praktik pembangunan serampangan ini tak hanya merusak daratan tapi juga lautan.
“ini tidak hanya terjadi di Kodingareng tapi juga banyak daerah lain. Sudah banyak contoh nyata bagaimana oligarki menghancurkan kehidupan masyarakat kecil hanya demi kepentingan segelintir golongan saja,” tegasnya.
Aksi peringatan hari anti oligarki dengan mengusung tema ‘Perempuan Kodingareng Melawan Oligarki’ merupakan respon keras dari Ibu-Ibu Pulau Kodingareng yang merasakan dampak langsung dari aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan untuk keperluan mega proyek Makassar New Port.(*)
Laporan Wartawan Tribun Timur, Muh Sauki Maulana