Klakson
Kota Ruko
Tak cuma dipinggiran jalan utama, ruko pun kini mudah ditemukan dikawasan jalanan selevel lorong.
Oleh:
Abdul Karim
Ketua Dewas LAPAR Sulsel dan Anggota Majelis Demokrasi & Humaniora
TRIBUN-TIMUR.COM - Sebutan “Makassar sebagai kota dunia” yang populer dalam beberapa tahun terakhir melambangkan kota ini sebagai kota terbuka bagi siapa saja di dunia ini.
Semua boleh mengakses kota megah dikawasan Timur Indonesia ini. Namun getaran kalimat itu terasa sebagai bentuk sikap yang ditujukan untuk tujuan-tujuan ekonomi belaka.
Dengan kata lain, keterbukaan Makassar yang dimaknakan pada kalimat "kota dunia" itu sesungguhnya untuk memanen pendapatan.
Dan kita saksikan, titik-titik pendapatan itu memang mekar dimana-mana; dikawasan darat kota, hingga kawasan pesisirnya.
Tak terbilang jumlahnya, saban hari pembangunan sarana fisik digenjot dikota megah ini. Mulai dari hotel, property, tempat jajan mewah, hingga hiburan dan sebagainya kini terus dipompa pembangunannya. Semua itu bertumbuh subur di kota Daeng ini--ada atau tak ada Covid sama sahaja.
Diluar dari itu, mekar pula pertumbuhan ruko (rumah kantor) di kota ini. Hampir setiap pinggir jalan, ada ruko yang berdiri atau sementara ditegakkan bangunannya.
Tak cuma dipinggiran jalan utama, ruko pun kini mudah ditemukan dikawasan jalanan selevel lorong. Sungguh menakjubkan. Winarni KS dalam sebuah tulisannya menyebut kota ini “hutan ruko” (http://inart.web.id).
Ruko adalah jenis bangunan tanpa batas, tanpa pagar. Ia berdempetan rapat dan hampir tidak menyisakan lahan terbuka.
Bentuknya persis sebuah kotak yang tersusun dengan jendela dibagian depan lantai dua, atau lantai diatasnya.
Dengan model begini, ruko tergolong bangunan tak ramah lingkungan. Selain itu, bentuk kotak membuat ruko tak tersinari matahari. Untuk mendapatkan cahaya disiang hari, ruko mesti diterangi lampu.
Dengan demikian, ruko pun sebenarnya adalah type bangunan tak irit energi. Meski begitu, ruko adalah sebuah gerak manajemen ekonomi dalam menghadapi kerasnya kehidupan kota tanpa penggunaan teknologi yang rumit.
Tetapi ruko bukanlah produk baru. Ia sebenarnya produk kuno. Dilansir dari Winarni KS yang mengutip Setiadi Sopandi, dalam tulisannya “Peran Ruko dalam Sejarah Kota” mengungkapkan bahwa ruko secara terminologi diduga berasal dari dialek Hokkian, tiam-chu, yang berarti rumah dan toko.
Etnis Hokkian mendominasi populasi Cina perantauan di kota-kota Asia Tenggara sehingga kebiasaan menetap dan berusaha di ruko sering dikaitkan dengan budaya mereka. Biasanya ruko memiliki muka yang sempit, sekitar empat sampai dengan lima meter saja, namun panjangnya bisa mencapai 20 meter lebih.
Ruko lazimnya memiliki satu hingga dua lantai yang ditujukan untuk menampung aktivitas ekonomi sekaligus juga hunian.
Menurut Winarni KS, aktivitas perdagangan di Makassar sebelum 1850, terpusat di deretan toko dan gudang yang terbentang dari utara ke selatan, yang diantarai oleh dua jalan yang terletak sejajar dengan pantai, yaitu Pasarstraat (Jalan Pasar sekarang Jalan Nusantara) dan Chinastraat (Jalan Cina sekarang Jalan Sulawesi). Disanalah banyak berderet ruko.
Sebuah ruko pada zaman itu, urai Winarni, lazimnya juga memiliki sebuah altar leluhur yang merupakan simbol kehadiran anggota keluarga yang telah tiada.
Dengan demikian, ruko juga memiliki arti penting sebagai simbol status keluarga yang terus dipelihara dan diturunkan ke generasi berikutnya.
Kadang juga ruko berfungsi sebagai rumah klan/abu keluarga atau mengemban fungsi sosial sebagai rumah perkumpulan atau organisasi.
Seiring waktu, perkembangan ruko makin fleksibel terhadap perubahan fungsi dan adaptif terhadap lingkungan tempatnya dan zamannya berada.
Banyak dari elemen arsitektur ruko merupakan “pinjaman” dari budaya lain, seperti lisplank berprofil ukiran Melayu dan detail-detail Eropa.
Ruko pun dirancang agar adaptif terhadap iklim dengan penyelesaian yang sederhana, tetapi elegan.
Bentuk muka dan bukaan, jendela dan pintu, bervariasi di tiap kota dan juga dipengaruhi oleh status/peran sosial serta orientasi budaya penghuninya karena heterogenitas dan dinamika masyarakat penghuninya.
Tetapi dengan arsitektur yang simpel, ruko sesungguhnya tak membuat kehidupan sosial menjadi mudah dan cair. Bentuknya yang menyerupai kardus yang berkotak-kotak sesungguhnya menegaskan batas tegas bahwa "aku" disini, "engkau" disana.
Dan rupanya, dalam praktik politik yang kian liberal, tata sosial di bawah persis ruko yang terkotak-kotak itu. Kita hadir dalam ruang lingkup sosial yang sama, tetapi hidup kita terkotak-kotak laksana ruko yang terbentang.(*)