OPINI
Merit dan Netral Dalam Tahapan Pemilu
Aparatur Sipil Negara beserta aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) dituntut netral.
Oleh Juanto Avol
Komisioner Bawaslu Gowa
TRIBUN-TIMUR.COM - Dalam konteks kepemiluan, instrumen pemerintah dan alat negara selalu cukup menarik menjadi perbincangan publik di tahun politik. Ia selalu hadir bak cuaca musiman yang dinantikan. Salah satu topiknya soal ASN, TNI dan Polri.
Aparatur Sipil Negara beserta aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) dituntut netral, mereka termaktub jelas dalam berbagai norma.
Seperti dalam regulasi kepemiluan dan hukum lainnya yang mengikat, mengatur larangan-larangan bagi aparatur melakukan tindakan dan perbuatan yang bertentangan dengan perundang-undangan.
Soal netralitas misalnya, tertuang dalam Undang-undang Pemilu No. 7 tahun 2017. Undang-undang Pilkada No. 10 tahun 2016, Undang-undang No. 5 tahun 2014, Peraturan Badan Pengawas Pemilu No. 6 tahun 2018. Peraturan Pemerintah No. 94 tahun 2021 tentang disiplin pegawai negeri sipil.
Dibeberapa forum kepemiluan dan demokrasi, pertanyaan yang sering muncul soal apa perbedaan aturan ASN, TNI dan Polri. Mengapa mereka musti netral, apakah benar-benar terlarang? Itu.
Bicara soal larangan ketiganya diatas, diperlukan berbagai pandangan hukum dan pakar. Sebab seringkali atas ketidaksengajaan dan ketidaktahuan norma menjadikan perdebatan panjang, bagaimana dan siapa yang terjerat hukum.
Pada prinsipnya, tak ada yang ingin dihukum. Namun sejatinya keadilan (hukum) tetap ditegakkan sebagai kontrol sosial dalam berdemokratisasi.
Pertanyaan diatas tadi, jika mengutip pernyataan Prof Dr Muhammad di beberapa forum bersama, bahwa TNI dan Polri adalah alat negara. Ia rentan dijadikan alat kepentingan politik, karena benar memiliki persenjataan.
Akan sangat berbahaya jadinya ketika TNI dan Polri lepas tanpa kontrol, bisa terjadi perang kepentingan, saling 'nembak' seperti negara-negara diluar sana.
Maka patutlah dalam amanah undang-undang bahwa TNI dan Polri hak politiknya dicabut. Karena ia 'tangan' negara, sebagai alat pertahanan, keamanan, pelindung dan pengayom masyarakat.
Lain pula dengan ASN, hak politiknya tak dicabut, ia berhak menyalurkan hak pilih. Namun dilarang melakukan kampanye politik, apalagi ikut serta memberikan dukungan secara terang benderang. Sebab mereka perpanjangan fungsi-fungsi birokrasi, sebagai instrumen roda pemerintahan.
Perangkat birokrasi itu (ASN) dituntut netral, merit dalam bekerja, punya jenjang karir berdasarkan kompetensi kelaikan karena kapasitas, kepangkatan, nilai dan hak, tentu dengan nalar yang sehat.
Bukan karena kedekatan primordial, atau sebagai tim kampanye politik, sehingga menampakkan wujud ambisi 'tebal muka', ingin meraih jabatan tertentu dengan jalan pintas. Dalam konteks pemilu, sikap pro - kontra akan selalu ada dan itu lumrah, asal sesuai porsinya.
Olehnya ASN merit, penting kita dorong bersama sebagai abdi negara yang profesional dalam melakukan layanan publik di institusi dan lembaga mana pun.
Jika negara memberikan ruang itu, maka demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) tak boleh disandera oleh kepentingan elit kuasa semata. Sehingga makna loyalitas aparatur dimaknai bekerja secara profesional sebagai abdi negara, bukan abdi politisi.
Maka tugas negara seperti yang diataur dalam Peraturan Pemerintah No. 94 tahun 2021 hadir sebagai kendali; Presiden, Pejabat Pembina Kepegawaian, Kepala Perwakilan Republik Indonesia, Pejabat Pimpinan Tinggi Madya, Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama, Administrator Pejabat, Pejabat Pengawas, dan seterusnya.
Begitu juga lembaga penyelenggara lain yang diamanahkan oleh konstitusi seperti DKPP, Bawaslu dan KPU tetap sebagai kontrol dalam konteks kepemiluan.
Bijak
Perlu dipahami, Pemilu hanyalah proses, cara rakyat belajar tentang kemajuan pikir dan ketaatan hukum.
Jika pemilu dimaknai sebagai proses yang demokratis, jujur, berintegritas, adil dan terbuka atau sebaliknya, maka pemimpin yang lahir sejatinya representasi pilihan rakyat (pro dan kontra).
Muncul tanya, bagaimana mewujudkan pemilu ideal, mengedukasi rakyat dalam berdemokrasi?
Tentu, jawabanya ada pada aktor, tokoh dan rakyat. Siapa pun boleh, entah dia akademisi, politisi, pemangku adat, tokoh agama, pakar hukum, aktivis, bahkan kepala keluarga sekali pun.
Ketika semua terdidik secara demokratis, Pemilu dan Pemilihan mendatang sejatinya bukan lagi ajang baku 'bombe', apalagi sebagai medan konflik kepentingan vertikal dan horizontal politik dengan cara-cara tak beretika yang dipertontonkan kepada publik.
Dinamika politik seyogyanya dimaknai positif, karena momentum pemilu akan selalu melahirkan yang terpilih dari proses itu, walau selalu menyisakan jejak suka cita atau duka kecewa bagi yang belum terpilih.
Belajar pengalaman Professor diatas dalam diskusi kepemiluan, saat ia di Australia, memberi gambaran proses pemilihan disana benar-benar seru dan haru. Bagaimana tidak, kontestan calon yang kalah, akan lebih dulu mendatangi, memberi ucapan selamat kepada calon yang terpilih.
Lembaga survey juga independen, tidak ikut gaduh dan memprovokatif hasil perolehan suara.
Calon yang belum terpilih itu, berbesar hati menerima kekalahan dan menyampaikan pengakuan secara terbuka kepada seluruh pendukungnya.
Menyepakati hasil pemilu, yang terpilih sebagai pemimpin bersama, lalu berterimakasih kepada konstituen atas kepercayaannya.
Seruan patriot pun digaungkan, agar rakyat kembali bekerja, beribadah, dan beraktifitas seperti sedia kala sembari menunggu hasil keputusan sah komisi pemilihan.
Sebaliknya, calon terpilih tetap mengakomodir program-program visi misi rivalnya.
Pengalaman sikap patriot itu ditunjukkan, berjiwa besar menerima kekalahan dan kemenangan, bukan membuat 'agitasi politik', sekat sosial dan ruang-ruang curam dalam persengketaan pemilu. Antara rakyat, tokoh dan aktor politik.
Walau memang sengketa proses dibolehkan oleh regulasi pemilu. Namun prinsipnya, keamanan dan ketentraman suatu bangsa diatas segalanya.
Jika wajah Pemilu dan Pemilihan dianalogikan sebagai proses kecerdasan rakyat. Indikator kemajuan SDM suatu bangsa salah satunya dapat terlihat dari cara rakyat menentukan hak pilihnya.
Maka dalam situasi ini, lembaga-lembaga demokrasi seperti Parpol, pemerintah, ormas, media massa, institusi pendidikan, dan penyelenggara itu sendiri, perlu mengawal proses pendidikan politik dan partisipasi masyarakat dalam menyalurkan hak pilihnya.
Sebenarnya gambaran proses demokrasi diatas, jika ditelisik jauh dalam budaya kita, sesunggunya nilai itu telah lama ada dan dipertaruhkan.
Misalnya, saya meminjam istilah "tudang sipulung", adalah representasi proses nilai dalam menentukan pemimpin.
Demikian pula, di Yunani Roma, kritik dan demokrasi ditandai dengan sikap, lalu narasi parlemen dan gagasan konstruktif bernegara.
Nampaknya, memandang kedua sistem itu (demokrasi-oligarki) mirip dengan sikap dan prilaku kebudayaan lokal dizamannya.
Misalnya kerajaan-kerajaan nusantara dahulu, walau dikuasai oleh raja-raja, namun ada bibit-bibit demokrasi didalam dada rakyatnya yang ditandai dengan sikap dan prilaku, sebagai bentuk protes dan kritik pada kekuasaan oligarki.
Hal itu terlihat dalam catatan sejarah lokal aksara 'lontara'. Cirinya, rakyat yang mondar-mandir di depan istana, mereka biasanya memiringkan songkok kesamping atau menengadahkan kebelakang, mengikat naikkan sarung sepinggang, atau berdiri seharian dengan sikap menatap harap ke dalam istana.
Di dalam dada rakyat itu ada suara kritik, ide, prinsip dan gagasan hak yang musti disampaikan, penolakan atas kebijakan pihak kerajaan (pemerintah). Itulah kearifan lokal dimasanya, disampaikan secara patriot walau terasa berat.
Hari ini dan kedepan, pemilu sejatinya diisi oleh orang-orang yang cerdas, lebih bijak, berintegritas, menunjukkan sikap sebagai patriotisme meletakkan kembali kekuatan demokratisasi itu di tangan rakyat.
Agar rakyat menentukan pilihan tanpa intervensi elit kuasa, dan kepentingan jabatan semata. Sehingga pemimpin yang lahir tidak tega 'mengamputasi' hak-hak sipil dengan cara tak bijak.
Pada akhirnya, sebuah bangsa yang besar akan tumbuh ditangan penguasa yang bijak, sebagai amanah dari suara-suara rakyat yang suci. Agar kelak diakhir kuasa jabatan, tidak dipersanksikan dengan norma hukum, agama, sosial dan budaya.(*)