OPINI
Merit dan Netral Dalam Tahapan Pemilu
Aparatur Sipil Negara beserta aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) dituntut netral.
Sebaliknya, calon terpilih tetap mengakomodir program-program visi misi rivalnya.
Pengalaman sikap patriot itu ditunjukkan, berjiwa besar menerima kekalahan dan kemenangan, bukan membuat 'agitasi politik', sekat sosial dan ruang-ruang curam dalam persengketaan pemilu. Antara rakyat, tokoh dan aktor politik.
Walau memang sengketa proses dibolehkan oleh regulasi pemilu. Namun prinsipnya, keamanan dan ketentraman suatu bangsa diatas segalanya.
Jika wajah Pemilu dan Pemilihan dianalogikan sebagai proses kecerdasan rakyat. Indikator kemajuan SDM suatu bangsa salah satunya dapat terlihat dari cara rakyat menentukan hak pilihnya.
Maka dalam situasi ini, lembaga-lembaga demokrasi seperti Parpol, pemerintah, ormas, media massa, institusi pendidikan, dan penyelenggara itu sendiri, perlu mengawal proses pendidikan politik dan partisipasi masyarakat dalam menyalurkan hak pilihnya.
Sebenarnya gambaran proses demokrasi diatas, jika ditelisik jauh dalam budaya kita, sesunggunya nilai itu telah lama ada dan dipertaruhkan.
Misalnya, saya meminjam istilah "tudang sipulung", adalah representasi proses nilai dalam menentukan pemimpin.
Demikian pula, di Yunani Roma, kritik dan demokrasi ditandai dengan sikap, lalu narasi parlemen dan gagasan konstruktif bernegara.
Nampaknya, memandang kedua sistem itu (demokrasi-oligarki) mirip dengan sikap dan prilaku kebudayaan lokal dizamannya.
Misalnya kerajaan-kerajaan nusantara dahulu, walau dikuasai oleh raja-raja, namun ada bibit-bibit demokrasi didalam dada rakyatnya yang ditandai dengan sikap dan prilaku, sebagai bentuk protes dan kritik pada kekuasaan oligarki.
Hal itu terlihat dalam catatan sejarah lokal aksara 'lontara'. Cirinya, rakyat yang mondar-mandir di depan istana, mereka biasanya memiringkan songkok kesamping atau menengadahkan kebelakang, mengikat naikkan sarung sepinggang, atau berdiri seharian dengan sikap menatap harap ke dalam istana.
Di dalam dada rakyat itu ada suara kritik, ide, prinsip dan gagasan hak yang musti disampaikan, penolakan atas kebijakan pihak kerajaan (pemerintah). Itulah kearifan lokal dimasanya, disampaikan secara patriot walau terasa berat.
Hari ini dan kedepan, pemilu sejatinya diisi oleh orang-orang yang cerdas, lebih bijak, berintegritas, menunjukkan sikap sebagai patriotisme meletakkan kembali kekuatan demokratisasi itu di tangan rakyat.
Agar rakyat menentukan pilihan tanpa intervensi elit kuasa, dan kepentingan jabatan semata. Sehingga pemimpin yang lahir tidak tega 'mengamputasi' hak-hak sipil dengan cara tak bijak.
Pada akhirnya, sebuah bangsa yang besar akan tumbuh ditangan penguasa yang bijak, sebagai amanah dari suara-suara rakyat yang suci. Agar kelak diakhir kuasa jabatan, tidak dipersanksikan dengan norma hukum, agama, sosial dan budaya.(*)