Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

PT Vale

Prof Jamaluddin Jompa: Relasi PT Vale Bermasalah, Kesenjangan Sosial Luwu Timur Tinggi

Rektor Universitas Hasanuddin, Prof Jamaluddin Jompa menuturkan, ada beberapa kontradiksi dan kontroversi terkait keberadaan PT Vale sejauh ini.

Editor: Muh Hasim Arfah
dok Unhas
Rektor Universitas Hasanuddin, Prof Jamaluddin Jompa menuturkan, ada beberapa kontradiksi dan kontroversi terkait keberadaan PT Vale sejauh ini. Hal itu dia sampaikan saat ialog publik Kontroversi Izin Perpanjangan Pertambangan PT Vale di Aula Lantai 2 Rektorat Unhas, Jumat (23/9). 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Polemik perpanjangan izin pertambangan Kontrak PT Vale Indonesia masih terus bergulir.

Izin pertambangan kontrak karya PT Vale sisa tiga tahun, bakal berakhir 2025 mendatang.

Perusahaan yang dulu bernama PT INCO ini memiliki wilayah konsesi di tiga provinsi, Sulawesi Selatan (Sulsel),  Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Tenggara (Sultra).

Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman menyatakan dengan tegas menolak perpanjangan kontrak karya PT Vale.

Perpanjangan kontrak karya PT Vale diulas dalam dialog publik yang dilaksanakan oleh Universitas Hasanuddin (Unhas).

Kegiatan yang berlangsung di Aula Lantai 2 Rektorat Unhas tersebut membahas Kontroversi Izin Tambang PT Vale.

Rektor Universitas Hasanuddin, Prof Jamaluddin Jompa menuturkan, ada beberapa kontradiksi dan kontroversi terkait keberadaan PT Vale sejauh ini.

Baca juga: Alasan Mincara Burau Luwu Timur Dukung Perpanjangan Kontrak PT Vale Indonesia

Pertama, terkait kontribusi PT Vale. Kontribusi PT Vale ke pemerintah pusat lebih besar dibandingkan ke kabupaten penghasil dan  Provinsi Sulsel.

"Kontribusi PT Vale relatif besar ke negara dalam hal ini ke pemerintah pusat, tetapi sangat kecil porsinya ke kabupaten/daerah penghasil dan Sulsel," katanya saat sambutan, Jumat (23/9).

Kedua, keberadaan perusahaan telah berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja dan pengusaha lokal, tetapi tuntutan penerimaan tenaga kerja tetap saja terjadi seiring dengan peningkatan jumlah angkatan kerja.

Ketiga, meski menjadi episentrum pengelolaan sumber daya alam (SDA), Luwu Timur tetap saja menjadi kabupaten yang sangat tinggi kesenjangan sosialnya, angka kemiskinan dan tingkat keparahan kemiskinannya.

Keempat, perusahaan telah meraih banyak penghargaan terbaik di bidang pengelolaan lingkungan maupun pemberdayaan masyarakat.

Namun, tuntutan pemerintah dan masyarakat tetap mengharapkan maksimalisasi peran perusahaan yang dianggap belum cukup kontribusinya.

Kelima, perusahaan mengklaim telah memberikan yang terbaik melalui kinerjanya yang beyond compliance, tetapi faktanya, relasi dengan stakeholder kunci baik di kabupaten dan provinsi masih selalu bermasalah.

Oleh karena itu, Prof Jamaluddin Jompa memberi masuk atau rekomendasi terkait hal tersebut.

Baca juga: Pemprov Sulsel Nilai PT Vale Indonesia Ingkar Janji

Menurutnya, perlu kajian khusus mengenai proporsi ideal pembagian penerimaan negara pusat, provinsi dan kabupaten dari sektor pertambangan.

"Berbagai kerusakan lingkungan, konflik sosial dan kultural dirasakan langsung oleh pemerintah di lingkar tambang, tetapi kontribusi yang diterima dari sektor pertambangan relatif kecil," ucapnya Prof Jeje sapaan akrab Prof Jamaluddin Jompa.

Pria 55 tahun ini mendesak dilakukan kajian komprehensif mengenai dampak program pemberdayaan masyarakat di lingkar tambang oleh pihak yang independen.

Sebab, perusahaan mengklaim telah melakukan upaya terbaiknya, tetapi faktanya masyarakat dan pemerintah kabupaten dan provinsi merasakan sebaliknya.

Mendesak dilakukan pemetaan konflik di lingkar tambang dengan melibatkan universitas untuk menemukan persoalan riil di lapangan melalui riset aksi-kolaboratif.

"Direkomendasikan untuk dilakukan audit lingkungan oleh pihak yang independen agar isu-isu mengenai segala hal menyangkut tata kelola lingkungan di PT Vale Indonesia menjadi terang," jelasnya.

Terakhir, Prof Jeje merekomendasikan agar terdapat proporsi saham yang akan diberikan ke pemerintah kabupaten dan provinsi, apabila negara memutuskan untuk memperpanjang izin pertambangan PT Vale Indonesia.

"Skema yang sama diberlakukan saat terjadi divestasi saham PT Freeport Indonesia," katanya.(kaswadi anwar)

Baca juga: Polemik Perpanjangan Izin Pertambangan PT Vale, Rektor Unhas Beri Rekomendasi

11 Poin Pemprov Sulsel Tolak Perpanjangan Kontrak Karya PT Vale Tbk (INCO).


1. PT Vale telah bekerja di Sulsel selama 54 tahun. Ada 118 ribu hektar untuk tiga provinsi, Sulsel, Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk dikelola.

Di Sulsel ada 70 ribu hektar untuk dikelola, tapi hanya 7 ribu yang dikelola oleh PT Vale.


2. Terjadi cidera janji. Dalam kontrak karya PT Vale wajib membangun smelter di wilayah Bahadopi dan Mattarappe senilai 4 U$$ miliar.


3. Pengarusutamaan tenaga lokal. Masih terdapat beberapa tenaga kerja asing (sesuai laporan triwulan 56 orang). Tenaga kerja lokal pada level menengah ke bawah pada piramida organisasi.


4. Pengarusutamaan barang dan jasa dalam negeri tidak pernah diterima laporannya. Pihaknya pun tahu barang apa digunakan, tapi untuk jasanya masih bisa diinventaris.


5. PT Vale juga tidak komit meningkatkan kapasitas produksi. Amandemen kontrak karya mengamanatkan PT Vale wajib meningkatkan kapasitas produksi sebesar 25 persen dan rata rata produksi Tahun 2009-2013 atau setara dengan kurang lebih 87.500MT.

Komitmen ini belum pernah terpenuhi,  dibuktikan dengan produksi tahun 2020 hanya 72.237 MT dan pada tahun 2021 justru turun menjadi 55.388 MT


6. Divestasi saham, melakukan divestasi saham 40 persen kepada peserta Indonesia. 

Kondisi saat ini PT Mining Industry Indonesia (MIND) mengakuisisi 20 persen dan publik 20 persen.


7. Kontribusi ke Sulsel sangat kecil. Jumlah penerimaan pada tahun 2019, 2020, 2021, 2022 (sampai dengan triwulan III). Pemprov Sulsel dari PKB, BBNKB, AP, lamdrent  royalti dan BBH pertambangan umum sebesar, Rp 33.397.667.602.887 .

Sementara kontribusi PT Vale pada periode tahun yang sama untuk jenis pendapatan yang sama sebesar Rp628.560.627.776. Ini berarti PT Vale hanya berkontribusi rata-rata 1,88 persen per tahun.


8. Isu pencemaran lingkungan tetap menjadi sorotan masyarakat dan pemerintah.  Slope stability atau kestabilan lereng pada saat penambangan dan pasca tambang.

Potensi terjadinya pencemaran lingkungan akibat limbah beracun S02 di Balantang dan Cr6 di area penambangan Blok Petea. Perlu rekomendasi stabilitas slag dum.

Belum ada data kadar kandungan logam berat dalam darah karyawan dan audit lingkungan secara komprehensif.


9. PLTA Larona 171.36 MW, PLTA Balambano 115,08 MW dan PLTA Karebbe 111,38 MW (asumsi daya mampu 84 persen), seharusnya milik negara, potensi kerugian negara

Dalam kontrak karya menjadi hak Pemerintah setelah beroperasi selama 20 Tahun (Kepmen PU dan Tenaga Listrik No. 48/KPTS/1975 tentang Pemberian Izin Usaha Listrik kepada PT INCO).

PLTA Larona yang digunakan sejak tahun 1979 sebesar 131,36 MW seharusnya diserahkan pada tahun 1999 telah digunakan selama 23 Tahun secara tidak sah, hal ini berpotensi merugikan negara triliunan rupiah.  PLTA Balambano 115,08 MW dan PLTA Karebbe 111,38 MW.


10. reklamasi lahan bekas tambang. Penataan lahan bekas tambang (restorasi) belum dilaksanakan dengan baik antara lain jalur menuju Blok Petea dan Fiona Dum.


11. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM). Belum menyentuh masyarakat Adat Dongi dan masyarakat Adat Karungise. Jumlah UMKM yang diberdayakan relatif masih sedikit. 

Sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan masih terbatas. Pelibatan daerah dalam proses PPM dinilai kurang.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved