Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Opini Hamdan Juhannis: Prof Azyumardi Azra, Transtelektual Penembus Batas

Beliau berpulang saat menuju sebuah kancah yang disebut sebagai konferensi, arena pengabdian yang layak disebut "tiada tara".

Tribun Timur
Hamdan Juhannis - Rektor UIN Alauddin 

Bahkan saya menjadi "gede' rasa" saat coretan seri saya di setiap subuh Ramadan, secara konsisten dibukanya paling dahulu.

Saya tidak tahu apa beliau membacanya atau sekadar membuka WA di group itu, tapi itu tidaklah begitu penting. Yang penting, saya juga menemukan justifikasi tentang jalan menuju kepedulian intelektual dari "suhu" dan "sumbu" keilmuan negeri ini.

Satu yang paling membekas saat saya sempat berbicara di sebuah "seminar online" di mana beliau sebagai narasumber.

Saya memperhadapkan sebuah paradigma keilmuan perguruan tinggi keagamaan yang saya sebuat sebagai "kereta keilmuan".

Lalu saya menyodorkan sebuah istilah "transtektual" sebagai stasiun dari kereta keilmuan tersebut. Saya mengurai bahwa tidak cukup hanya menjadi intelektual pada kehidupan yang penuh anomali.

Kita butuh menjadi transtelektual, intelektul organik yang tidak ada matinya, intelektual yang tidak akan tertinggal di ruang kosong.

Intelektual yang menguasai bidangnya, mempengaruhi pertumbuhan dan perdebatan bidang lain.

Transtelektual terbentuk dari gerbong-gerbong kereta yang saling tersambung itu, mulai dari lokomotif institusi, gerbong Islam, gerbong Sains dan gerbong Teknologi. Gerbong tersebut tersambung dengan inter, multi, dan transdisipliner.

Beliau merespon secara apik, mengapresiasi istilah yang saya sodorkan, sambil menyampaikan kritik mengena dari tawaran paradigma itu. Beliau menyampaikan kereta itu jalannya lambat, seharusnya diganti dengan istilah kereta cepat (shinkansen), karena larinya cepat untuk sampai pada stasiun transtelektual.

Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa  Prof. Azra adalah sosok Transtelektual sejati. Beliau perintis kajian transmisi jaringan dengan menulis disertasi transmisi jaringan ulama yang banyak diikuti oleh pengkaji jaringan berikutnya. Beliau secara terstruktur membangun dan menguatkan jaringan keilmuan perguruan tinggi keagamaan dan memperkuat jati diri kesarjanaan dengan mendirikan jurnal Studia Islamika.

Tak berhenti disitu, kesarjanaan beliau menembus sampai pada ruang aktualisasi yang lebih luas. Sebaran gagasannya setiap saat muncul bukan hanya pada ruang ilmiah yang besifat spesifik tetapi sampai pada ruang populer seperti layar kaca.

Ciri penyampaian idenya dingin dan datar, tetapi kritis dan penuh makna. Seiring dengan usia yang makin lanjut, keberadaannya semakin berlanjut.

Eksistensinya semakin terasa. Semangat keilmuannya tidak pernah redup, dan jiwa kewartawanannya tidak pernah surut. Dua sisi yang memperkuat identitasnya sebagai akademisi aktivis.

Pergumulan gagasannya  bahkan semakin jauh melintasi dirinya sebagai wujud  yang mulai rapuh.

Puncaknya menjadi ketua Dewan Pers Indonesia, dunia yang selama ini menjadi pernak penting dari jiwa kritisismenya, dan menjadi pelengkap utama dari isting instelektualitasnya. Beliau berpulang saat bertolak ke sebuah sentrum pergumulan media dan keilmuan.

Wujudnya mati, tapi dua hal ini tetap menjadi sisi yang tidak pernah mati dari dirinya, karena kontribusi kehidupannya sudah begitu jauh melintasi sekat dunia, dan tak berbatas. Selamat jalan guru bangsa, guru peradaban, dan guru bagi para mahagurug. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Rakyat Terluka

 

Firasat Demokrasi

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved