Opini Nurhaliza Amir
Opini Nurhaliza Amir: Merdesa Belajar Dulu, Merdeka Belajar Kemudian
Moto ‘Merdeka Belajar, Guru Penggerak’ dari Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, belum bisa betul-betul menjadi motor bagi para pengajar.
Sampai akhirnya diberitakan bahwa penerapan K-13 dihentikan Menteri Pendidikan, Anies Baswedan melalui
Peraturan Menteri No. 60 Tahun 2014.
Alhasil kurikulum yang digunakan kembali kepada KTSP, kecuali bagi satuan pendidikan dasar dan menengah yang sudah melaksanakannya selama 3 semester, satuan pendidikan usia dini, dan satuan pendidikan khusus.
Katanya penghentian tersebut bersifat sementara paling lama sampai tahun pelajaran 2019/2020.
Kemudian, disiarkan bahwa Kemendikbud Ristek meluncurkan Kurikulum Merdeka yang disiapkan untuk tingkat sekolah menengah atas atau umum (SMA/SMU). Kurikulum itu mulai diterapkan pada Tahun Ajaran 2022/2023.
Melalui kurikulum ini, siswa SMA, SMA LB (Luar Biasa), dan Madrasah aliyah (MA), bisa memilih kombinasi mata pelajaran sesuai dengan minatnya.
Selain itu, Kurikulum Merdeka tidak akan membuat sekat-sekat penjurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Bahasa yang selama diterapkan di tingkat SMA.
Menurut Nadiem Makarim, Kurikulum Merdeka yang sebelumnya disebut sebagai Kurikulum Prototipe ini akan memberikan otonomi dan kemerdekaan bagi siswa dan sekolah.
Dunia pendidikan kita mungkin sudah merdeka, hanya saja dalam banyak aspek apalagi soal fasilitas dan infrastruktur masih jauh dari kata merdesa.
Merujuk pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 1 Ayat 1 bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Jauh sebelum itu, para pengajar dan murid harus merasakan merdesa belajar terlebih dulu agar tidak memiliki beban saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung.
Perlu ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas guru, pengurangan disparitas pendidikan, dan pelaksanaan berbagai program pendidikan secara sistematis dan komprehensif.
Bagaimana kemerdekaan dalam berpikir akan diraih oleh para guru ketika mengajar, jika mereka masih memikirkan kesejahteraan diri, juga memikirkan nasib para murid yang belum mendapatkan fasilitas yang dibutuhkan dalam proses belajar?
Ada baiknya langkah visioner dalam dunia pendidikan di Indonesia diimbangi dengan penyelesaian segala akar persoalan yang sampai saat ini masih jalan di tempat.
Tempat belajar yang nyaman dan merata, akses yang mudah dicapai, ketersediaan kelengkapan belajar di sekolah, dan kelayakan gaji guru honorer.
Selain itu, sistem penilaian dan kurikulum yang selama ini menjadi pedoman utama guru dalam mengajar perlu ditinjau ulang.