Opini Nurhaliza Amir
Opini Nurhaliza Amir: Merdesa Belajar Dulu, Merdeka Belajar Kemudian
Moto ‘Merdeka Belajar, Guru Penggerak’ dari Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, belum bisa betul-betul menjadi motor bagi para pengajar.
Oleh: Nurhaliza Amir
Koordinator Divisi Humas FLP Ranting Unhas. Education Officer of AIYA Sulsel
TRIBUN-TIMUR.COM - Menurut KBBI, merdesa artinya layak; patut; sopan (beradab). ‘Merdesa Belajar’ penulis definisikan sebagai segala aspek yang berkaitan dengan kegiatan belajar atau pendidikan yang layak, terpenuhi, dan sebagaimana mestinya.
Moto ‘Merdeka Belajar, Guru Penggerak’ dari Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, belum bisa betul-betul menjadi motor bagi para pengajar.
Guru honorer masih mengharapkan perubahan di waktu mendatang terkait kesejahteraannya.
Belum lagi soal infrastruktur yang belum merata, juga keterbatasan akses internet untuk mendapat sumber media belajar lainnya.
Katanya, konsep Merdeka Belajar tidak bisa dipisahkan dari suasana belajar yang bahagia dan tanpa dibebani oleh pencapaian skor tertentu.
Nyatanya, suasana belajar yang nyaman masih menjadi hal langka bagi sebagian murid di pedesaan bahkan di perkotaan.
Saat masa pandemi banyak sekolah yang kesulitan menerapkan belajar dari rumah untuk mengikuti kelas daring.
Di beberapa media diberitakan siswa hingga mahasiswa harus belajar di pinggir jalan hanya untuk mendapat sinyal yang stabil.
Di tempat lain banyak siswa yang terpaksa meminjam hape agar tetap bisa mengikuti kelas daring, sampai akhirnya banyak yang putus sekolah. Persoalan ini tidak hanya terjadi di wilayah pedesaan, tapi juga di perkotaan.
Ditambah juga dengan drama pergantian kurikulum. Ada anggapan bahwa, gurunya sudah bertahun-tahun mengajar, tapi lebih nyaman memakai metode pengajaran yang sudah dari dulu digunakan, dibandingkan harus memahami lagi kurikulum baru yang dinilai belum tentu sesuai.
Ketika tingkat SMP-SMA penulis pernah berada di masa transisi kurikulum KTSP 2006 ke Kurikulum 2013.
Banyak sekolah bahkan guru yang belum terbiasa dengan perubahan tersebut dan penerapannya juga belum merata.
Ada sekolah yang dinilai lebih beken yang ternyata masih memakai kurikulum lama, dibandingkan dengan sekolah yang dinilai biasa saja yang justru sudah menerapkan K-13, banyak yang merasa sesak kala itu.